Ritual Misdi Menggurah Negativitas

Misdi keluar dari apartemennya yang berada paling ujung pade dereta empat apartemen. Di ujung lorong itu ada bukaan keluar menuju halaman kompleks apartemen sebelah. Rumputnya terlihat masih hijau tapi sudah ada bagian-bagian yang kering. Dia kunci apartemennya meskipun tahu roommate-nya ada di dalam. Mahasiswa Teknik Listrik asal Bangladesh itu sedang menonton film di kamarnya. Jadi, pikir Misdi, dia kunci saja apartemennya itu daripada ada apa-apa. Tidak ada istilahnya “terlalu berhati-hati” dalam hidup ini, kan?

Layar smartphone. Di situ terlihat aplikasi adzan di layar depan. Tertulis di sana adzan maghrib pukul 6:21 PM. Masih 20 menit lagi. Dia segera tancapkan jack headphones ke smartphone-nya dan segera pasang mulut headphones-nya ke kedua telinga. Terasa pas sekali. Bagian mikrofon menggantung di sebelah kiri dekat mulutnya. Dia senang sekali dengan mikrofon yang bisa dia jadikan penanda mulut headphones untuk kuping kiri. Segera dia kantongi smartphone di saku celana. Dia tak habis pikir, betapa pas panjang kabel headphones-nya, sehingga smartphone-nya bisa mendarat mulus di dasar saku celana sementara kabel sama sekali tidak terlalu menggantung dan mengganggu saat dia menggenjot sepeda balapnya dan sama sekali tidak pernah mulut headphones tertarik lepas dari kupingnya.

Dia langsung menuju sepeda balap yang ditali di tiang besi tak jauh di depan pintu apartemennya. Dia lepas lilitan rantai besi seberat sekitar satu kilo itu dan membiarkannya tetap melingkari tiang besi, terkuci, terkulai di lantai. Pikirnya, tidak ada perlunya membawa-bawa rantai kalau hanya untuk bersepeda demi ritual ini.

Begitu sepeda terbebas dari tiang besi, segera dia tuntun sepeda itu ke ujung lurung, turun ke tanah yang agak lembek karena hujan beberapa hari terakhir. Angin terasa mengelus wajahnya. Di musim gugur ini, udara terasa dingin tapi intim. Tidak masalah buat dia. Ketika tiba ke halaman rumput kompleks apartemen sebelah yang posisinya lebih tinggi, dia angkat sepedanya. Agak berat. Maklum ini sepeda balap Raleigh tahun 90-an dari baja murni. Bukan aluminium seperti sepeda-sepeda keluaran baru, atau bahkan titanium seperti sepeda-sepeda mahal itu. Dia lalu tuntun sepeda secara diagonal menyeberangi pekarangan rumput, dan kemudian dia angkat lagi sepeda ketika menuruni undak-undak menuju aspal.

Sudah di aspal, dia bersiap menggenjot sepeda, tapi dia lihat dulu jam smartphonenya. Dia buka lagi, dan terlihatlah bahwa sekarang adzan maghrib kurang 15 menit lagi. Dia segera mengantongi lagi smartphone. Di depannya terlihat seseorang berjalan ke arahnya, seorang mahasiswa asal Cina yang juga tinggal di kompleks apartemennya. Dia melambaikan tangan dan dibalas senyuman gugup.

Dia pun menggenjot sepedanya. Mahasiswa Cina tepat berada di depannya. Misdi menyentuh mulut headphone sebelah kanan yang sudah tertancap di kupingnya. Dia bilang:

“Halo… ya… assalaamulaikum…”

Selanjutnya dia pun mulai berbicara dalam bahasa Jawa. Dia berbicara tentang postingan-postingan facebook paling memuakkan hari ini yang isinya tak jauh-jauh dari seorang kawan yang mengeluhkan beratnya hidup sebagai ini di sana padahal tetangganya yang menjadi itu di sini bisa dibilang lebih berat hidupnya. Dia juga berbicara tentang postingan foto memuakkan seorang kontak yang sebenarnya tidak terlalu dia kenal tapi entah kenapa postingannya selalu muncul di lini masanya. Foto-foto memuakkan itu berisi keberhasilannya belajar memotret dari satu tempat hiking ke tempat hiking lainnya, dari satu tempat mancing ke tempat mancing lainnya, mungkin dengan maksud membagi kebahagiaan belajar fotografi.

Misdi tidak menelpon siapa-siapa. Dia hanya mensyukuri nikmat berupa headphone untuk telepon genggam, yang memungkinkannya berbicara sendiri seolah-olah sedang berbicara dengan seseorang di ujung lain sambungan telepon. Dan ini hanya satu ritual yang dia jalankan untuk menggurah postingan-postingan Facebook memuakkan yang tidak bisa dia hindari tapi harus dia bersihkan dari sistemnya.

Dia melakukan ini sambil bersepeda dari satu jalan ke jalan lagi di kawasan pemukiman yang kebanyakan penghuninya adalah mahasiswa ini. Ketika terdengar “tit tit tit tit” yang merupakan adzan maghrib yang dia bungkam, dia pun segera mencari belokan terdekat yng bisa membawanya kembali ke apartemennya. Saat itu, dia merasa sedikit banyak terbebas dari racun dunia Facebook.

Dia sangat mensyukuri adanya headphones. Siapapun yang punya ide membuat alat ini, dia patut diberi kiriman doa.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *