Mendengar Musik Country Keras-keras, Di Perpustakaan

Sedianya saya pingin ngedit sebuah tulisan yang cukup serius lah, tapi ada sebuah kejadian yang membuat saya terkikik dalam hati. Dan kejadian itu pun kejadian yang semacam kalau di Facebook biasanya disebut dengan “first world problem,” atau masalah negara maju. “Masalah” itu adalah mendengar musik tanpa headphone di perpustakaan. Begini ceritanya:

Di ruang baca perpustakaan, terdengar “Something in the Water” yang dinyanyikan Carrie Underwood. Tentu ini tidak wajar dan sangat bertentangan dengan norma dan kesantunan dalam kultur individualis. Begitulah kira-kira. Sebagai seorang blogger dialektis, pret, yang terbiasanya memandang “masalah” sebagai fenomena, pret, yang bisa dituliskan tanpa harus berprasangka, pret–saya langsung berbaik sangka, mungkin si empunya musik tidak sadar kalau colokan headphone-nya belum nancep ke komputer atau HP.

Okelah.

Lagipula, saya juga suka dengar lagu country di radio. Buktinya saya langsung tahu hanya dengan dua not kalau itu lagu Carrie Underwood. Pasti ini bikin bangga Mas Koes Hendratmo atau Tantowi Yahya–yang baru dilepas jabatannya sebagai wakil Komisi I DPR, btw lho ya.

Ditunggu sepuluh detik, dua puluh detik, setengah menit–ternyata si empunya musik belum juga sadar kalau dia dengar musik dari speaker, bukan dari headphone. Saya tersenyum bangga menyaksikan fenomena yang pastinya bakal unik ini. Saya toleh sekeliling, melihat ekspresi orang-orang sambil mencari-cari siapa kiranya yang muter musik ini. Di depan saya seorang pemuda afro-amerika. Sangat kecil kemungkinannya dia yang mendengar musik ini (meskipun itu tidak mustahil, buktinya ada seorang penyanyi country afro-amerika terkenal, Darius Rucker). Saya lihat di depan, seorang lelaki menoleh ke kanan-kiri, tampak sebal. Tentu bukan ini.

Akhirnya, saya putuskan bahwa pemutar musik itu adalah seorang bapak yang duduk di komputer besar. Dia tidak tampak memakai headphone. Mungkin saja dia pakai earbud, pikir saya.

Tapi penasaran saya segera terjawab, ketika tampak bangkit seorang perempuan, kira-kira 30-an tahun usianya, pink rambutnya, pink rambutnya, pink sweaternya. Dia segera berjalan ke arah bapak yang duduk di komputer. Dan terjadilah perbincangan ini:

Perempuan Pink: Pak.

Lelaki Duduk: Iya.

PP: Sampean muter musik keras-keras.

LD: Iya.

PP: Biasanya orang-orang dengar musik pakai headphone di perpustakaan.

LD: Oke-oke. Aku tadi kelupaan bawa headphone. Aku kecilkan deh kalau begitu.

PP: Oke.

Akhirnya lagu country pun dikecilkan. Tapi tetap saja masih bisa terdengar dari tempat saya duduk, kira-kira 10 meter dari tempatnya duduk.

Saya kembali meringis, sedikit menikmati lagunya yang lamat-lamat. Perempuan Pink kembali duduk di meja komputernya, memealakangi saya. Saya bayangkan dia tetap sebal. Si lelaki pengampu musik, juga membelakangi saya,  tetap menikmati musiknya.

Ah, memang selalu ada orang yang anti-mainstream. Lelaki itu berwajah biasa-biasa, cenderung tampak sederhana. Tapi ternyata dia punya jiwa anti-kemapaan bawaan. Jiwa yang membuatnya tidak ambil pusing, gak urus, bikin orang sebal, dengan menciptakan sesuatu yang sepele, tapi jadi masalah di negara maju yang individualis.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

2 comments

di negara aa’ sam, seperti biasanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *