Berikut ini empat terjemahan puisi Saut Situmorang yang saya kerjakan pada kesempatan berbeda-beda.
Siapa itu Saut Situmorang?
Penyair yang tinggal di Yogya dg energi kritis yang tumpah ruah dari gelasnya. Yang puisinya berdialog dengan tradisi sastra Indonesia dan dunia. Yang komentar-komentar panasnya atas politik sastra Komunitas Utan Kayu sama panasnya dengan “komentar kreatif”nya atas puisi Indonesia yg lebih dahulu (salah satu puisinya berbunyi “aku ingin mencintaimu dengan membabi buta”). Yang baru-baru ini, karena berkomentar “bajingan!” di sebuah postingan facebook, dia digugat secara hukum oleh Fatin Hamama karena dianggap melakukan “pencemaran nama baik.”
Siapa itu Fatin Hamama?
Penyair lain yang disegani di kalangan tertentu. Habiburrahman El Shirazy mengutip puisi Fatin Hamama dan mengadaptasinya untuk dijadikan ungkapan hati Fahri dalam Ayat-ayat Cinta. Pasca terbitnya buku kontroversial 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh yang dia susun, Fatin merasa terusik karena dia disebut-sebut beberapa kalangan sebagai “makelar” Denny JA.
Siapa Denny JA?
Konsultan politik yang juga pendiri lembaga survei LSI yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan di jagad sastra Indonesia. Pertama, dia jadi bahan pembicaraan karena mengklaim menciptakan genre baru puisi esei dan membuat lomba menulis puisi dengan gaya “puisi esei” ala Denny JA yang berhadiah jutaan rupiah. Kedua, dia muncul sebagai salah satu dari 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, sebuah buku yang dia promotori penerbitannya.
Agar lebih vulgar lagi, apa itu buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh?
Buku yang disusun oleh Fatin Hamama. Yang dipromotori Denny JA. Yang penjuriannya dilakukan oleh 8 orang (penulis, dosen, editor). Yang berisi tulisan-tulisan tentang sejumlah sastrawan indonesia yg dianggap unggul. Yang memasukkan Denny JA–yang baru beberapa tahun sebelumnya mulai menerbitkan kumpulan puisi–sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh itu (bersanding dengan Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, dll). Buku ini, oleh Aliansi Anti Pembodohan, dianggap sebagai pembodohan yang dapat mengacaukan pemahaman orang tentang sejarah sastra Indonesia.
Apa itu Aliansi Anti Pembodohan?
Kelompok yang sementra ini paling kuat menuntut pemerintah menarik buku 33 Tokoh yang–saya ulangi lagi–mereka anggap sebagai pembodohan. Banyak anggota AAP–plus siapa saja yang peduli–mengkritik keras buku ini. Tapi, belum lagi upaya formal mereka membuahkan hasil, setidaknya ada dua orang sudah dipolisikan oleh Fatin Hamama karena ucapan keras mereka yang dia anggap sebagai pencemaran nama baik. Saut Situmorang, yang energi kritisnya meluap-luap, adalah salah satu pengkritik keras yang dipolisikan “hanya” karena bilang “bajingan.”
Terus, bagaimana dengan buku 33 Tokoh itu (yg penyusunannya adalah biang dari semua pemolisian ini)? Apakah buku ini juga akan “dipolisikan” atau ditarik?
Siapa yang bisa “mempolisikan” buku tentang sastra, seberapapun buku itu berpotensi menyesatkan? Siapa yang punya cukup otoritas untuk menyatakan buku ini menyesatkan? Apakah sastra memang wilayah yang terlalu lemah untuk bisa berbuat apa-apa? Mungkinkah, di antara banyaknya akademisi sastra Indonesia, ada yang punya cukup otoritas untuk mengatakan buku ini bermasalah dan harus ditarik? Apakah memang bidang ilmu sastra Indonesia ini terlalu lemah untuk memiliki standar yang harus dipatuhi–dan bisa membuat pelanggarnya bermasalah?
Sambil menunggu jawaban rentetan pertanyaan tadi, berikut terjemahan saya atas puisi-puisi Saut Situmorang ini.