Pahit Manis Romantika dengan Kopi: Masa-masa Sulit (1)

Kopi tidak pernah terlalu jauh dari kehidupan saya, tapi keintiman dengan kopi baru saya alami selama beberapa tahun saja. Dan buntut dari postingan ini adalah niat dan usaha saya untuk kembali menjaga jarak dengan kopi. Tapi dalam kesempatan ini, biarkan saya awali dengan masa-masa sulit dalam hubungan kami.

Dulu waktu kelas dua SD, Mak saya (sebutan untuk nenek dari ibu) suka membuatkan secangkir kecil kopi kalau saya mau menyapu kebun belakang dan halaman pada sore hari. Waktu agak besar sedikit, saya suka sesekali bikin kopi atau teh atau coklat (maksudnya coklat bubuk buat kue dikasih air panas dan gula). Waktu kuliah saya sesekali bikin kopi, tapi lebih sering lagi minta kopi teman sekamar saya Cak Sarip yang suka bawa kopi jahe yang digoreng dan ditumbuk sendiri oleh ibunya di Pamekasan. Saat kuliah itulah saya mulai merasakan nyeri lambung dan belakangan saya sadari bahwa kopi menyebabkan nyeri lambung itu.

Sejak akhir kuliah hingga beberapa tahun kemudian, saya sering nyeri lambung dan kata dokter yang memeriksa saya gejala itu disebabkan oleh asam lambung atau maag. Sebelum lulus kuliah, saya pernah “dilarikan” ke bidan dan ke UGD karena nyeri perut ini. Oh ya, saya ke bidan karena saya adalah anak kos culun yang putus asa dengan nyeri lambung dan tidak tahu harus berbuat apa sementara tidak jauh dari teman kosan saya ada bidan, yang menurut saya punya pengetahuan medis cukup untuk mengobati gejala nyeri lambung saya. Baru ketika saya mengalami nyeri lambung lagi (dan tidak tertahankan lagi dan punya uang sedikit lebih banyak sehingga lebih PD) saya tahu harus ke Unit Gawat Darurat di Rumah Sakit Islam Malang. Oke, saya akan buat postingan tersendiri tentang romantika nyeri lambung ini. Untuk kesempatan ini, saya hanya perlu katakan bahwa karena nyeri lambung itulah, dan karena dokter bilang bahwa kopi dan teh termasuk minuman yang berpotensi memicu nyeri lambung, saya mulai menjaga jarak dengan kopi.

Setelah saya mulai kerja, sebenarnya sesekali saya masih minum kopi, tapi sedikit sekali dan encer sekali. Saya saat itu masih separuh-separuh tidak percaya bahwa kopi bisa membuat kita tetap terjaga, karena saya relatif bisa terjaga (dan bisa juga tertidur :D) tanpa minum kopi. Saat menerjemah malam-malam pun saya bisa mengukuhkan tekad untuk tetap terjaga tanpa harus minum kopi. Karena dipicu oleh makanan-makanan lain, saya tetap rutin mengalami nyeri lambung, yang membuat saya kenal Unit Gawat Darurat di kota-kota yang sempat saya tinggali dan kunjungi: Malang, Kediri, Tuban, dan Fayetteville. Di periode inilah saya mulai bisa memastikan secara positif bahwa kopi adalah pemicu nyeri lambung yang signifikan. Pernah saya minum Nescafe classic setengah gelas dan selama seminggu setelahnya perut saya kembung dan nyeri dan kembung dan nyeri secara berkesinambungan (mohon pihak Nescafe tidak menganggap ini pencemaran nama baik, karena masalahnya adalah saya sendiri, dan sebenarnya ini adalah bukti bahwa Nescafe memiliki kandungan kafein yang mak nyus bagi banyak orang–tapi mak nyos bagi saya).

Maka demikianlah, selama masa-masa yang penting dalam perkembangan diri dan kedewasaan saya (prek!), kopi adalah entitas yang kerap saya hindari. Tapi tidak lama sesudahnya, hubungan kami akan berbalik seratus delapan puluh lebih satu derajat! (Berlanjut)

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *