Sejarah vs Antropologi: Siapa Pemilik Manusia Purba?

Secara default, kita percaya bahwa apa-apa yang terjadi di masa lalu adalah domain ilmu sejarah. Dengan kata lain, ada asumsi umum bahwa segala yang berasal dari masa lalu adalah sejarah. Waktu SMP, saya sendiri belajar tentang manusia purba (yang sudah bisa dipastikan hidup di masa lalu) dalam pelajaran sejarah. Memang, ketika itu disebutkan bahwa manusia purba itu hidup di masa pra-sejarah, ketika belum ada tulisan, atau masa yang tidak ketahui sumber tulisan tentangnya. Tapi, memasukkan manusia purba ke dalam domain ilmu sejarah itu sendiri sama halnya dengan mengakuisisi subyek ini ke dalam ilmu sejarah. Kontradiktif, bukan?

Sekadar pengingat, ilmu sejarah adalah ilmu yang sangat menggantungkan pada sumber-sumber tertulis (dokumen, surat, prasasti, faktur, catatan dll). Karena kita hanya mengenal sejarah melalui sumber-sumber tertulis (yang tidak mungkin bisa menggambarkan seluruh aspek kehidupan masa lalu), maka interpretasi dan logika menjadi vital artinya dalam ilmu sejarah. Dari sinilah muncul guyonan bahwa kalau ada 7 orang sejarawan menulis sejarah tentang satu periode tertentu, maka kita akan mendapatkan 15 versi sejarah periode tersebut. Ya, masuk akal sekali, karena meskipun sama-sama menggunakan logika, tidak semua orang memiliki penafsiran yang sama tentang satu atau lain hal (karena latar belakang sosial maupun kepentingan masing-masing sejarawan). Karena ini pula, ungkapan bahwa sejarah selalu ada di tangan pemenang itu sangat masuk akal.

Jawaban tentang tanda tanya saya selama ini terjawab ketika baru-baru ini saya mengambil kuliah online antropologi yang membahas tentang evolusi manusia. Nah, di sinilah saya sadar bahwa manusia purba itu harusnya ada di domain antropologi, ilmu yang mempelajari tentang manusia, tidak hanya manusia modern, tapi juga manusia purba. Pendeknya segala makhluk yang masuk kategori hominid atau primata. Dengan memasukkan ihwal manusia purba ke dalam domain antropologi, tidak ada lagi kontradiksi dengan gagasan bahwa ilmu sejarah adalah ilmu yang sangat mengandalkan interpretasi berdasarkan sumber-sumber tertulis dan membutuhkan pengolahan rasionalitas.

Antropologi, yang lokasinya bisa dibilang ada di persimpangan antara ilmu alam dan ilmu sosial, banyak berhutang pada biologi dan kimia. Paling tidak, untuk menentukan kisaran tahun asal sebuah spesimen tengkorak manusia purba, misalnya, dibutuhkan pelacakan karbon (yang berasal dari ilmu kimia) dan pengenalan anatomi hominid (yang berasal dari ilmu biologi) karena seringkali kita hanya menemukan sepotong tulang acak yang kalau kita tidak akrab dengan anatomi primata pasti tidak akan tahu tulang ini asalnya dari bagian tubuh mana. Atau, untuk mengetahui zaman hidup si manusia purba, antropolog juga perlu tahu di lapisan batu yang mana tengkorak itu berasal, atau di gua macam apa tengkorak itu tersembunyi, dan apa saja yang terjadi di goa itu.

Pendeknya, antropologi membutuhkan pendekatan yang kandungan empiriknya lebih banyak. Bahkan, saking empiriknya, banyak juga antropolog yang memfokuskan pada reka ulang kehidupan manusia purba, misalnya dengan cara mempelajari cara membuat kapak batu. Atau–yang ini lebih menarik lagi–ada juga antropolog yang (dengan tujuan mengetahui pola makan manusia purba dan makanan apa yang mereka konsumsi) melakukan penelitian terhadap keausan gigi manusia jaman sekarang dan membandingkannya dengan keausan gigi orangutan, seperti yang dilakukan oleh Dr. Peter Ungar yang pernah melakukan penelitian orangutan di pulau Sumatra.

Terus, Anda mungkin bertanya apa signifikansi dari memutuskan ke mana kita harus memasukkan urusan manusia purba ini ke kurikulum sekolah. Saya sendiri tidak bisa bilang apa arti pentingnya. Tapi yang pasti, dengan memperjelas batas-batas antara sejarah dan antropologi dan mengetahui apa-apa yang masuk ke dalam ranah sejarah dan antropologi, seorang murid jadi lebih sadar akan sifat sejarah yang sangat membutuhkan pemahaman akan sumber dan interpretasi. Jika sikap yang seperti ini terpupuk, maka kita tidak akan mudah percaya dengan apa-apa yang secara umum kita anggap sejarah (seperti mitos bahwa Gajah Mada menyatukan seluruh “Nusantara”), karena kita akan menuntut bukti tertulis tentangnya. Hmm… Kok masih kurang kuat ya alasan saya? Baiklah, saya berikan signifikansi kedua: dengan mengetahui batas-batas kedua bidang ilmu ini (terutama ilmu antropologi yang sangat membutuhkan ilmu alam) kita juga jadi tidak begitu saja menganggap apa yang kita ketahui tentang ihwal manusia purba dan sejarah sebagai sesuatu yang lengkap, paripurna, sempurna dan harus kita percayai kebenarannya hingga akhir hayat. Pemahaman kita akan subyek-subyek dalam antropologi juga hendaknya terus meningkat seiring dengan meningkatnya aplikasi ilmu alam di masa kita.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

1 comment

Itu domain biologi evolusioner dan antropologi Oom. Sejarah butuh cerita tekstual yang bisa menjadi artefak, sebelum ada tulisan kan pakar sejarah menyebutnya zaman prasejarah. Menarik 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *