Salah satu hal paling penting yang saya pelajari dari komik yang framingnya mencerminkan tema adalah bahwasanya adalah adanya bentuk dan isi, ada medium dan ada pesan. Dan yang lebih penting dari itu adalah perlunya kita menyadari bahwa idealnya medium dan pesan itu saling mencerminkan. Kalau kita transfer pemahaman sederhana ini ke dalam kehidupan nyata, maka bisa kita bilang bahwa hendaknya kita sadar bahwa semua tingkah kita (yang bisa kita pahami sebagai “pesan” dari cerita hidup kita) terangkum atau tersaji di dalam sebuah konteks atau medium.
Agar menjejak tanah, mari kita ambil contoh dalam hidup sehari-hari. Dalam framing kehidupan berumah tangga, seorang suami harus menghormati dan jujur kepada istrinya. Jika seorang lelaki sadar bahwa dia merupakan salah satu tokoh utama dalam sebuah framing atau medium yang namanya rumah tangga, maka dia seharusnya bertingkah (menyampaikan pesan) sebagaimana mestinya agar framing yang namanya rumah tangga itu tetap utuh atau tetap layak disebut sebagai framing. Kalau antara framing dan tingkah tidak sesuai, maka “pemandangan” (yang biasanya kita sebut dengan metafor “bahtera”) rumah tangga itu terlihat janggal. Maka “pemandangan” itu pun gagal menjadi pemandangan indah yang layak dijadikan tontonan atau contoh.
Sebagai contoh lain, mari kita bahas soal “kehidupan media sosial.” Saat seseorang memiliki akun facebook dan punya sejumlah kontak, dia pun sebenarnya sudah berada dalam sebuah framing atau medium. Hendaknya di sini dia harus menyadari adanya medium tersebut dan, tentunya, mengetahui batasan-batasan, definisi, dan sistem kerja medium tersebut. Salah satu sistem kerja medium tersebut, misalnya, adalah adanya teman-teman dengan berbagai kepentingan dan latar belakang dan cara pandangnya sendiri-sendiri. Bila tidak menyadari sifat dari medium ini, maka si pemilik akun yang kita bicarakan ini bisa saja memposting sesuatu yang ternyata bisa menyakiti perasaan kontak tertentu di facebook-nya. Itu satu contoh saja. Tentu masih sangat banyak persoalan yang bisa timbul dalam berkehidupan media sosial.
Selanjutnya, yang tak tak kalah pentingnya dari kesadaran akan medium dan sifat dari medium tersebut adalah bahwasanya seseorang bisa berada dalam berbagai medium yang saling beririsan. Seseorang bisa sekaligus berada dalam medium rumah tangga, media sosial, lingkungan akademis pada, dll. Dengan menyadari ini, hendaknya kita terus memperbarui kesadaran dan tak henti-henti melakukan introspeksi diri (atau metakritik, atau mengkritisi cara kita mengkritisi sekeliling). Kesadaran seperti ini, kongkretnya, bisa membuat seseorang berpikir ulang sebelum bertingkah atau menyampaikan kesan. Oh ya, “berpikir ulang” adalah suatu frase yang mungkin sudah kehilangan artinya, sudah terjerembab ke dalam kubangan klise.
Sebagai contoh, saat hendak mengkritisi pernyataan seorang pejabat, kita:
- mengkritisi sisi negatif ucapan pejabat tersebut (biasanya lebih mudah mengawali dengan yang negatif),
- terus kita ulangi lagi proses berpikir kita dan memastikan apakah memang benar pernyataan pejabat tersebut mengandung sisi negatif seperti yang kita pikirkan (ini penting sebab saat kita mengkritisi sisi negatif sesuatu dan terlalu tenggelam dalam kekritisan kita, kita cenderung terbawa berpikir sampai-sampai kita mengada-adakan yang tidak ada hanya karena kita ingin sesuatu itu ada),
- terus kita ulangi lagi proses berpikir kita kali ini dengan memperhatikan apakah pantas saya menyampaikan hasil berpikir kritis kita sendiri (apakah kita ini sebenarnya tidak sama halnya dengan si pejabat itu–ini penting, sebab saat kita menyampaikan sesuatu dan ternyata kita sendiri tidak melakukan sesuatu itu, dan orang lain tahu tentang itu, maka pernyataan kita, betapapun pentingnya, akan otomatis kehilangan “ethical appeal” atau “daya tarik etis”nya dan tidak ada lagi artinya),
- dan setelahnya kita terus ulangi proses berpikir sampai kita benar-benar yakin akan apa yang akan kita sampaikan.
Kita bisa bawa lagi kesadaran akan medium ini ke tingkat yang lebih luas, misalnya sebagai manusia yang hidup di alam yang bekerja dengan segala hukumnya. Dengan menyadari sebab-akibat dalam cara kerja alam, kita jadi lebih berhati-hati dalam melakukan segala hal. Mungkin di sinilah tingkat kesadaran akan medium yang sangat besar dan berat dijalankan. Di dalam lingkup inilah seorang manusia harus terus menerus pasang mata dan telinga dan kesadaran untuk tidak melakukan sesuatu yang merugikan orang lain dan alam sekaligus meningkatkan kesadaran akan cara kerja alam.