Konsep Signifyin(g) dan Implikasi-implikasinya

Dalam buku seminalnya yang berjudul Signifying Monkey, Henry Louis Gates, Jr. menyodorkan satu konsep estetika sastra Afro-Amerika (dan juga seni budaya khas Afro-Amerika secara umum). Konsep itu disebut “signifyin(g)”. Memang seperti itu, ada “g” di dalam kurung. Dan demi menghindari masalah terkait peliknya urusan peristilahan ini, saya tidak akan menerjemahkan “signifyin(g)”. “signifyin(g)” adalah penandaan, tapi berbeda dengan penandaan yang umumnya kita pahami.

Dalam linguistik, Ferdinand de Saussure menteorikan bahwa pada dasarnya bahasa adalah sistem penandaan, signifikasi. Sebuah kata adalah penanda yang merujuk kepada petanda, atau entitas mental yang diacu kata tersebut. Kalau fokusnya diperluas lagi, kalimat adalah untaian kata-kata yang memiliki maksud tertentu. Begitulah sederhananya bahasa bekerja, ada bunyi yang bisa didengar yang fungsinya untuk mengantarkan konsep mental yang hanya bisa terbentuk di benak kita. Saat saya bilang “Tolong tutup pintunya,” Anda sebagai orang yang memahami cara kerja bahasa akan tahu bahwa yang saya inginkan adalah agar pintunya tidak lagi terbuka, dan Anda pun menutup pintu. Begitulah sistem penandaan konvensional, yang mengandaikan bahwa di balik sebuah ujaran terdapat maksud yang bisa ditangkap. Pendeknya, bahasa adalah mangkok yang menjadi wadah untuk bakso makna. Metafora dan berbagai jenis penggunaan bahasa yg tidak tidak to-the-point cenderung dianaktirikan. Bagi Henry Louis Gates, Jr., sistem penandaan konvensional ini disebut “sistem penandaan orang kulit putih.”

Berdasarkan observasinya atas karya-karya seni budaya Afrika Amerika, dan dengan diilhami teori dekonstruksi Jacques Derrida–yang biasanya dipahami orang sebagai teori tentang tidak adanya makna tunggal di balik sebuah ujaran–Gates menyatakan bahwa seniman budayawan Afro-Amerika bekerja dengan sistem penandaan yang berbeda. Pertama-tama, untuk membedakan sistem penandaan itulah dia menggunakan istilah “signifyin(g)”–seperti kecenderungan orang Afro-Amerika secara umum, bunyi “ng” pada “kata kerja+ing” tersunat dan menyisakan bunyi “n”. Dengarlah lagu Kanye West yang berjudul “One”: The storm is on the horizon, I’m si’in here all alone. Sori, bukan bermaksud meremehkan pengetahuan Anda. Saya cuma seorang blogger yg belajar menulis dengan jelas dan menyokong setiap klaim dengan contoh dan penjelasan. Baik, kembali ke urusan “signifyin(g)”, yang membedakan cara penandaan Afro-Amerika adalah tidak adanya penyampaian maksud dengan sistem penandaan yang saklek dan literal.

Kongkretnya, dalam karya seni budaya Afro-Amerika (bahkan sejak masa perbudakan, dan bahkan sejak masih di Afrika), bahasa tidak hanya menjadi mangkok pengantar bakso makna. Bahasa tidak hanya dipakai untuk menyampaikan pesan. Sebaliknya, bahasa digunakan hingga pada ekstrimnya membingungkan penerimaan makna. Dalam praktiknya, narasi Afro-Amerika sarat dengan interupsi, gangguan, banyolan, metafora dan lain-lain yang cenderung mengalihkan perhatian dari maksud yang ingin disampaikan. Contoh sederhananya adalah, seperti sering muncul di film, kotbah di gereja-gereja kulit hitam: pendeta berceramah penuh semangat dan di tengah-tengah dia meminta persetujuan jemaatnya “bagaimana saudara?” dan jemaat pun menyahut “benar pak pendeta!” atau kadang-kadang tanpa diminta pun jemaat menyela “seratus persen betul pak pendeta!” Praktik ini terbawa bahkan di kalangan Muslim kulit hitam, pada zaman Moorish Science Temple, Nation of Islam, atau bahkan para Muslim yang ikut pindah haluan ke arah sunni mengikuti Warith Deen Muhammad. Contoh lain dari sistem penandaan yang cenderung liar ini adalah musik bebop (yang contoh terbaiknya adalah album Kind of Blue): hanya ada progresi sederhana yang ingin disampaikan, tapi si musisi menggunakan improvisasi setiap kali ingin menyampaikan progresi sederhana itu kepada pamiarsa dan para mitra dengar.

Dalam karya sastra, sebagaimana diteorikan Henry Louis Gates, Jr., penandaan gaya Afro-Amerika ini menempatkan bahasa kias, “interupsi, ambiguitas main-main, dan ‘menyampaikan sesuatu secara mbulet'” sebagai modal utama (Venturio 191). Tujuannya pun kadang diniatkan untuk menyulitkan pemahaman. Dan bagi orang-orang yang hidupnya dalam tekanan seperti pada masa perbudakan, gaya bahasa yang seperti ini menjadi perlindungan. Tidak bisa tidak, di sini saya jadi ingat cerita yang dipercaya banyak orang Malang. Konon, asahab ngalaman yang dilowak-lawik* itu sebenarnya adalah upaya genaro ngalam** untuk membingungkan orang luar pada masa kolonial dulu. Saya tidak pernah membaca sendiri penelitian tentang ini, tapi asyik juga kan kedengarannya kalau memang iya?

Kembali ke Henry Louis Gates, Jr. dan “signifyin(g)”, itulah sumbangan Gates dalam teori sastra (Afro)Amerika. Dengan pemahaman mendasar tentang kecenderungan penting dalam karya seni-budaya Afro-Amerika itu, Gates seolah menegaskan bahwa kita tidak bisa membaca karya-karya seniman/budayawan kulit hitam seperti halnya kita membaca karya-karya orang kulit putih. Kita tidak bisa menggunakan standar yang sama untuk membaca karya-karya itu. Seperti kata Einstein, kita tidak bisa menilai gajah dari kemampuannya naik sepeda. Menggunakan standar konvensional hanya akan membuat daftar sastra kanon kita berisi tulisan orang-orang kulit putih. Bagi kita di nuswantara, mungkin ada lagi implikasi dari pemahaman akan beragamnya standar ini: bagaimana kita mengukur karya seni budaya kita? Apakah kita masih mengukur kualitas karya sastra kita dengan standar asing? Ataukah kita sudah sempat menggali kecenderungan budaya kita (yang adi ragam ini) dan menjadikannya sebagai tolok ukur untuk karya di saat ini?

Oh ya, pasti Anda bertanya-tanya kenapa buku Gates yang berisi konsep “signifyin(g)” ini berjudul Signifying Monkey? Sebenarnya “signifying monkey” adalah monyet super cerdik dalam salah satu legenda Afrika (mungkin semacam kancil-nya orang Melayu). Si monyet ini selalu menang melawan binatang2 lain yang lebih kuat karena kemampuannya bermain kata-kata sehingga berhasil mengkadali binatang-binatang lain. Ya, dia bermain-main dengan sistem penandaan. Ya, dia menggunakan bahasa bukan hanya untuk menyampaikan maksud, tetapi juga untuk mengaburkan maksud, dan menyelamatkan jiwanya. Seperti halnya para seniman dan budayawan Afro-Amerika.

*bahasa Malangan yang dibolak-balik

**orang Malang

Saya berhutang super banyak kepada Henry Louis Gates, Jr. dalam bab 2 buku Signifyin(g) Monkey yang berjudul “The Signifying Monkey and the Language of Signifyin(g): Rhetorical Differences and the Orders of Meaning” dan Steven J. Venturio dalam buku The Complete Idiot’s Guide to Literary Theory and Criticism yang membuat konsep ruwet jadi renyah.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *