Sejak kelas 6 SD, saya sudah terobsesi dengan kamera. Suatu kali saya lihat seorang anak seumuran dari SD lain–namanya Dian, luar biasa populer di SD lain, mungkin sepopuler Cinta yang diperankan Dian Sastro–memotret-motret lomba di lapangan depan sekolah saya, memakai kamera serius. Sejak itu, saya selalu ingin memotret setiap kali saya melihat kamera (yang dulu kita sebut “tustel”). Oom saya–beliau sudah almarhum, meninggal waktu masih sangat muda, kurang dari 30 tahun–punya tustel semacam generasi di atas Fuji MDL-5 yang biasanya dia bawa kalau rekreasi. Saya beberapa kali memohon untuk menjepretkan kameranya saat kami mengambil foto grup. Begitu pula saat rekreasi dan naik gunung, saya selalu senang kalau dapat pinjaman kamera, meskipun ya kamera point and shoot semacam Fuji MDL-5 itu. Dan saya heran, kenapa hasilnya tidak bisa seperti di majalah-majalah.
Baru ketika mulai kuliah, saya tahu bahwa untuk mendapatkan gambar yang seperti di majalah-majalah itu butuh kamera serius, seperti kamera yang dipakai Dian waktu motret-motret acara di lapangan depan SDN Krembung II itu. Di kampus ada UKM fotografi (namanya HIMAFO) yang mengumpulkan anak-anak penghobi fotografi, dengan kamera-kamera serius (yang akhirnya saya ketahui bernama SLR, Single-Len Reflex, berkat baca-baca National Geographic yang ada di perpus kampus). Seorang teman bernama Maryudi ikut UKM Fotografi dan bilang kepada saya bahwa dia baru beli Pentax bekas seharga 700 ribu, ketika itu terbilang murah. Saya setengah mati pingin ikut, tapi apa daya saya tidak berani minta uang ke orang tua untuk hobi yang mahal seperti ini. Belum lagi ada biaya membeli dan mengembangkan film cukup sering. Akhirnya, saya biarkan hasrat memotret mengendap, dan sesekali saja saya pinjam kamera point and shoot untuk naik gunung. Dan saya masih belum puas karena kualitas foto yang dihasilkan masih kalah dengan National Geographic.
Tahun 2000/2001, Nurman Firdaus, seorang teman say ayang waktu itu cukup dekat, belakangan bergabung dengan UKM Fotografi di kampus. Dia ikut diklat UKM tersebut dan akhirnya memahami dengan cukup baik dasar-dasar pengambilan gambar, dengan kamera serius–meskipun dia sendiri tidak punya kamera SLR. Saya sangat antusias mendengar ceritanya tentang diklat UKM dan akhirnya memutuskan saya ingin belajar secara “second hand” dari dia. Kami pun cari pinjaman SLR. Ternyata, setelah cari-cari sedikit, saya tahu bahwa teman saya Fitri Handayani, seorang kawan yang sangat baik, yang telah mengenalkan saya ke seorang ibu pengelola kursus privat, yang membuat saya punya sedikit lagi pengalaman dan pendapatan tambahan–pendapatan utama saya sebelumnya dari orang tua dan menerjemah di rental.
Maka, berkat kebaikan hati Fitri yang keluarganya ternyata penghobi fotografi itu, dapatlah saya sebuah SLR Pentax yang sangat bagus–beda dengan yang dibeli Maryudi–dg dua lensa. Kalau nggak salah waktu itu lensa 15-85mm dan 80-200mm. Semuanya masih tampak terawat di dalam kotak bagus, dan saya sebenarnya cukup heran bagaimana ceritanya Fitri bisa melepaskan seperangkat kameranya itu untuk dipakai saya dan Norman. Yang jelas, kebaikan hati pasti dibalas Tuhan. Kami pun beli film (saya lupa beli satu atau dua rol). Kami pun rencanakan “hunting.” Ah, hidup di bawah rezim manual, jalan-jalan motret itu punya nama sendiri: hunting, berburu. Tidak ada orang yang iseng-iseng membuang-buang film memotret-motret–selfie maupun collectivie–di sembarang tempat dalam perjalanan ke tempat lain.
Malam sebelum hunting, Nurman membriefing saya dasar-dasar fotografi yang kira-kira kalau dirangkum adalah mencari keseimbangan antara bukaan (dulu kami sebut “diafragma,” dan sekarang seperti orang-orang lebih akrab dengan istilah f-stop) dan kecepatan (atau shutter speed). Seingat saya, untuk film ketika itu kami pasrah saja dengan ASA film (atau kepekaan menangkap cahaya, yang sekarang kita kenal dengan ISO) standar untuk belajar fotografi, yaitu ASA 100. Ketika itu, ASA 400 terasa seperti mitos bagi saya. Saya hanya tahu bahwa konon ASA 400 yang misterius itu dipakai untuk memotret pementasan-pementasan teater atau konser ketika tidak tidak semestinya memakai blitz (ya, dulu saya sebut blitz, bukan flash :D). Ah, sekarang… sekarang, ganti ASA hanya urusan memencet tombol!
Meskipun Nurman menekankan bahwa kita hanya perlu memperhitungkan diafragma (f-stop) dan kecepatan (shutter speed), tapi tetap saja rasanya mengerikan. Urusan fokus sudah ditangani oleh Maryudi setahun sebelumnya. Dia membiarkan saya memotret dia di depan Senat Mahasiswa Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (atau mungkin ketika itu namanya sudah ganti jadi Fakultas Sastra dan Filsafat–tanpa jurusan filsafat). Ketika itu saya baru tahu rasanya memfokuskan kamera dan menjepretkannya dengan mantap, dan setelah itu menggulung filmnya. (Maaf, kenapa menggambarkan memotret dengan SLR terasa seperti pornografi begini ya?). Kembali lagi, meskipun saya hanya perlu memperhitungkan diafragma dan kecepatan, tetap saja setiap kali memotret terasa seperti beban. Utamanya karena tidak ada yang bisa memastikan bahwa gambar yang saya ambil nantinya pas, tidak over(exposure) atau under(exposure). Ketika itu, adik-adik, tidak ada yang namanya liveview atau LCD yang bisa dipakai untuk langsung melihat hasil jepretan kita. Pendeknya seperti meraba-raba. Apalagi pelajaran dasar2 cahaya cuma semalam.
Entah kenapa, malam itu saya tidak terlalu mengkhawatirkan soal fokus.
Maka, pagi hari setelah briefing dengan Nurman tentang logika pemrosesan cahaya dalam pemotretan itu, kami berangkat berburu pagi-pagi setelah subuh. Tujuan pertama kami adalah Stasiun Kota Malang. Sejujurnya, saya tidak ingat betul apakah kami ke stasiun atau ke tempat lain dulu. Tapi, yang pasti, pagi itu kami ke Stasiun Kota Malang, turun ke rel-rel yang bersilangan itu dan mulai jepret-jepret (sambil di dalam otak saya berhitung, agar bisa menangkap cahaya yang pas, tidak over atau under). Setiap jepretan sangat berarti. Tentu saja kami juga menyempatkan saling potret seperti video klip musik pop tahun 90-an akhir. Ada kereta api. Ada rel. Ada orang yang menatap langit seolah pasrah dengan waktu yang menerjang tanpa belas kasihan. Pendeknya pose Fadli Padi lah!
Setelah itu, yang tersisa hanyalah sejarah. Kami menjalani kuliah normal hari itu, dan sore harinya kami kembali “hunting,” mencoba kecepatan rendah: motret iklan Pall Mall. Juga “kecepatan B” (sekarang saya tahu kalau B itu kepanjangan dari Bulb). Beberapa hari selanjutnya, setelah habis film yang isinya cuma 36 (plus bonus 2) itu, kami segera membawanya ke Pantai Foto, studio foto yang sepertinya waktu itu menawarkan harga khusus buat para anggota UKM Fotografi. Teman saya yang anggota baru UKM fotografi itu dapat diskon. Setelah film di-develop, kami pun pilih frame2 yang ingin dicetak (yg berpotensi paling bagus, tidak over atau under).
Hasilnya lumayan: ada foto-foto yg kelihatan menarik, nyaris profesional. Foto baliho Pall Mall juga tampak bagus, biru indah dibingkai malam. Satu-satunya yang cukup saya sesali (dan pastinya Nurman juga menyesal, meskipun tidak dia sampaikan) adalah foto-foto kami di stasiun. Foto saya (yang ambil Nurman) tampak lumayan fokus, tapi foto Nurman yang berdiri gagah berlatarkan jembatan penyeberangan dan rel yang bersilangan itu terlihat blur, alias tidak fokus. Saya sangat menyesal terlalu meremehkan urusan fokus, seolah-olah saya sudah tidak ada lagi masalah dengan fokus. Kalau mengingat lagi masa itu, saya terus-terusan membatin: kenapa waktu itu lensanya tidak punya auto fokus ya?
Tapi itu tidak mengurungkan niat kami belajar lebih lanjut. Kami tdk pernah melewatkan kesempatan pinjam SLR. Termasuk utk rekreasi ke Bali. Demikianlah nostalgia masa fotografi msh di bawah rezim manual. Segalanya terasa indah (dan gerakan2 yang harus dilakukan–seperti mengepaskan fokus dan menggulung film–terasa pornografis) di tengah keterbatasannya. Kini, di tengah demokrasi digital, kenapa ada hasrat selalu pingin upgrade?