Tak Semua yang Glowing itu Emas
“Tidak semua yang berkilau itu emas” adalah pepatah yang cukup kuno. Ucapan ini muncul berulang-ulang di berbagai zaman. Ada yang memperkirakan ucapan ini ada sejak di fabel-fabelnya Aesop pada masa Yunani Kuno. Dia muncul lagi di cerita-ceritanya Chaucer pada abad pertengahan. Dan, yang paling terkenal adalah Ketika Shakespeare memunculkannya dalam lakonnya The Merchant of Venice. Redaksi pepatah selalu berbeda di tiap zaman, tapi intinya adalah tidak semua yang berkilau itu emas. Tak semuanya yang indah itu emas. Uniknya, di berbagai zaman pepatah itu tetap muncul, seolah-olah di setiap zaman kita tetap perlu diingatkan untuk tidak terpukau oleh yang indah-indah.
Perbincangan soal yang indah-indah itu kiranya relevan dengan kondisi kita hari ini. Kita sekarang banyak terpukau oleh yang berkilau. Di zaman ini, kita mengenal hal-hal yang berkilauan itu dengan istilah “glowing” atau “instagrammable” atau sejenisnya. Yang seperti ini relevan mulai dari urusan fisik hingga dekorasi rumah hingga tempat berwisata. Dan seperti akan saya ajukan dalam tulisan ini, dalam urusan pembangunan ekonomi dan lingkungan pun pepatah itu masih berlaku.
Urusan berwisata ini bukanlah soal sepele saat ini. Bagi para milenial, atau generasi orang-orang yang saat ini berusia 30-40 tahun, khususnya yang sudah mandiri, wisata adalah satu bagian penting dalam hidup. Para milenial ini, menurut banyak riset, lebih memilih pengalaman daripada benda-benda. Istilah lainnya, para milenial ini hidup di dalam “ekonomi pengalaman.”
Para milenial lebih mengutamakan pengalaman dibandingkan benda-benda. Menurut Insight Center, 3 dari 4 milenial memilih membelanjakan uangnya untuk mendapatkan pengalaman daripada untuk membeli barang-barang konsumsi. Dan wisata ini adalah salah satu cara “membeli pengalaman” tadi. Memang sih, selama pandemi ini urusan membeli pengalaman agak berkurang. Tapi, melihat perkembangan saat ini—melihat sudah bosannya orang berada di dalam rumah selama setahun—wisata sepertinya akan kembali lagi dengan dahsyat, seperti balas dendam. Ya, kita akan kembali haus wisata dan melihat yang instagrammable.
Di situlah kita harus waspada. Sejak awalnya, wisata adalah urusan yang dilematis. Di satu sisi, dia adalah penggerak ekonomi yang sangat tangguh. Di Indonesia, kita bisa melihat seperti apa kekuatan ekonomi wisata bagi daerah-daerah semacam Bali dan Yogyakarta. Namun, di sisi lain, wisata juga bisa menjadi bom waktu yang pada akhirnya sumbunya akan habis dan meledak. Hal ini khususnya berlaku untuk wisata alam, yang biasanya ketika populer akan mendatangkan orang dalam jumlah besar ke wilayah-wilayah alami yang semestinya dibiarkan sendiri agar tetap lestari.
Kita telah mendengar misalnya bagaimana kawasan alam Machu Picchu di Peru terganggu sejak kawasan eksotis di tengah hutan di atas gunung ini akhirnya dibuka untuk wisata massal. Sebagaimana disebutkan oleh The World Counts, pariwisata terutama berdampak terhadap penggunaan air yang terlalu besar di kawasan-kawasan yang menjadi primadona wisata. Pada intinya, wisata adalah sesuatu yang kuat tapi juga perlu diwaspadai.
Nah, di sinilah kiranya pengingat “tidak semua yang indah itu emas.” Atau, meminjam judul novel terkenal karya Eka Kurniawan, “cantik itu luka.” Sepertinya, kita benar-benar perlu mengubah konsep tentang emas itu. Mungkin yang berharga itu bukan yang instagrammable atau yang glowing di permukaan. Yang berharga adalah kehidupan ini, seperti apa pun tampaknya di permukaan.
Ah, seperti apa?
Community Based Tourism
Bagaimana kita mendapatkan manfaat dari pengalaman sekaligus mendorong perekonomian tanpa harus mempertaruhkan keselamatan alam?
Kita perlu mengubah pandangan para milenial bahwa pengalaman wisata yang emas bukan yang indah saja. Pengalaman yang berharga itu tidak perlu harus yang seindah dianjurkan Instagram, seperti misalnya jalan-jalan ke pantai sambil mengatakan “vitamin sea.” Pengalaman yang berharga itu bisa berupa terlibat sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat yang berusaha meningkatkan kestabilan ekonomi mereka. Yang seperti ini bisa kita dapatkan dalam Pariwisata Berbasis Masyarakat (PBM) atau Community-Based Tourism (CBT).
Kenapa PBM ini bisa menawarkan pengalaman lebih? Jawabannya sederhana: karena wisata jenis ini memberikan pengalaman yang tidak bersifat massal dan bisa didapatkan di semua tempat, karena dia memberi kita kesempatan lebih mengenal manusia yang nyata, dan ketika karena kegiatan ini juga memungkinkan ternyata peningkatan perekonomian dengan risiko merusak alam paling kecil.
Sebelum jauh mendedahkan bagaimana PBM adalah emas yang sebenarnya, perlu sedikit kita ulas apa itu PBM. PBM adalah pola pengelolaan wisata yang pada prinsipnya tidak pernah meninggalkan tiga elemen: peran aktif masyarakat sebagai pengelola, penekanan terhadap kelestarian alam yang juga merupakan ruang hidup masyarakat pengelolanya, dan adanya manfaat finansial yang diperoleh dari kegiatan ini.
Bila dikaji lebih jauh, tiga pilar utama ini tidak bisa dilepaskan dari konsep akuntabilitas triple bottom line atau TBL atau 3BL. Triple bottom line ini merupakan kerangka untuk menilai perkembangan yang berkelanjutan berdasarkan tiga elemen dasar, yaitu manusia (people), lingkungan (planet), dan keuntungan (profit). Biasanya, prinsip ini disingkat lagi menjadi “people and planet before profit,” atau “manusia dan lingkungan, dan baru kemudian keuntungan.”
Jadi, kalau disingkat, prinsip utama dari Pariwisata Berbasis Masyarakat adalah pengelolaan wisata dengan penekanan kepada kesejahteraan sosial dan kesadaran lingkungan sambil juga pada akhirnya mendapatkan keuntungan. Di sini, masyarakat menjadi pemeran utama dan kelestarian alam mendapatkan perhatian besar. Tapi, di situ juga ada perhatian yang cukup kepada kekuatan ekonomi.
Tapi, yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa di sini konsep keindahan para penikmat harus diubah. Berbeda dengan pengelolaan industri pariwisata oleh pemodal besar berskala nasional, pengelolaan PBM seringkali berjalan secara perlahan dan dicicil. Di sini, tidak ada megapinjaman yang bisa menyulap lahan kosong menjadi kolam raksasa atau kebun binatang dengan satwa eksotis mancanegara. Yang tampak justru perubahan perlahan dari sebuah lembah menjadi taman wisata alam yang indah dalam beberapa tahun.
Hal serupa bisa kita lihat pada Lembah Gunung Sari, sebuah taman wisata yang berada di desa Kucur, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Lembah Gunung Sari awalnya adalah sebuah lembah dengan semak-semak dikelilingi rumpun bambu dan bebukitan. Di satu titik lembah itu, terdapat sebuah sumber yang tidak pernah kering dan dikeramatkan. Tapi, di bawah koordinasi perangkat desa, masyarakat setempat mentransformasi lembah ini sedikit demi sedikit menjadi sebuah kolam renang indah di ceruk bebukitan, di tengah hutan yang dijaga kelestariannya.
Para pengelola Lembah Gunung Sari, di bawah komando Kepala Desa Bapak Abdul Karim, mengawali semua dengan tujuan menghasilkan tempat berwisata bagi warga. Sasaran awalnya adalah warga setempat (khususnya anak-anak). Tapi, seiring disadarinya arti penting tempat ini, Lembah Gunung Sari pun akhirnya berubah sedikit demi sedikit menjadi tempat wisata yang indah dengan fasilitas semakin lengkap dan akses menuju lokasi semakin mudah. Tidak hanya bagi warga setempat, tapi juga pengunjung dari mana saja. Namun, perhatian kepada kelestarian alam tetap vital. Bagaimana tidak, ketidaklestarian alam bisa berarti matinya sumber air dan akhirnya berhentinya satu sumber kebahagiaan kecil ini.
Pada tempat-tempat seperti inilah semestinya pandangan kita terarah ketika mencari keindahan yang berharga. Di tempat seperti inilah kita bisa mendapatkan pengalaman, yang menjadi sasaran kita para milenial dalam membelanjakan uang mereka. Di sini, kebutuhan akan pengalaman dan kebahagiaan hati tidak berbenturan dengan kelestarian lingkungan sambil juga tetap mendorong peningkatan perekonomian masyarakat. Semuanya akan instagrammable juga pada akhirnya, termasuk tempat-tempat Pariwisata Berbasis Masyarakat yang saat ini keindahannya masih dalam bentuk lain. Kalau ada 1000 gagasan untuk membangun perekonomian negeri ini sambil juga tetap memposisikan alam di baris utama, Pariwisata Berbasis Masyarakat adalah satu di antara yang paling kita perlukan.
#1000GagasanEkonomi, #Selamatkanhutan, #TemenanLagi, #IndonesiaTangguh
[…] mengetahui bahwa konsep “ekowisata” yang mereka usung ini memiliki akar pada “wisata berbasis masyarakat“. Dalam praktiknya, pariwisata menuntut adanya tata kelola masyarakat yang kokoh sehingga […]