Pada intinya, judul super panjang dan berliku di atas mewakili apa yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini. Tapi ya, tentu saja, sebelum sampai ke sana, saya harus bercerita dulu. Semoga tidak terlalu membosankan.
Dua setengah tahun yang lalu, saat mulai menjadi asisten dosen, saya mendapati bahwa dosen atau staf pengajar di universitas-universitas AS bisa mendapatkan buku gratis dari penerbit. Hal ini sudah mentradisi. Sampai-sampai, buku gratis tersebut punya istilah sendiri, yaitu desk copy, mungkin maksudnya eksemplar buku untuk meja pengajar. Biasanya, buku ini didapatkan melalui mengirimkan permohonan melalui faksimili, email, atau bahkan melalui satu halaman web khusus yang ada di situs web masing-masing penerbit.
Bukan hanya untuk dosen pengajar, bahkan asisten dari dosen yang mengajar kelas tersebut pun dapat buku gratis. Setahun pertama saya kuliah S3 di sini, saya “hanya” menjadi asisten untuk dosen pembimbing saya. Saya menjadi asisten dosen karena 1) saya perlu menjadi “cantrik” dan mempelajari teknik mengajar sebelum dilepaskan sendiri dan 2) saya mahasiswa asing yang masih sangat butuh meningkatkan kemampuan bahasa Inggris yg memang bukan bahasa asli saya. Jadi ya, relatif saya lebih banyak membantu dosen saya tersebut dengan keperluan pengajaran. Di semester pertama itu, saya hanya beberapa kali saja benar-benar mengajar, yaitu saat dosen saya ingin “menguji” hasil nyantrik saya dan ketika dia tidak bisa mengajar karena ada seminar atau apa. Tapi, karena saya bertugas menilai semua makalah tugas dan ujian tulis yang ada di kelas-kelas tersebut, saya pun harus ikut membaca semua materi ajar kelas tersebut. Karena adanya keharusan itulah akhirnya saya berhak mendapat semua buku wajib kelas tersebut dari penerbit. Secara gratis. Sebagai staf pengajar.
Prosedur mendapatkan buku ini sangat mudah dan seolah terlembaga. Ketika dosen pembimbing saya itu menyuruh saya minta desk copy, saya benar-benar tidak tahu apa yang dia maksud. Dia hanya bilang, “Sampean minta desk copy ya dik. Formulirnya ada di jurusan.” Saya ke kantor jurusan dengan harapan buku yg dimaksud sudah ada di sana. Ternyata, yang ada di jurusan hanya formulirnya saja. Di situ ada borang informasi kelas, mulai judul mata kuliah, nama pengajar, kode mata kuliah, jumlah siswa, dan judul buku yang dimaksud. Pegawai jurusan minta saya mengisi satu formulir untuk setiap desk copy yang saya butuhkan. Selanjutnya dia akan kirimkan formulir itu ke masing-masing penerbit lewat faksimili. Wah, berarti saya harus mengisi 7 formulir–karena seingat saya waktu itu ada 7 buku wajib. Untungnya, sebelum saya bikin tujuh, sekretaris jurusan bilang, “Coba sampean lihat saja website masing-masing penerbit, soalnya kadang-kadang mereka sudah punya bagian khusus dengan formulir elektronik yang tinggal diisi untuk meminta desk copy.” Tentu ini lebih cocok buat saya, mengurangi kerepotan–dan biar orang nggak tahu kalau tulisan tangan saya jelek :D.
Ternyata nyaris semua penerbit punya formulir elektronik. Beberapa yang tidak punya memberikan nomor telepon atau alamat email yang bisa saya hubungi secara langsung untuk mengajukan permohonan desk copy saya. Akhirnya saya garap semua itu, dan saya hanya perlu mem-faks-kan satu saja permohonan. Saya segera mendapat jawaban dari penerbit. Nyaris semua berisi persetujuan–kecuali satu penerbit, kalau tidak salah, yang meminta saya memberikan informasi jumlah siswa dan mereka mentarget minimal harus ada 20 siswa di kelas tersebut sebelum mereka bisa memberikan desk copy. Penerbit tertentu meminta juga nama dan alamat toko buku resmi di kampus yang menyalurkan buku ke mahasiswa–mungkin si penerbit perlu mengecek bahwa mahasiswa saya membeli dari sana.
Tahun selanjutnya, ketika saya mulai mengajar kelas-kelas saya sendiri, saya coba eksplorasi lebih jauh lagi hubungan antara penerbit dengan staf pengajar. Ketika itu saya mengajar mata kuliah Composition atau sebut saj aMenulis Ilmiah, yang merupakan mata kuliah wajib bagi mahasiswa tingkat pertama. Karena mata kuliah ini wajib dan ada satu program tersendiri di kampus yang menangani mata kuliah Composition ini untuk semua jurusan di universitas kami–namanya Program of Rhetoric and Composition–hubungan antara penerbit buku wajib dan staf pengajar menjadi lebih unik lagi. Kantor program mendapat buku-buku wajib itu secara langsung dari penerbit. Jadi, pengajar Composition tidak perlu meminta sendiri ke penerbit. Mereka tinggal mendatangi kantor program dan di situ sudah ada tiga buku wajib yang diperlukan untuk mata kuliah ini.
Karena buku sudah tersedia, maka saya ganti mengeksplorasi situs web penerbit buku-buku tersebut. Ternyata, buku tersebut disertai situs yang bisa dipakai untuk memberikan latihan soal buat mahasiswa dan juga memberikan materi tambahan buat mengajar. Saya pun segera memanfaatkan kesempatan ini dengan membuat akun sebagai pengajar. Penerbit meminta saya mengirimkan informasi saya secara mendetail dan institusi yang menaungi saya. Setelah mereka konfirmasi ke kantor program, saya pun akhirnya mendapat akses sebagai pengajar. Sejak itu, untuk iseng-iseng saya minta mahasiswa saya membuat akun di situs web tersebut dan mengerjakan latihan yang relevan dengan pelajaran mereka–hasil dari latihan ini langsung dikirimkan ke akun saya.
Setiap kali ada pengalaman menarik di negara paman saya ini, saya selalu bertanya: kira-kira di Indonesia ada nggak ya? Kayaknya menarik dan saling menguntungkan juga kalau hal semacam ini ada di Indonesia. Kalau penerbit mengumumkan sejak awal bahwa dosen yang mewajibkan buku tertentu akan mendapatkan satu eksemplar buku tersebut secara gratis dari penerbit, mungkin akan menguntungkan penerbit dan dosen yang bersangkutan. Kalau ingin memastikan bahwa para siswa–atau setidaknya sebagian besar mahasiswa–benar-benar membeli buku tersebut, mungkin penerbit bisa menjual langsung buku tersebut ke mahasiswa melalui perwakilan daerah mereka. Di Aa’ Syam soal distribusi memang tidak lagi masalah karena tiap kampus biasanya memiliki toko buku resmi yang menyuplai buku-buku wajib yang dipakai setiap semesternya–bahkan mereka juga menyediakan buku bekas buat siswa yang ingin beli dengan harga lebih murah. Saya tidak tahu apakah praktik seperti ini sudah lazim di Indonesia. Waktu di SD/SMP/SMA dulu hal seperti ini lazim dilakukan. Kita beli buku langsung dari sekolah melalui guru kelas–dan sepertinya ada deal tersendiri antara penyalur dengan guru.
Yang menarik dari tradisi desk copy di Amerika ini adalah adanya kepercayaan yang terbangun dan tidak adanya imbal balik yang diharapkan langsung dari dosen. Penerbit percaya bahwa dosen yang bersangkutan memang mengajarkan mata kuliah tersebut. Mungkin kepercayaan seperti ini sangat mudah dibangun karena dosen menggunakan alamat kantor di kampus, menyertakan nama mata kuliah, dan sepertinya dengan terdigitalisasinya nyaris segala hal di Aa’ Syam ini, menarik nama dosen tertentu dan melihat kredensialnya bukanlah persoalan rumit. Dengan kondisi seperti itu, penerbit bisa dengan santainya percaya dengan permohonan desk copy yang masuk. Yang kedua, ketika penerbit mengirimkan desk copy untuk dosen, dia tidak mengharap imbal balik langsung dari dosen. Dia tidak menuntut dosen untuk memastikan bahwa semua mahasiswanya beli buku baru dan penerbit akan mendapat keuntungan dari penjualannya. Memang sih, untuk mengatasi hal ini, toko buku kampus mengharap para dosen untuk tidak menganjurkan para mahasiswanya untuk membeli buku dari toko buku resmi di kampus–yang pastinya punya hubungan langsung dengan penyalur buku atau penerbit. Jadi, meskipun jelas-jelas buku bekas (atau baru) di Amazon seringkali jauh lebih murah dari buku baru (maupun bekas :D) yang dijual di toko buku resmi di kampus, para dosen tetap diharap menyertakan ucapan “buku-buku wajib ini tersedia di toko buku kampus” dalam silabus yang mereka bagikan pada hari pertama pertemuan. Sebagai mahasiswa dengan penghasilan mepet, tentu saja saya pesan buku-buku tersebut dari Amazon (kalau bisa semurah mungkin, meskipun bisa-bisa mendapat buku yang sebekas-bekasnya :D).
Mungkin Anda akan bertanya: tapi kan mata kuliah-mata kuliah tertentu pakai buku yang sama dari tahun ke tahun. Kalau begini, tidak ada gunanya dong tradisi ini? Apa gunanya punya beberapa eksemplar buku yang sama buat seorang dosen? Apa mau dijual? Memang, tidak semua mata kuliah atau dosen akan mendapat manfaat dari tradisi semacam ini. Mungkin, yang mendapat manfaat terbesar dari tradisi semacam ini adalah dosen-dosen yang mengajarkan mata kuliah yang buku wajib bacanya bisa ganti-ganti tiap semester. Mata kuliah sastra atau ilmu sosial secara umum, misalnya. Taruhlah seorang dosen mengajar mata kuliah “survei” Sastra Indonesia Masa Orde Baru. Untuk semester tertentu, si dosen bisa memilih mewajibkan karya-karya Ahmad Tohari, Kuntowijoyo dan Umar Kayam, misalnya. Dan pada semester selanjutnya, saat dia mengajarkan mata kuliah yang sama, dia bisa mewajibkan buku-buku lain, misalnya karya-karya Seno Gumira Ajidarma, Putu Wijaya dan lain-lain. Dalam keadaan seperti ini, si dosen bisa “meresepkan” buku-buku tertentu terbitan tahun tertentu dari penerbit tertentu dan dia sendiri bisa mendapatkan buku yang sama dari penerbit yang bersangkutan.
Sementara, begitu dulu hasil curhatan di kegelapan kali ini. Saya sebut ini curhat “di kegelapan” karena saya memang tidak benar-benar tahu bagaimana tradisinya di kalangan penerbitan Indonesia–bisa-bisa ini memang sudah mentradisi tapi saya saja yang tidak tahu :D. Tapi, kalau memang belum mentradisi, sepertinya akan bagus kalau dimulai.
*Unik juga rasanya pakai kata “sinergi” ini. Sepertinya ini pertama kalinya saya pakai “sinergi.” Rasanya damai sekali… 😀