(Resensi) Dying in a Strange Country karya Tahira Naqvi

Judul: Dying in a Strange Country
Penulis: Tahira Naqvi
Penerbit: TSAR Publication
Cetakan: I, 2000

Buku ini adalah kumpulan cerita yang terdiri dari 11 cerita pendek. Tentu, istilah “cerita pendek” di sini agak-agak berbeda dengan “cerpen” yang kita pahami untuk konteks Indonesia kontemporer, yang definisinya semakin mengarah kepada cerita-cerita yang ukurannya pas untuk sepersekian halaman koran dengan konflik yang singkat dan memberi penekanan lebih kepada kejutan. Cerita-cerita dalam kumpulan ini mirip dengan cerpen-cerpen barat yang hingga saat ini habitatnya lebih pada jurnal-jurnal sastra yang tidak memberi batasan sangat ketat dalam hal jumlah halaman. Tema-temanya pun relatif lebih lebar dan dieksplorasi secara cukup mendalam. Untuk bandingannya, ada dua kumpulan cerita yang bisa saya sebutkan, Dubliners (James Joyce) dan The Interpreters of Maladies (Jhumpa Lahiri), yang menurut saya dua tonggak penting dalam sejarah kumpulan cerpen yang bisa kita jadikan ukuran untuk kumpulan-kumpulan cerpen kontemporer. Dan bukan kebetulan kalau saya pilih dua kumpulan cerita itu, karena Dying in a Strange Country memiliki dua kekhasan penting mereka, yaitu adanya keutuhan yang terbentuk bila kita hubungkan antara satu cerita dengan lainnya (seperti pada Dubliners) dan tema tarik ulur antara negeri asal dan negeri angkat baik dalam hal identitas dan budaya (seperti dalam The Interpreter of Maladies). Menariknya, Dying in a Strange Country lumayan intens memasukkan Islam sebagai wilayah tarik ulur antara Barat dan Timur dalam sebagian cerpen dalam kumpulan ini.

Secara konsisten, cerita-cerita Naqvi mengangkat tema pertremuan antara Amerika dan Pakistan. Dalam semua cerpen yang mengangkat topik berbeda-beda ini, kita menemukan tokoh-tokoh yang saling memiliki keterkaitan. Ada tokoh Zenab yang paling sering muncul tapi pada masa yang berbeda-beda: ketika dia baru menikah dan baru memiliki satu anak, ketika dia sudah beranak tiga dan memutuskan untuk tidak akan lagi “pulang” permanen ke Pakistan, dan ketika anaknya sudah beranjak dewasa. Selain Zenab, tokoh-tokoh lainnya adalah kerabat, teman atau pegawai di rumah keluarga besar Zenab. Dengan kata lain, cerita-cerita dalam buku ini terjadi di dunia yang sama, yaitu dunianya Zenab dan Ali dan Khadija dan Ramzan dan lain-lain. Tapi cerita-cerita ini terjadi pada masa yang berbeda-beda, sehingga tokoh-tokoh yang sama itu terkadang karakternya sudah berkembang (dan berubah) ketika muncul lagi pada cerita yang lain. Yang asyik, karena sifat unik ini, di satu sisi kita mendapatkan cerita yang temanya topiknya berlainan sementara kita tetap memiliki pemahaman cukup mendalam atas masing-masing karakter (karena telah muncul di cerita yang lain dengan konflik-konflik yang membentuk kepribadian mereka masing-masing) tanpa terus-menerus membaca deskripsi setiap kali mereka muncul.

Para tokoh dalam cerita-cerita ini mengalami kejutan identitas dalam kaitannya dengan kehidupan mereka di negara angkat mereka, Amerika Serikat. Kejutan identitas ini banyak berhubungan dengan Islam, yang jelas-jelas di sini digambarkan sebagai sesuatu yang paling membuat membedakan antara para imigran asal Pakistan dengan masyarakat Amerika Serikat secara luas. Cerpen yang dijadikan judul kumpulan ini saja, “Dying in a Strange Country,” mengangkat kisah Sakina Bano, seorang perempuan baya yang mengunjungi putranya di Amerika Serikat untuk pertama kalinya. Sepanjang perjalanan dan hari-hari awalnya di Amerika Serikat, dia dihantui ketakutan akan meninggal dunia di Amerika Serikat dan harus dikubur di sana, di negeri yang aneh (kata “strange” dalam judul ini mengandung permainan antara kesan “asing” dan “aneh”), yang orang-orangnya bukan Muslim. Dia semakin resah (sekaligus merasa menemukan berkas cahaya) saat mengetahui bahwa kalau ingin dipulangkan ke negeri asalnya, jenasah seseorang harus menempuh perjalanan udara yang membutuhkan 4 kali transit. Dia menganggap ini solusi karena meskipun anaknya tidak akan mampu membayar biaya 4 tiket pesawat itu, dia punya properti di Pakistan yang bila dijual bisa dipakai untuk membiayai perjalanan jenasah yang hanya ada di benak Sakina Bano tersebut. Di cerita “Paths Upon Water,” kita bisa melihat Khadija yang tersentak kaget saat mendapati bahwa di pantai Amerika Serikat ada banyak sekali wanita yang tampil nyaris telanjang; dan dia kaget karena anaknya seperti tidak terganggu dengan pemandangan orang-orang yang untuk ukurannya (yg selalu mengenakan busana khas Pakistan dengan kerudung “dupatta” itu) seperti orang telanjang tersebut. Yang lebih mengejutkan bagi dia adalah ketika melihat bahkan seorang gadis Asia Selatan yang ada di sana juga mengenakan baju renang.

Tentu saja, ada satu elemen sangat penting yang diperlukan agar penyajian tema-tema imigran ini lebih hidup dan tidak membosankan: humor. Dalam cerita-cerita yang banyak berisi kisah orang terkaget-kaget menghadapi dunia yang serba berbeda ini, humor membuat cerita-cerita ini terasa menyenangkan untuk dibaca dan meninggalkan kesan yang cukup kuat. Dalam cerpen “All Is Not Lost,” kita kembali bertemu Khadija, perempuan yang dalam cerpen “Paths Upon Water” itu terkaget-kaget dengan adegan pantai ala Warkop DKI. Kali ini, Khadija, sebagai seorang tetua di keluarga besarnya yang ada di Amerika Serikat, didapuk menjadi wakil dari keluarga besar mempelai putri dalam pernikahan antara Maryam dan Jerry. Masalahnya, Khadija tinggal di Amerika baru beberapa sore saja. Dia memaksakan ukuran Pakistan dalam prosesi dan memandang pernikahan antara sepasang anak muda ini. Jerry adalah seorang pemuda Amerika, dan keinginannya untuk meresmikan hubungannya dengan Maryam membuat ayah Maryam kaget dan berang. Untungnya, belakangan Jerry memutuskan untuk menjadi Muslim, yang sementara membuat urusan pernikahan tidak terlalu ganjil. Tapi, sepanjang acara resepsi, Khadija terlihat murung, ada yang menggelayut di benaknya. Setelah didesak oleh Zenab, akhirnya dia mengatakan bahwa dia galau karena memikirkan satu hal, yaitu… Ah, tidak saya bocorkan deh, biar Anda menikmati ngakak atau nyengir sendiri malam-malam.

Yang membuat saya beberapa kali mengernyitkan dahi selama membaca kumpulan cerpen ini adalah adanya kesan yang berulang kali muncul bahwa pada akhirnya, nilai Amerika Serikat adalah nilai yang lebih unggul dan identitas Pakistan pada akhirnya akan luntur. Mungkin tidak sesederhana itu, tapi yang jelas, di beberapa cerpen kita melihat bahwa amalan dan kebiasaan Islam yang dijalankan oleh para tokoh dalam cerpen ini cenderung bersifat permukaan dan tidak universal, sehingga menciptakan kelucuan-kelucuan dan kekolotan saat para tokohnya memaksa memahami kehidupan Amerika Serikat dari kaca mata mereka sebagai Muslim. Kekhawatiran Farwa akan higinitas makanan Pakistan dalam “Lost in the Marketplace” dan Halima Khala dalam cerpen “The Poor Boys” yang tidak habis pikir bagaimana para lelaki mau “disuruh” memanggang barbekyu dan membuat teh di rumah mereka di Amerika adalah dua contoh yang menyoroti betapa tertinggalnya “peradaban Pakistan” di banding Amerika. Pada contoh pertama, Farwa yang lahir dan besar di Amerika itu merasakan bahwa kadar kebersihan umum di Pakistan terasa mengerikan bagi orang yang hanya tahu kehidupan Amerika. Sementara bagi Halima Khala, seorang lelaki hanya bertugas duduk-duduk dan ngobrol saja saat di rumah karena dia sudah capek membanting tulang untuk keluarga, dan para perempuan harusnya melayani mereka. Tapi, sepertinya ini adalah salah satu agenda yang ditawarkan dalam pertemuan antara Timur dan Barat. Ada elemen-elemen unggul yang mau tak mau harus diakui oleh satu pihak. Toh, kalau dipikir-pikir, bukan tidak beralasan bila para tokoh dari Pakistan ini menganggap Amerika Serikat sebagai solusi dalam permasalahan ekonomi dan kurangnya sumber daya di Pakistan sendiri. Bagi mereka, keunggulan Amerika Serikat terbentuk dari hal-hal kecil seperti higinitas, kesehatan dan adanya upaya untuk menyetarakan hubungan jender.

Sementara begitu dulu ulasan singkat tentang kumpulan cerpen ini. Kalau ada di antara saudara sekalian yang berminat menerbitkan terjemahan kumpulan cerpen ini, saya akan senang sekali membantu mencarikan informasi lebih lanjut. Bahkan, kalau butuh fact checker untuk terjemahannya, saya bersedia sekali meluangkan waktu untuk itu. Hehehe…

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *