Ayat-ayat Cinta: Berdakwah, dan Membantu Menyingkap Profil Mayoritas Pembaca Muslim?

Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy bercerita tentang beberapa bulan dalam kehidupan Fahri Abdillah Shiddiq, seorang mahasiswa Indonesia asal Jawa yang sedang menempuh pendidikan S-2 Ilmu Tafsir di Universitas Al-Azhar di Kairo. Novel ini tidak begitu kompleks, pesannya jelas, dan enak dijadikan bacaan yang menghibur dan mendidik. Pendeknya: mudah dibaca dan informatif. Di antara berbagai hal, ada beberapa faktor utama yang menciptakan kenyamanan novel ini,  yaitu karakterisasinya yang sederhana, temanya yang tegas dengan moral Islami, latarnya yang cukup menggiurkan, dan sorga dunia (atau utopia) dalam berbagai bentuk yang ditawarkannya.

Karakterisasi Ayat-ayat Cinta sangat datar, bahkan terlalu datar, nyaris tanpa kejutan. Bahkan, kita bisa dengan mudah mengenali sifat-sifat para tokoh hanya melalui ciri-ciri fisik mereka. Tokoh-tokoh yang digambarkan rupawan biasanya baik dan yang digambarkan tidak rupawan biasanya buruk. Konsistensi standar kerupawanan yang digunakan si narator–yaitu cerahnya warna kulit–mau tidak mau membuat pembaca yang peka merasakan kesan rasis. Aisha adalah seorang gadis yang cantik jelita berkulit putih (berdarah Jerman-Turki), begitu juga Maria si gadis Koptik. Sementara itu, Bahadur adalah sosok yang berwajah dingin dan hitam, dan berulang kali Fahri mengait-kaitkan kehitaman kulit Bahadur dengan “orang Sudan.” Perihal kehitaman ini semakin tampak pada para “polisi hitam besar” yang menangkap dan menyiksa Fahri. Saking konsistennya hal ini, seolah-olah Fahri memiliki asumsi bawah sadar bahwa kulit luar adalah cermin dari inti di dalam diri.

Mungkin Anda bertanya: bagaimana dengan karakter Noura yang cukup problematis itu? Ya, memang ada karakter yang keluar pakem (untuk ukuran novel ini), tapi cerita kemudian meluruskan penyimpangan itu. Hal ini tampak pada karakter Noura yang akhirnya cukup problematis. Sejak awal Fahri menyoroti perbedaan antara Noura dengan keluarganya (keluarga si Bahadur): Noura lain sendiri, kulitnya putih (dan berambut pirang) berbeda dengan orang tua dan saudari-saudarinya yang berkulit dan berpenampilan fisik “seperti orang Sudan.” Selain itu, kalau keluarga Noura cenderung berangasan dan terlibat bisnis hiburan malam (judi dan seks komersial), Noura adalah gadis remaja baik-baik yang belajar di Ma’had Al Azhar. Saat belakangan Noura melakukan manuver penyelamatan diri yang keji, kita mungkin diam-diam menghela nafas puas: “Ternyata orang cantik juga bisa keji.” Jangan terlalu puas dulu. Ayat-ayat Cinta meluruskan ceritanya: ternyata dia tidak bergerak dengan inisiatif sendiri, dan belakangan pun akhirnya dia memutuskan untuk mengakui kesalahannya.

Hal kedua yang membuat kita bisa dengan mudah menikmati novel ini dan mengambil pelajaran darinya adalah tegasnya moral Islami yang diangkat sebagai tema. Ayat-ayat Cinta dihantarkan oleh seorang narator yang sangat lurus mengikuti ajaran-ajaran Islam yang dia dapatkan sejak di tanah Jawa hingga di “negeri para Nabi.” Semua tindakan penting yang dia buat dalam cerita ini dilandasi dalil-dalil dan rasionalisasi yang banyak dilandasi kisah-kisah Alquran, kisah-kisah sahabat rasul sekaligus para ulama Muslim dari segala zaman. Bagi yang gemar mempelajari tafsir Alquran dan kisah-kisah Islami, Ayat-ayat Cinta adalah sumber bagus yang menyerupai pengulangan kontemporer atas kisah-kisah Alquran dan para ulama. Bahkan, adegan-adegan penting yang ada di sana pun bisa dihubungkan dengan kisah-kisah Alquran, seperti hubungan antara perkawinan Aisha-Fahri yang menyerupai kisah Sulaiman dan Ratu Sheba, meskipun bedanya di sini sang kaya raya adalah Ratu Sheba, dan adegan penjara pun banyak terinspirasi dari kisah Nabi Yusuf dan para ulama Muslim yang mendapat banyak pengalaman di penjara. Mungkin bukan kebetulan bahwasanya Habiburrahman El-Shirazy memiliki adegan penjara sebagai salah satu elemen penting dalam novel ini. Kisah Nabi Yusuf terjadi di negeri Mesir, setidaknya begitu menurut Perjanjian Lama, yang memberikan detil-detil lokasi awal dan akhir kisah Yusuf–Alquran tidak memberikan detil tempat, dan ada kesan hikmah kisah itu yang lebih dijadikan penekanan.

Ketegasan prinsip dan absennya ambiguitas ini tentu membuat pembaca lebih mudah masuk ke dalam cerita ini. Kalaupun mereka tidak bisa begitu saja menerimanya, setidaknya pembaca tidak akan menentangnya. Ini berlaku, terutama, bagi pembaca yang pada dasarnya kurang tertarik dilema, permainan, dan ambiguitas yang memaksa berpikir dan merenung-renung, seperti yang banyak ditawarkan dalam karya-karya sastra yang sementara ini–karena kurangnya istilah, tanpa niat menunjukkan nilai inheren–kita sebut saja “sastra mainstream.” Bagi para pembaca ini–pembaca yang lebih menginginkan informasi dan hikmah siap pakai dari apa yang dibacanya–tentu kisah Fahri dengan keislamannya yang lurus dan tidak mau berkompromi sedikit pun ini menjadi kisah yang menarik dan bermanfaat, bahkan inspiratif–itulah kenapa novel ini dilabeli “novel pembangunan jiwa.” Sumber-sumber yang dipakai Habiburrahman El-Shirazy jelas dan tidak ada kontradiksi pada pribadi Fahri. Kurang apa lagi coba?

Racikan antara latar luar negeri dengan dihantarkan orang negeri ini adalah satu faktor kuat yang menjadikan novel ini mengasyikkan dan menyamankan. Saat diceritakan oleh orang-orang yang latar budanya sama dengan kita, kisah-kiah berlatar asing cenderung menarik. Apalagi kalau dibumbui perbandingan dengan negeri sendiri, juga nostalgia, pasti latar yang asing itu menjadi relevan bagi kita. Pembaca masih merasakan sesuatu yang tak biasa, tapi yang tak biasa ini masih relevan bagi mereka. Berbeda kasusnya dengan cerita luar negeri yang diceritakan oleh orang luar negeri sendiri; yang seperti ini biasanya menciptakan jarak, dan hanya akan menarik bagi orang yang pada dasarnya memang tertarik dengan kisah asing. Mungkin, tingginya tingkat penjualan karya-karya catatan perjalanan maupun novel berlatar asing akhir-akhir ini bisa kita jadikan sebagai ilustrasi di sini.

Dan, terakhir, apalagi yang lebih menyenangkan dibandingkan menikmati kehidupan di sorga, seperti yg dialami Fahri? Kita lihat, dalam Ayat-ayat Cinta, ada sorga yang ngejawantah di bumi dalam novel ini, terutama bagi para tokoh yang baik dan beramal sholeh. Buat kebanyakan Muslim Indonesia, memiliki kemampuan menghafal seluruh Alquran saja itu sudah seperti sorga; begitu juga dengan pemahaman yang mendalam tentang keseluruhan isi Quran tersebut dan bisa mengamalkannya (dan mengkotbahkannya kepada yang membutuhkan) dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi kalau anda juga memiliki kemampuan akademis, ketrampilan menerjemah*, kemampuan menulis, kemampuan bahasa Inggris, Arab (formal dan dialek mesir) dan Jerman, dan baik hati. Apalagi kalau kemampuan luar biasa ini ditambah dengan mendapatkan berkah dicintai sekaligus empat orang gadis cantik, yang salah satunya kaya luar biasa. Pasti dalam kondisi seperti itu, Anda sekalian akan ikut mencicipi nikmatnya hidup di sorga yang ngejawantah di dunia. Bahkan–ini yang sebenarnya cukup membuat penasaran–pembaca perempuan pun banyak yang tertarik dengan kisah Fahri ini, tertarik menikmati kisah seorang (dua orang?) gadis yang “memenangkan” hati seorang lelaki nyaris sempurna–profil insan kamil?–seperti Kang Fahri ini. Padahal kalau dipikir-pikir, bukankah kisah ini sangat falosentris, menjadikan laki-laki sebagai pusat dunia, dan menjadikan perempuan sebagai “perhiasan dunia”? Tapi, pembaca yang tidak syu’udzon pasti senang mendengarkan dongeng tentang (dan hanyut mengidentifikasi diri dengan) lelaki sempurna ini. Obat gampang macam apa lagi yang lebih manjur untuk hidup yang sulit ini selain sebuah keindahan nyaris utopis seperti “dunia Fahri” ini?**

Semua hal ini memudahkan pembacaan, tapi juga mematikan terhadap potensi kritis novel ini sendiri. Tidak ada yang lebih membuat nyaman hati daripada mendengar atau membaca kisah yang tidak membutuhkan banyak pertentangan hati seperti hal-hal yang saya sebutkan di atas. Tapi, dampak negatifnya, banyak potensi kritis (dan politis) dalam novel ini yang justru jadi terabaikan. Beberapa contohnya adalah kekritisan novel ini terhadap dipomasi Indonesia yang seringkali lemah ketika orang-orang Indonesia bermasalah di luar negeri. Kalau kita mau membahas lemahnya diplomasi ini, mestinya kita juga harus membahas lemahnya daya tawar kita di luar negeri, berbeda dengan negara-negara seperti Jerman yang merupakan tokoh kuat dalam bidang teknologi dan Amerika yang kuat dalam hal militer dan ekonomi secara umum. Dengan kata lain, kritik seperti ini, kalau ditelaah lebih jauh, sebenarnya adalah kritik terhadap lemahnya pengelolaan negara secara umum. Sayang, sepertinya kritik-kritik kuat semacam ini terkubur oleh banyaknya ajaran moral Islami penting yang memadati novel sejak halaman-halaman pertama, yang menjadikan hal-hal kritis dan politis semacam ini seperti sekadar tema sampiran yang nyasar di novel ini. Padahal, bukankah segala macam penyiksaan dan adegan penjara itu bisa sama sekali sirna kalau diplomasi Indonesia tidak selemah sekarang?

Sekarang, bagaimana kalau kita tidak tanggung-tanggung lagi: melompat ke wilayah pembaca? Kalau melihat kesuksesan Ayat-ayat Cinta ini di pasar Indonesia, saya ingin membuat kesimpulan sementara yang cukup lancang: novel ini membuat kita tahu mayoritas pembaca Muslim Indonesia.*** Dengan kesuksesan Ayat-ayat Cinta secara komersial ini (yang menurut beberapa sumber sampai mendatangkan hasil bersih sebanyak 1,5 miliar Rupiah bagi penulisnya) kita jadi tahu bahwa mayoritas pembaca Muslim Indonesia adalah orang-orang yang lebih menikmati kisah utopis yang tidak memiliki kerumitan karakter dan konflik tapi bisa dijadikan sumber rujukan tentang berbagai ajaran Islam–atau setidaknya bisa dijadikan sumber bacaan untuk mengingat-ingat kembali sejumlah ajaran Islam penting terkait isu-isu perempuan, hubungan suami istri, kinerja, dan sejumlah topik lain.

Kita tentu tidak tahu apakah Habiburrahman El-Shirazy merupakan penulis yang sangat mengenal audiens-nya ataukah sebuah kebetulan sang novelis menulis novel yang sesuai dengan selera mayoritas pembaca Muslim Indonesia. Yang pasti kita tahu adalah bahwa terdapat kecocokan antara faktor-faktor pembentuk Ayat-ayat Cinta dengan mayoritas pembaca Indonesia, dan tidak ada yang bisa kita lakukan selain memberi selamat kepada si penulis atas kecocokan dan kesuksesan finansial ini–yang saya cukup yakin memungkinkannya melakukan banyak hal baik. Perkara fakta miris bahwa mayoritas pembaca Muslim Indonesia adalah orang yang tidak suka berlama-lama memamah dan mencerna kisah, konflik, dan karakterisasi yang penuh gizi tapi butuh usaha ekstra seperti yang dikandung dalam karya-karya “sastra mainstream,” kita tidak bisa apa-apa selain mengakui kebenarannya. Memang, golongan yang menikmati “sastra mainstream” bukannya sangat sedikit, tapi dari kurang bergairahnya pasar buku sastra Indonesia kita bisa menyimpulkan bahwa secara rasio jumlah mereka jauh di bawah jumlah penggemar karya-karya semacam Ayat-ayat Cinta. Mungkin hanya waktu yang bisa mengubah rasio ini. Kalau memang rasio ini bisa diubah.

Oh ya, sebelum menutup postingan ini, semoga juga saya tidak disalahpahami sebagai orang yang menganggap Ayat-ayat Cinta sebagai karya yang rendah kualitasnya–yang bisa juga diartikan sebagai rendahnya kualitas Habiburrahman El-Shirazy. Kalau ada yang sampai beranggapan begitu, maka dia salah besar. Membuat Ayat-ayat Cinta bukanlah pekerjaan gampang; dibutuhkan seorang yang memahami Alquran dan hadits, berbagai diskusi kontemporer penting dalam Islam, dan–tentu saja–memahami kota Kairo, serta juga kemampuan memberikan penfasiran atas kisah-kisah Alquran dan para tokoh Islam dan menerjemahkannya ke dalam kisah-kisah kontemporer. Semua ini bukan hal sepele. Dibutuhkan seorang ulama atau dai untuk melakukan hal ini. Perlu dicatat dan disoroti: dibutuhkan seorang dai untuk menulis sebuah kisah yang “mengajari” (seperti Ayat-ayat Cinta ini). Tapi, untuk menciptakan apa yang secara gampang-gampangan saya sebut “sastra mainstream” tadi, dibutuhkan seorang penulis dengan kepekaan atas kompleksitas dunia yang memiliki ketrampilan membuat orang lain memikirkan ambiguitas, kemungkinan-kemungkinan tanpa akhir, dan–insya allah, kalau berhasil–membuat orang lain mendapatkan hikmah.

Catatan:

*) Ayat-ayat Cinta adalah novel Indonesia pertama dengan tokoh utama penerjemah dan menjadikan terjemahan sebagai salah satu elemen vital dalam cerita.

**) Pada postingan sebelumnya saya mengutipkan satu paragraf yang terdengar sangat wajar dalam novel ini, yang sebenarnya dalam kehidupan nyata benar-benar tak lebih dari sebuah sorga. Banyak orang kaya yang bisa mengirimkan anaknya sekolah ke negara mana saja, tapi tidak banyak di antara kita yang kaya dan memungkinkan kita hidup di mana sambil juga bisa diterima kuliah di mana saja.

***) Mungkin terlalu sembrono kalau saya langsung bilang kesuksesan Ayat-ayat Cinta ini mengindikasikan profil mayoritas pembaca Muslim Indonesia. Tapi, kalau dinalar secara sederhana saja, selain orang-orang Islam sendiri, siapa lagi yang akan membaca sebuah kisah tentang seorang Muslim yang terang-terangan menceramahkan Islam, dengan rujukan dari Alquran, al-hadits, kisah para sahabat Rasul dan ulama besar? Kalau dibalik, selain umat Kristiani, berapa banyak orang Islam yang membaca, misalnya, kisah-kisah Kristiani yang diambil dari Injil, kisah para murid Yesus, para santo dan para uskup besar dari segala penjuru dunia?

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

4 comments

Kalau buat aku sih, novel ini bukan seleraku banget… Kayak sinetron dalam bentuk novel…

Hehehe… Berarti Sampean bukan termasuk yg mayoritas ini, Mbak :D. Dan kalau ini sampean hubungkan sama sinetron, sptnya sangat tdk salah. Sinetron standar biasanya memang kayak gini, gak perlu butuh banyak usaha utk mencernanya. Bedanya: rata2 sinetron sama sekali gak menawarkan apa2, sementara Ayat2 Cinta sangat konsisten dan rigorous dg penafsiran2 alquran dan hadits (atau pendeknya ideologi keislamannya kokoh). Dg kata lain, sinetron cuman jualan, dan Ayat2 Cinta lbh banyak berdakwah sambil menghibur.

Yang kayak sinetron itu penggambaran tokoh-tokohnya yang hitam putih, dan jual mimpi banget, hehe… Tapi bener kok, masih ada manfaatnya novel ini, gak kayak kebanyakan sinetron sekarang yang ampun-ampun itu….

Iya, mbak, di bagian itu. 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *