Kritikan Keras Buat Generasi Kita dari Back to the Future I, II, dan III

Tanggal 21 Oktober 2015 kemarin dirayakan sebagai hari Back to the Future (setidaknya dirayakan oleh orang-orang Amerika yang ketika pada masa kecilnya menikmati serial film Back to the Future I sampai III). Jimmy Kimmel di acaranya, Jimmy Kimmel Show, kedatangan Marty dan Doc Brown. Dan di satu bagian acara itu, terdengarlah celetukan Doc Brown mengkritik budaya telpon pintar. Tapi, apakah kita merasa terkritik? Atau, mampukah kita tersentuh kritikan itu? Mari kita lanjutkan postingan ini:

Bukan bermaksud meremehkan pengetahuan film Anda, saya sekadar ingin mengingatkan bahwa pada akhir film pertama, diceritakan bahwa Doc Brown mencoba mesin waktunya untuk pergi ke tahun 2015 (tiga puluh tahun ke depan dari tahun pembuatan film itu) dan kembali untuk mengajak Marty menyelesaikan masalah yang akan terjadi di tahun 2015 itu. Selanjutnya, keseluruhan film kedua berlatar tahun 2015, tepatnya pada tanggal 21 Oktober. Ternyata, untuk imajinasi tahun 1985 itu, tahun 2015 adalah masa depan yang benar-benar masa depan: mobil terbang, skateboard mengambang, sepatu swa-ikat, dan tentunya teknologi ramah lingkungan dengan tenaga sampah.

Sayangnya, masa depan ini, tahun 2015, tidak seblink-blink gambaran Marty itu. Tapi jangan salah, masa depan kita ini punya sesuatu yang tak terbayangkan bahkan bagi Doc Brown: telpon pintar!

Dalam acara Jimmy Kimmel itu, Doc Brown diajak berselfie oleh Jimmy.

“Apa ini?” tanya Doc Brown.

“Ini cara kita sekarang mengabadikan momen-momen bahagia dalam hidup kita,” jawab Jimmy.

Selanjutnya Doc Brown sang profesor mesin waktu itu menyambar telpon pintar Jimmy dan bilang kira-kira begini singkatnya:

“Wah, apakah ini komputer? Wah, iya, ini super komputer. Dahsyat. Ada super komputer sekecil ini. Pasti para astrofisikawan bisa dengan mudah mentriangulasi bla-bla-bla…” Doc Brown nyerocos takjub.

“Mungkin semestinya bisa…,” jawab Jimmy malu-malu. “Tapi kami tidak memakainya untuk itu. Kami suka memakainya untuk mengirim smiley dan foto-foto terong.”

Dan Doc Brown pun tampak kebingunan.

Siapa yang tidak akan kebingungan melihat orang memakai teknologi super komputer, yang dulu butuh ruangan sebesar satu kantor penuh, yang dipakai untuk hal-hal paling sepele dalam kehidupan? Siapa tidak akan melongo melihat alat secanggih ini, yang membutuhkan banyak sumber daya alam dalam membuatnya, yang bisa dipakai untuk melakukan hal-hal yang dahsyat (mungkin membantu–hanya membantu–proses revolusi sosial), tapi hanya dipakai untuk berhaha-hihi?

Demikianlah kawan-kawan generasi kita. Kita adalah generasi yang sangat mudah terpukau pesona komoditas, pesona teknologi yang memang canggih, tanpa tahu–mungkin tanpa punya waktu–cara menggunakannya. Kita adalah generasi yang sangat lemah di hadapan hegemoni betapa butuhnya kita kepada teknologi komunikasi terbaru. Kita dibuat merasa butuh untuk mendapatkan gawai telekomunikasi terbaru saat mereka diluncurkan, saat mereka menyerbu pasar, dan saat kita kebetulan ada uang lebih. Kita adalah generasi yang merasa tidak ada salahnya terus membeli perangkat-perangkat itu asalkan kita menggunakan uang kita sendiri, asalkan kita sudah cukup beramal, asalkan kita tidak menggunakannya untuk merugikan orang lain.

Dan, sayangnya, kita adalah generasi yang seringkali mengabaikan bahwa sebenarnya perangkat komunikasi yang kita beli lima tahun yang lalu, yang masih menggunakan kibord keras Qwerty, yang tidak mengggunakan layar sentuh, yang masih bisa menyambungkan pembicaraan dengan jelas, masih bisa memenuhi kebutuhan komunikasi kita pada hari ini. Tentu tidak akan semudah ini kita menggunakan Facebook kalau masih memakai HP yang kita beli tahun 2009. Tapi…

Inilah generasi kita, yang dikritik keras oleh Doc Brown tapi mungkin tidak merasa ada masalah.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *