Memelihara Burung Secara Klise (1)

Ada satu pandangan Jawa yang bunyinya kira-kira begini: seorang lelaki Jawa baru bisa dibilang sempurna kalau dia sudah punya lima hal, yaitu wisma (rumah), wanita (istri/pasangan), turangga (kendaraan), curiga (atau senjata pelindung), dan kukila (hobi). Sedikit keterangan, kata “kukila” di sini berarti “burung,” yang maksudnya adalah burung peliharaan. Tapi, barusan itu cuman pamer saya saja sebagai orang yang kebetulan masih ingat kalau ada pandangan semacam itu. Saya sendiri tidak setuju dengan pandangan yang sangat lanangosentris (istilah Latin-Jawa untuk “patriarkal”). Yang akan saya tuliskan ini benar-benar tidak ada hubungannya dengan postingan itu. Yang akan saya tuliskan adalah tentang pengalaman memelihara burung secara klise, atau memelihara burung tanpa harus memiliki, selaras dengan klise “cinta tak harus memiliki.”

Konsep dari “memelihara burung secara klise” ini sebenarnya sangat sederhana sekali: Anda memelihara burung tanpa mengikatnya, baik dalam arti harfiah (dikurungi atau dirantai) maupun arti kias (dimiliki dan diperjual-belikan). Jadi, burung-burung yang kita “pelihara” itu boleh bikin rumah semaunya. Yang “mengikat” antara kita dan burung-burung tersebut hubungan memberi makan. Si burung akan datang kepada kita pada pagi hingga sore hari kalau dia mau makan. Memang sih, kalau dipikir-pikir, sikap seperti ini bertentangan dengan ajaran Pak Harto “berikan pancingnya, bukan ikannya.” Mungkin–hanya mungkin–burung-burung itu jadi akan tergantung kepada kita dan akan berkurang insting mereka dalam mencari pangan. Tapi, selama Badan Perburungan Nasional dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Burung belum merilis hasil riset–jika memang ada–yang menyatakan dampak negatif dari praktik memelihara burung secara klise ini, saya pikir praktik pemeliharaan ini akan sangat menguntungkan kedua belah pihak. Si burung akan lebih mudah memenuhi kebutuhan pangan dia dan keluarganya, dan kita bisa mendapatkan kenikmatan mendengar kicau burung yang bebas tanpa harus melakukan tindak pengurungan.

Pada kesempatan berikutnya, saya akan kisahkan bagaimana hobi ini berkembang dan bagaimana hobi ini dipraktikkan di lingkungan kita. Salaam cuit-cuit-cuit!

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *