Misteri Pengguna Lab Komputer (Masih Misteri)

Ada sebuah “lab tersembunyi” di kampus saya yang menyimpan misteri tersendiri bagi saya. Pertama, saya sebut tersembunyi karena tidak semua orang tahu lab komputer ini. Lokasinya memang di sebuah gedung yang terpisah dari keramaian kampus, perpus, Student Union (gedung serbaguna tempat segala kegiatan extrakurikuler mahasiswa), dan asrama. Lab komputer “tersembunyi” ini berada di gedung yang dipakai untuk kantor polisi dan kantor angkutan umum dan parkir. Kedua, ada misteri yang tersimpan karena … saya akan ceritakan sebentar lagi.

Gedung ini tidak pernah tutup karena di gedung ini terdapat kantor polisi. Lab komputer itu sendiri selalu tertutup, kecuali bagi orang-orang yang sudah mengaktifkan kartu mahasiswanya untuk bisa membuka pintu lab komputer ini. Jadi, komputer ini selalu tutup sekaligus selalu buka. Dua puluh empat jam. Tujuh hari seminggu. Thanksgiving maupun Natal.

Saya ke lab ini (saya sekarang menulis dari sini) tiap malam mulai jam 9 sampai jam 2 pagi untuk membaca, menulis, atau bahkan mengoreksi tugas-tugas mahasiswa. Tempat ini lebih hangat dari ruang kantor saya sendiri. Di sini, biasanya hanya ada satu atau dua orang saja selain saya (padahal ada 16 komputer), dan seringkali saya sendirian di sini (sehingga bisa memutar musik keras-keras dari komputer Dell dan iMac yg CPU-nya jadi satu dengan monitor dan dikaruniai speaker (btw, speakernya Dell lebih jernih daripada speaker iMac :D).

Sejauh ini, ada dua orang pengguna lab yang sangat menarik perhatian saya. Orang pertama adalah petugas kebersihan gedung ini yang biasanya mengepel lantai antara jam 7 hingga jam 10. Seringkali, saat baru datang, bapak berambut gondrong agak beruban ini nongkrong menggunakan salah satu komputer di lab ini. Setiap kali saya sapa, selalu orangnya menjawab dengan penuh senyum dan menjawab “Apa kabar? Baik-baik?” Di bagian dada seragam birunya tertera nama… (ah, saya simpan saja namanya). Biasanya dia masuk ke lab dan menggunakan komputer sambil menunggu lantai yang dia pel mengering. Untuk membantu pengerian lantai, dia pakai kipas angin dengan kabel super panjang yang dicolokkan ke sebuah colokan di basement.

Satu kali, saya sudah di dalam lab saat bapak petugas kebersihan baru masuk. Dan dia mengambil posisi komputer yang membelakangi saya. Setelah beberapa saat, saya menoleh (sekadar KEPO, heheh) dan mendapati bahwa si bapak ternyata tersenyum-senyum membuka facebook. Beberapa saat kemudian dia keluar lagi dan melanjutkan mengepel lantai. Saya keluar sebentar untuk pipis (maksudnya keluar lab untuk pipis ke toilet, bukan pipis di luar gedung) dan saat ketemu si bapak di lorong saya iseng-iseng ngajak dia ngobrol. Dia tidak mendengar saat saya bilang “Sampai jam berapa pak kerjanya?” Dia mengisyaratkan tidak mendengar yg saya katakan. Saya curiga, jangan-jangan dia tidak akrab dengan aksen saya, dan saya pun ulangi ucapan saya. Kali ini si bapak menangkupkan tangan di belakang telinganya “Maaf, pendengaran saya buruk.”

Seorang lagi pengguna lab yang tak kunjung hilang dari benak saya adalah seorang bapak usia 45-an tahun yang berambut keriting agak panjang yang mencuat dari bawah topi bisbol warna kusam. Saya ketemu dia di lab ini cuma dua kali. Bapak ini bukan mahasiswa, saya lumayan yakin (dan memang semua orang boleh ke kampus dan menggunakan komputer untuk mengetik, berinternet atau mencetak). Saya cukup yakin dia seorang karyawan kampus, karena kalau bukan karyawan kampus tidak mungkin dia punya kartu mahasiswa/karyawan yang memberi akses memasuki lab ini. Badannya lumayan besar dan pipinya lumayan subur. Pertama kali bertemu, tidak ada yang menarik dari bapak satu ini.

Yang membuat saya tidak bisa lupa adalah pertemuan kedua. Saat itu pagi hari Natal 2013 pada pukul 10 pagi. Saya ingat betul karena hari itu saya dan keluarga sudah siap berangkat untuk jalan-jalan (road tripping) ke Negara Bagian Missouri. Karena saat itu saya sudah tidak punya lagi smartphone dan data plannya, saya harus mencetak semua alamat tempat yang saya tuju (hotel dan landmark) dan mencetak jalur perjalanan dari Arkansas ke beberapa kota di Missouri. Karena hari itu Natal, hanya lab tersembunyi ini yang buka. Saya pun datang ke sana saat sudah siap berangkat. Istri dan anak saya di mobil sementara saya masuk dan mencetak peta dan alamat yg saya butuhkan. Ada sebuah mobil lain di parkiran, sebuah van kusam–yang asalnya putih.

Di dalam lab, saya lihat si bapak berambut keriting yang saya maksud, membuka komputer membelakangi pintu masuk. Saya sapa dia “Pagi!” dan kalau ada respon positif, saya akan melanjutkan perbincangan sekadar menanyakan kenapa kok di sini pas Natal. Jawabnya cukup singkat: “Pagi” tanpa menolehkan kepala sedikit pun sekadar ingin melihat siapa yang baru masuk ke lab. Saya pun mengurungkan niat ngobrol lebih lanjut dan segera menyelesaikan urusan saya dan langsung keluar begitu selesai. Saat melihat van putih tadi, saya otomatis menghubungkan mobil itu dengan si bapak yang ada di dalam lab. Iseng-iseng saya longok isi van itu dalam perjalan ke mobil saya. Di dalam van ada banyak kotak dan barang-barang berserakan di bagian belakang sopir. Ada juga baju-baju yang entah, habis dicuci, belum dicuci, atau apa–yang pasti tidak terlipat rapi. Saya langsung masuk mobil dan bilang ke istri saya “Kayaknya yang punya van sebelah ini tidak punya tempat tinggal tetap.” “Ah, masak?” katanya sambil menyesuaikan spion, memundurkan mobil, dan keluar dari tempat parkir.

Hingga saat ini, saya tidak pernah kenal lebih jauh dengan orang-orang ini. Entah apa yang mereka lakukan saat ini. Misteri mereka tetap menjadi misteri bagi saya, tapi tidak bagi komputer-komputer ini, yang saya yakin masih mencatat jejak situs-situs yang pernah mereka kunjungi.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

1 comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *