Lebih baik kita hentikan saja
Karena kita sudah terlalu jauhKita tidak sedang bercinta lagi
(“Kita Tidak Sedang Bercinta,” Dewa 19)
Lupakan semua kenang nostalgila
Kata “nostalgila” di penghujung lagu Dewa 19 ini mungkin sama dengan yang disebut David Viscott dalam buku klasiknya Emotional Resilience sebagai “toxic nostalgia”. Konsep ini mewakili sebuah kondisi kompleks di mana kita tidak bisa lepas dari bayang masa lalu sehingga tidak bisa bergerak maju.
Dalam buku bunga rampai berjudul Gothic Nostalgia: the Use of Toxic Memory in 21st Century Popular Culture yang terbit baru-baru ini, kita bisa membaca bagaimana film-film horor yang kita temui dalam dua puluh tahun terakhir ini banyak mengandung nostalgia beracun. Film-film yang dibahas dalam buku ini antara lain adalah film Poltergeist (2015), It (2017) atau lainnya. Menurut Brandon R. Grafius, salah satu penulis esai di buku itu, nostalgia beracun itu membuat kita abai akan permasalahan-permasalahan sosial yang nyata semacam seksisme, ableisme, rasisme, dan sejenisnya.
Namun, ketika menemukan film Onde Mande! (2023) di layanan streaming yang saya dapatkan gratis pada awal Ramadan ini, saya merasakan sesuatu yang lain: sebuah nostalgia sehat. Bagaimana bisa?
Nostalgia Sehat
Di awal kemunculannya, istilah “nostalgia” memang memiliki konotasi negatif. Kata ini dipakai Johannes Hofer pada abad ke-17 untuk menamai sebuah kondisi kesehatan yang diderita para tentara bayaran Swiss yang ditugaskan jauh dari negerinya. Kondisi ini bisa sampai parah dan menyebabkan kematian. Para prajurit Napoleon juga banyak yang mengalami ini. Namun, belakangan diketahui bahwa sebenarnya mereka dilanda rindu kampung halaman. Belakangan, setelah perang usai, gejala ini mereda dan hanya muncul pada serdadu yang ditugaskan di negeri jajahan.
Meski begitu, nostalgia tidak selalu salah. Kalau kita mencari kata kunci “nostalgia” atau “healthy nostalgia” dalam indeks-indeks publikasi ilmiah (misalnya Google Scholar atau Scopus), kita bisa dengan mudah menemukan artikel-artikel yang menunjukkan bagaimana nostalgia juga bisa menyehatkan. Kita bisa temukan, misalnya, riset tentang manfaatnya bagi masyarakat yang tidak sehat (Wohl et. al.), perannya dalam mendukung kesejahteraan masyarakat yang menua (Yan et. al.), kontribusinya sebagai sumber hubungan yang sehat (Evans et. al.) dan lain-lain. Pendeknya, nostalgia juga bisa memberikan manfaat yang positif bagi berbagai kelompok masyarakat.
Tampaknya, pada proporsi yang tepat, nostalgia bisa menjadi obat mujarab bagi beberapa masalah kesejahteraan batin. Nostalgia yang semacam ini harus dibiarkan terjadi dengan kesadaran bahwa itu bagian dari masa lalu yang sewaktu-waktu bisa kita tinggalkan untuk melanjutkan hidup di hari ini demi masa depan. Dan, seperti disinggung di atas, dia benar-benar tidak boleh sampai membuat kita silau akan permasalahan di masa lalu.
Untuk mendapatkan sedikit gambaran tentang bagaimana gagasan tentang nostalgia itu berevolusi seiring bergulirnya zaman, kita bisa menonton video ini:
Dalam video ini, kita bisa melihat bagaimana istilah yang awalnya dipakai untuk merujuk ke kondisi seseorang yang tidak bisa move on menjadi sesuatu yang bisa meningkatkan kebahagiaan. Di sini, yang tampaknya berarti bukanlah nostalgia itu sendiri tapi bagaimana ia bisa dimanfaatkan dengan baik.
Mencari Nostalgia Menemukan Onde Mande
Buat saya pribadi, bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh nostalgia. Terlalu banyak kenangan indah yang hanya bisa muncul di bulan Ramadhan, mulai pengalaman jalan-jalan dengan kawan masa kecil setelah sholat subuh hingga pengalaman mencari duit di negeri orang ketika puasa di tengah musim panas (saya pernah menuliskannya selama sebulan penuh dan tak juga habis seujung jarinya). Di awal Ramadhan ini, saya mencoba mencari asupan nostalgia itu lewat beberapa cara, mulai mendengar album religi Gigi hingga mencari film yang bisa ditonton sambil sahur dan berbuka. Di situlah saya ketemu dengan Onde Mande! (2023), film garapan sutradara Paul Fauzan Agusta dan dibintangi deklamator nasional Jose Rizal Manua, aktor senior Jajang C. Noor, dan Shenina Cinnamon, bintang muda peraih beberapa penghargaan berkat film Penyalin Cahaya (2022).
Sebentar saja melihat, saya menemukan nostalgia kehidupan pastoral Minang yang bahkan lebih kental dari sinetron berseri Siti Nurbaya (1990-1991) atau Sengsara Membawa Nikmat (1991). Saya bilang lebih kental karena bahkan bahasanya pun nyaris sepenuhnya bahasa Minang. Tapi, alih-alih membawa saya ke dalam nostalgia beracun seperti dilontarkan oleh Viscott, belakangan saya justru menyadari sebuah nostalgia bergizi. Ada banyak poin yang menjadikan film satu ini terasa sebagai sesuatu yang sehat, tapi untuk kesempatan ini kita soroti sekilas saja (versi lengkapnya bisa dilihat di jurnal).
Sebelum lebih jauh, mari kita lihat dulu trailer resminya:
Disclaimer: esai ini mungkin akan mengandung spoiler mulai dari sini karena ada hal-hal yang tidak bisa dihindari untuk sebuah kritik yang berpretensi mendalam. Bila tidak berkenan mendapat spoiler halus, pembaca budiman dipersilakan berhenti.
Film rilisan 2023 ini berkisah tentang permasalahan yang mulai bergulir ketika Angku Am, seorang lansia yang mencintai kampungnya, memenangkan undian bungkus sabun senilai Rp2 miliar dan pada malam itu juga meninggal dunia. Beberapa kerabat di kampung yang mengetahui rencana besar Angku Am untuk menggunakan uang hadiah itu untuk membangun kampungnya mulai mencari cara untuk bisa mendapatkan dana itu dan mewujudkan impian sang Angku. Namun, tentu usaha yang semacam ini tidak mudah tercapai di zaman seperti ini. Begitulah cerita kemudian menggelinding dengan pelan tapi pasti.
Kisah yang bergulir dari sini sangat mudah dinikmati. Kita bisa mudah mengidentifikasi diri dengan para tokohnya. Akting yang natural dengan beberapa bagian terkesan komedi menjadikan kita lebih mudah merasuk ke dalam cerita, ikut terbawa emosi, dan di bagian akhir memberikan kehangatan sanubari layaknya menonton film komedi romantik Hollywoood yang biasanya disebut “heartwarming” itu. Cuma ada satu bagian di akhir film, khususnya adegan di pemakaman, yang menjadikannya sedikit “cringey” kata anak sekarang. Walakin, yang lebih penting dibicarakan bukan itu. Ada lagi, yaitu perihal nostalgia, yang justru sekilas terasa seperti sampiran di premis film ini.
Bernostalgia Sambil Disadarkan
Sepanjang film, kita disuguhi nostalgia kehidupan kampung yang asri. Kampung Sigiran yang menjadi latar film ini berada di tepi danau Maninjau. Kontur serta bangunan-bangunannya memang menyerupai Desa Sigiran yang ada di tepi Danau Maninjau (bisa dilihat di Google Maps). Kehidupan masyarakat di desa yang berada di lembah ini cenderung sederhana. Anak-anak nongkrong di pinggir sawah pada siang hari. Orang dewasa nongkrong di warung sambil minum teh telur bebek. Selain itu hiburan yang paling diandalkan adalah siaran televisi. Terakhir, sinyal HP nyaris absen.
Bagi kita yang saat ini tinggal di kota besar di Jawa, rasanya film ini seperti sebuah pengalaman ekstotik “berlibur di rumah nenek”. Rasanya benar-benar seperti zaman nan tenang jauh sebelum negara api menyerang. Penonton yang suka buru-buru menyimpulkan pasti merasa bahwa ini adalah era 90-an atau setidaknya awal 2000-an, ketika HP masih jor-joran berukuran sekecil mungkin. Saya hampir merasa kembali ke masa-masa dalam cerita Hikayat Pengembara atau Sohibul Hikayat, sinetron harian dibintangi Deddy Mizwar yang tayang pada bulan Ramadhan di era 90-an. Masalahnya adalah, Onde Mande! tidak bercerita tentang masa lalu. Kisaknya terjadi di masa kini; hanya saja tempatnya memang tidak seberuntung kota-kota besar Indonesia.
Alih-alih menggelincirkan kita ke nostalgia yang membuat kita terjebak di masa lalu, dia mengingatkan bahwa ada sesuatu yang tidak wajar di sini. Ketidakwajaran itu muncul ketika salah seorang warga mencoba menyelesaikan persoalan dengan mengirim kedua putranya ke Jakarta. Kedua anak ini tidak pernah tinggal di Jakarta dan serba ketakutan dengan Jakarta.
Di bagian inilah kita sangat bisa mulai melakukan apa yang oleh para akademisi ilmu sosial disebut analisis strukturalis. Sekilas saja, analisis strukturalis adalah usaha untuk memahami dan mengurai sebuah fenomena (dalam hal ini sebuah karya fiksi) dengan mengetahui elemen-elemen pembentuknya dan bagaimana pola hubungan elemen-elemen itu sebenarnya membentuk sebuah struktur. Pendekatan ini pernah populer di paruh kedua abad ke-20. Meski sudah terkesan jadul, pendekatan ini ada kalanya masih tetap relevan dipakai untuk memahami fenomena-fenomena sosial tertentu. Untuk keperluan kita memahami Onde Mande! pendekatan strukturalis ini cukup manjur.
Dalam film Onde Mande!, kita akan menemukan satu bagian yang sangat bisa diperbandingkan. Tepatnya ketika kita mulai disajikan jukstaposisi antara Anwar (karyawan perusahaan sabun) datang ke Sigiran, Sumatera Barat, dengan Hadi dan Huda yang sedang pergi ke Jakarta untuk mencari istri dan anak Angku Am yang memiliki sebuah toko kain di Kebayoran. Kita disajikan kontras yang seperti sistematik:
- sepinya Sigiran dan ramainya Jakarta,
- mudahnya mencari alamat di Sigiran dan rumitnya mencari alamat di Jakarta,
- sedikitnya opsi transportasi di Sigiran (salah satu tokoh hanya naik sepeda dan berlari dan tukang tambal ban hanya ada di desa lain) dan banyaknya transportasi di Jakarta (sopir mikrolet yang langsung menawarkan membawa mereka ke kebayoran),
- sulitnya mendapat sinyal telepon seluler di Sigiran (meskipun pakai smartphone), dan mudahnya menelpon di Jakarta (meskipun pakai telepon genggam lama),
- kehidupan yang berat ketika setiap belasan tahun sekali semua ikan di Danau Maninjau mati, dan betapa mudahnya toko kain beralih pemilik ke mantan pegawai di Jakarta,
- dan lain-lain.
Tentu ini belum semua perbandingan yang bisa kita buat atas kondisi Jakarta dan tepi Danau Maninjau. Namun, kontras yang muncul secara berulang-ulang ini menjadi motif yang akhirnya membuat kita penonton ini sadar bahwa ini bukan ingatan tentang masa lalu yang serba indah.
Salah satu poin yang menyadarkan bahwa kondisi ini adalah sebuah masalah adalah ketika Hadi dan Huda menelpon Aan. Sepanjang film, sambungan telepon seluler terus menerus bermasalah. Namun, di sebuah titik yang sangat jitu, sambungan telepon bisa terjadi lancar dan akhirnya menjadi katalis untuk penyelesaian cerita. Ini bagian yang menegaskan bahwa kemajuan (yang tidak sepenuhnya dimiliki kampung Sigiran) adalah sesuatu yang bisa menyelesaikan masalah.
Dengan kata lain, yang hadir di hadapan penonton film ini bukanlah nostalgia beracun. Kehidupan pastoral yang hadir di dalam film ini tidak membuat kita abai bahwa ada banyak masalah dalam konteks pedesaan itu. Hidup yang tampak sederhana itu memiliki kesulitan-kesulitannya sendiri yang menjadikannya tidak begitu menyenangkan. Kehidupan di Maninjau sama sekali tidak semuda itu, Fergusso.
Secara khusus, ada bagian yang mengingatkan bahwa kesulitan mendapatkan sinyal bisa berbahaya di masa ini. Bagaimana para tokoh kita harus ke tepi danau atau bahkan bersampan ke tengah danau hanya untuk mendapatkan sinyal mengingatkan pada beberapa kejadian miris di masa pandemi kemarin. Ada kenyataan bahwa sinyal internet tidak tersedia di semua tempat di Indonesia. Masa pandemi kemarin membuktikan bahwa pembelajaran daring yang sedianya diberlakukan di seluruh negeri ternyata tidak bisa berjalan di banyak bagian. Ada beberapa kasus di mana mahasiswa mendapat celaka atau bahkan meninggal ketika harus pergi ke tempat-tempat tidak umum hanya untuk mendapat sinyal internet, misalnya berita tentang mahasiswa Unhas yang jatuh dari menara masjid ketika mencari sinyal ini.
Namun, bagaimana film ini berakhir dengan menghangatkan jiwa ala film Hollywood menjadikannya sebagai film yang menghadirkan kesan positif. Pada akhirnya film ini akan selesai memang. Kalau beberapa hasil penelitian tentang peran nostalgia itu benar, maka kita akan mendapatkan kesegaran lagi setelah film ini usai. Saya yang mencari nostalgia pada akhirnya kembali ke kehidupan saya dengan sedikit lebih segar. Yang lebih menguntungkan adalah masa yang kita angankan itu memang sebuah masa yang tidak sempurna. Kita tetap menyadari ada yang kurang ketika di sebuah tempat di hari ini komunikasi dan transportasi tidak semudah di kota-kota besar. Pendeknya, kita menyelesaikan film ini tidak dengan kondisi terbutakan oleh nostalgia. Kita jadi tetap sadar bahwa ada yang tidak beres di sana.
Inilah kondisi yang bisa kita alami saat menonton Onde Mande! Kita mendapatkan kisah tentang rasa kasih seseorang terhadap kampung halamannya, tentang orang-orang yang berani melakukan tindakan-tindakan nyerempet bahaya yang untungnya diingatkan oleh orang lain, tentang seorang anak yang mencoba memahami keputusan-keputusan orang tua yang tidak bisa begitu saja dia pahami. Tapi, selain itu, secara tidak sadar kita juga dihadapkan pada kondisi nostalgia yang kompleks. Ada kebahagiaan karena menyaksikan kehidupan yang seperti hanya dalam angan-angan kita pada saat yang sama menyadari bahwa perasaan bahagia itu tidak membuat kita buta karena di baliknya ada sesuatu yang mengganggu. Kekayaan rasa inilah yang menjadikan Onde Mande! sebuah film yang menjalankan fungsinya dengan baik: menghanyutkan (menghibur) sambil mengusik (mengingatkan bahwa ada PR yang belum selesai).
Nostalgia adalah nostalgia, entah dia terbuat dari apa. Kadang dia tercipta dari masa lalu kita sendiri. Namun dia juga bisa terbentuk dari masa lalu yang tidak pernah kita alami tapi sering ditanamkan kepada kita (seperti nostalgia yang dirasakan para milenial atau gen-Z yang menggemari lagu-lagu city pop Jepang karena ditanamkan oleh anime). Apapun itu, yang paling berarti adalah bahwa nostalgia itu bukan menjadi tujuan itu sendiri. Dia hanya boleh menjadi satu bahan untuk mencapai sesuatu yang mendekati esensi, entah itu kedamaian kecil maupun sebuah usaha melakukan koreksi.
Kalau nostalgianya sudah terlanjur dalam dan seperti menjadi tujuan, maka waktunya kita ingat yang Ari Lasso lantunkan:
“Lebih baik kita hentikan saja.”