Sholat Jumat di Harvard: Misalkan Kita Minoritas

Kali ini, Saudara-saudara penyimak Laporan Studi Banding yang saya hormati, saya ingin bercerita tentang sholat Jumat di negeri Aa’ Sam. Sebenarnya tujuan awal tulisan ini tentang pengalaman sholat Jumat di “masjid darurat” kampus Universitas Harvard. Tapi, seperti biasa, saya ajak dulu Anda menempuh jalan berliku. Saya akan mulai dengan hakikat sholat Jumat sebagai mayoritas–seringkali hakikat ini tidak pernah kita pikirkan. Baru setelahnya saya akan ceritakan khidmatnya sholat Jumat sebagai minoritas.

Hakikat Sholat Jumat Mayoritas

Kalau Anda tinggal di Indonesia, di mana sebagai Muslim Anda adalah mayoritas, mungkin tidak ada yang perlu dibicarakan soal sholat jumat. Anda bisa menemukan masjid di mana-mana dan pimpinan Anda sangat mengerti bahwa setiap hari jumat antara jam 12 sampai jam 1 Anda perlu istirahat untuk sholat Jumat. Bahkan, sistem penjadwalan kerja sudah mempertimbangkan ini. Murid-murid sekolah sudah dibebaskan dari bangku mereka pada pukul 11 pagi pada hari Jumat, bahkan kadang-kadang tanpa perlu kembali setelah sholat Jumat. Kalau Anda kerja di kantor, biasanya mungkin sudah ada pengaturan jam khusus.

Begitu juga dengan tempat sholatnya. Seringkali kita hanya perlu jalan dari tempat kita bekerja untuk bisa sholat Jumat. Ketika saya dulu kerja di Universitas Brawijaya, saya bisa memilih sholat Jumat di kampung saya atau di kampus sendiri. Biasanya sih di masjid kampus yang megah itu.

Dan seringkali kita menganggap ini biasa-biasa saja. Tentu, kita menganggap kenikmatan yang sudha sehari-hari kita nikmati sebagai sesuatu yang wajar dan, ya, tidak perlu lagi repot-repot mensyukurinya.

Tapi beda ceritanya kalau Anda tinggal di sebuah keadaan di mana Anda adalah minoritas. Beda ceritanya bila fasilitas-fasilitas yang biasanya dengan mudah Anda dapatkan tidak mudah ditemukan. Beda ceritanya bila sesuatu yang biasanya menjadi bagian “wajib” dari hidup Anda ternyata butuh diperjuangkan dulu, bila sesuatu yang menjadi hal pokok dalam hidup Anda tersebut dicurigai sebagai sesuatu yang berbahaya atau diniatkan untuk membahayakan orang lain (terutama mayoritas). Maka lanjutkan ke bagian selanjutnya:

Bukan Sekadar Toleransi, tapi Pengakuan Adanya Ketidaksetimbangan

Menuliskan kata “minoritas” di atas saya langsung teringat kembali album ke-5 Slank: “Minoritas.” Album itu keluar waktu saya SMA. Band pertama saya merekrut saya karena mereka butuh ikut sebuah festival yang mewajibkan peserta memainkan “Bang Bang Tut” sementara mereka tidak punya pemain kibord. Sekarang, setelah dua puluh tahun setelah kejadian itu, saya sadar betapa saat itu kata “minoritas” itu tidak terlalu penting artinya bagi saya. Saya tidak ingat apa arti kata itu dulu bagi saya. Mungkin saya semacam membayangkan bahwa kata itu mengacu pada orang-orang slengekan seperti Slank dan sejenisnya, yang dianggap sebagai orang-orang pinggiran.

Saya yakin sikap “tidak nyambung” semacam itu wajar bukan hanya bagi remaja, tapi bagi siapa saja yang merupakan bagian dari mayoritas–tapi bukan berarti yang wajar seperti itu harus dibiarkan. Kita cenderung menganggap segala hal itu natural, sampai akhirnya ada yang menunjukkan bahwa hal-hal tersebut sebenarnya adalah sosial dan historis. Maksud saya, dalam keadaan wajar, kita cenderung menganggap bahwa hal-hal yang kita lihat dan percayai dan miliki itu cenderung sesuatu yang sewajarnya. Padahal, banyak hal yang sebenarnya hasil dari suatu proses sejarah dan hasil bentukan sosial. Dalam hal ini, sejarah penyebaran Islam di Indonesia yang lumayan merata dan kurangnya menyoroti adanya minoritas dan mayoritas membuat saya gagal menyadari arti penting menjadi minoritas.

Yang juga perlu ditumbuhkan adalah menyadari perbedaan tingkat, dan mengajarkan untuk mencegahnya. Saya ingat hanya diajarkan toleransi dan menghargai perbedaan–yang sebenarnya tidak cukup. Ya, mengakui dan menghargai perbedaan saja tidak cukup. Kita masih perlu mengakui adanya perbedaan “level” antara kelompok-kelompok yang berbeda. Kalau hanya sekadar berbeda saja dengan jumlah anggota yang sama-sama besarnya, tentu keadaannya jadi tetap indah. Seperti idealnya keadaan “multikultural.” Tapi kalau berbeda dan salah satu jumlahnya lebih besar atau lebih memegang kekuasaan, tentu saja dinamikanya jadi lain. Yang ada adalah pengakuan adanya perbedaan di satu sisi, sementara ada praktik di mana orang-orang dari kelompok yang lebih mayoritas mendominasi yang minoritas.

Seperti biasa, hal-hal yang kita anggap wajar padahal bersifat historis atau hasil kondisi sosial ini baru terasa kalau kita pindah ke tempat lain yang sejarah dan konstruksi sosialnya berbeda. Tentu saya harus menggunakan kesempatan berharga ini untuk mengutip lagunya Brian Adams dan Mel C (mantan anggota Spice Girls): “Baby when you’re gone, I realize I’m in love.” Saat sesuatu yang biasanya sebenarnya bukan sesuatu yang natural itu hilang, baru terasa bahwa sebenarnya dulu kita menerimanya–pakai gaya generasi Facebook–secara taken for granted.

Dalam kasus saya, seorang Muslim dari Jawa, kondisi semacam ini terjadi ketika saya berada di Amerika Serikat, negara yang persentase penduduknya muslimnya kira-kira hanya 1 persen dari keseluruhan. Dalam kondisi seperti ini, baru sadar bahwa kewajaran-kewajaran dalam menjalani hidup sebagai Muslim di Indonesia itu sebenarnya adalah “kenikmatan” yang hanya bisa didapatkan oleh mayoritas. Di kota Fayetteville, bisa dibilang saya beruntung karena komunitas Muslimnya sudah berhasil membangun masjid. Tapi, untuk urusan sehari-hari, misalnya sholat, tentu saja saya harus mengusahakannya sendiri. Tempat wudhu juga tidak ada karena gaya toilet Amerika yang relatif berbeda dengan toilet Indonesia. Dan lain-lainnya. Pendeknya, segala hal yang seperti wajar buat Muslim di Indonesia menjadi sesuatu yang langka dan sangat diharap-harap.

Makanya, ketika ada satu komunitas Muslim yang cukup kaya di sebuah kota, meskipun jumlahnya kurang dari satu persen keseluruhan penduduk kota, mereka langsung berusaha membuat masjid–lebih tepatnya membeli bangunan untuk kemudian dijadikan masjid. Seperti misalnya masjid di kota Joplin, Missouri, yang saya tahu cukup baik karena kebetulan lokasinya hanya 1,5 jam dari tempat saya dan imamnya orang Indonesia. Jamaah masjid ini terdiri dari sekitar 50 keluarga. Tapi, karena jamaahnya cukup makmur, sebagian besar dokter asal Pakistan yang bekerja di rumah sakit setempat, mereka bisa membeli bangunan bekas gereja dengan halaman yang cukup luas. Sayangnya, sepertinya tidak semua orang suka ada bangunan masjid di Joplin. Masjid itu pernah menjadi korban percobaan pembakaran. Pelakunya tertangkap CCTV ketika mencoba melakukan pembakaran tersebut. Untungnya, pada saat itu api tidak sempat menjalar terlalu jauh sebelum akhirnya diketahui oleh salah seorang jamaah yang kebetulan berada di sana. Sayangnya, beberapa saat setelah kejadian tersebut, masjid itu terbakar habis sampai rata dengan tanah. Hingga saat ini, tidak diketahui apa penyebab kebakaran tersebut karena memang tidak ada bukti–kamera CCTV dan semuanya ikut ludes terbakar. Tapi, kurang dari dua tahun setelah musibah tersebut, jamaah masjid ini, dibantu dengan sumbangan warga Joplin dan sekitarnya, berhasil membangun masjid betulan. Kali ini masjidnya dibangun sedari awal sebagai masjid. Tentu, dengan menceritakan musibah masjid Joplin ini, saya harus menjelaskan bahwa tidak semua orang tidak suka dengan adanya masjid Joplin itu. Bahkan, tak lama setelah kebakaran masjid Joplin itu, banyak warga setempat, anak-anak pramuka, dan jemaat gereja setempat, yang menggelar acara malam renungan dan penggalangan dana untuk menumbuhkan kepedulian warga tentang kejadian yang menyedihkan Muslim kota Joplin.

Ketakutan kepada Muslim itu juga pernah terjadi dalam kasus rencana pembangunan Pusat Masyarakat Muslim Park 51 di Manhattan, tak terlau jauh dari gedung World Trade Center yang runtuh pada 11 September 2001 itu. Kelompok-kelompok tertentu, yang digawangi oleh Pam Geller dan orang-orang yang oleh Wajahat Ali disebut sebagai jaringan Islamofobia itu, memanas-manasi orang untuk menolak pembangunan bangunan tersebut. Bahkan, mereka sampai menyebut bangunan itu sebagai “Masjid Ground Zero,” untuk menunjukkan ironi antara lokasi runtuhnya World Trade Center dengan bangunan tempat ibadah agama dianut para teroris pembajak pesawat tersebut, para teroris yang mengklaim melakukan tidak kejahatannya atas nama Islam itu. Seperti biasa, tentu banyak sekali yang menentang upaya memanas-manasi ala Pam Geller dan Frank Gaffney ini. Gaffney ini juga pernah melakukan protes keras atas bangunan masjid di Tennessee, yang katanya menjadi sarang pertumbuhan teroris. Dia mengklaim bahwa masjid di Tennessee itu merupakan tempat mendoktrin kaum muda Muslim Amerika untuk menjadi orang-orang yang lebih percara “hukum syariah” daripada Undang-undang Dasar Amerika Serikat. Dan ini bukan kali pertama Gaffney melakukan hal serupa. Dia membisikkan rencananya kepada banyak perwakilan rakyat Amerika yang duduk di Dewan Perwakilan-Dewan Perwakilan tingkat negara bagian. Biasanya, kalau Dewan mulai mempertimbangkan anjuran Gaffney ini, dia kemudian dipanggil untuk menjadi nara sumber asli dalam acara Dengar Pendapat di Dewan Perwakilan. Tentu ini kesempatan bagi Gaffney untuk menyampaikan pendapatnya mengapa Islam itu agama yang perlu diwaspadai dan perlu dibuatkan peraturan khusus yang melarang penerapan “hukum syariah.”

Tentu di Indonesia sendiri hal-hal semacam ini bukan hal yang asing. Bedanya, yang menjadi sasaran tentu bukan kaum Muslim. Korbannya bisa berupa minoritas beragama Kristen di sebuah lokasi, minoritas sekte Muslim tertentu, atau bahkan minoritas penganut kepercayaan lokal tertentu. Mungkin kita akan bilang: Ah, tapi itu kan berbeda? Tapi orang-orang itu kan tidak menyalahi hukum Islam yang sesungguhnya dari Allah?

Apanya yang berbeda? Secara isi mungkin berbeda, karena memang dunia ini bermacam-macam dan banyak sudut pandang untuk melihat sebuah urusan. Tapi pada dasarnya, secara relasional semua itu tidak terlalu berbeda. Bagi mayoritas Muslim di Indonesia, mungkin saja Ahmadiyah itu adalah ajaran yang sesat, yang harus dilarang dan dibbuatkan Undang-undang, karena itu bertentangan dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. Dan sebagian orang Islam juga berkata demikian. Dan mereka berharap ada perundang-undangan yang melarang penyebaran agama ini.

Mari kita bandingkan dengan kasus di Amerika. Orang-orang seperti Jeffrey dan Pam Geller itu menggunakan Undang-undang dasar Amerika sebagai landasan mereka. Mereka juga gunakan nilai-nilai kemanusiaan barat yang bagi mereka Universal dan harus dipatuhi semua manusia sebagai sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Mereka tidak mau ada orang nikah dua karena itu bagi mereka tertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, mereka tidak mau orang-orang disuruh memakai jilbab karena itu sama saja dengan menekan perempuan, mereka juga tidak mau ada hukum potong tangan karena itu tidak manusiawi. Dan seterusnya.

Pendeknya, kalau banyak Muslim di Indonesia yang berpegangan pada apa yang menurut mereka dari Tuhan dan tidak bisa diganggu-gugat, Pam Gellar dan kelompoknya berpegangan pada nilai-nilai kemanusiaan. Apapun perbedaan detil dari nilai-nilai yang mereka percayai benar itu, yang pasti mereka sama-sama tidak mentolerir adanya perbedaan.

Begitulah kita hendaknya melihat ini. Terus Anda pun bertanya, bukankah itu nantinya bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia? Tentu tidak. Kepribadian bangsa Indonesia mengandung “Ketuhanan Yang Maha Esa,” tapi dia juga mengandung “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Yang pertama memang berarti percaya kepada Tuhan yang Maha Esa. Dan kita tahu, agama Hindu adalah agama politeisme, tapi tidak sekali-kali kita boleh menganggap bahwa agama HIndu bertentangan dengan Pancasila. Bahkan, banyak hal-hal yang dipercaya sebagai nilai-nilai filsafat yang tinggi itu berasal dari peradaban Hindu Indonesia, pada zaman kerajaan Majapahit. Bagaimana kalau Ketuhanan yang Maha Esa sebenarnya bermakna mempercayai satu kuasa ilahi yang harus dijunjung lebih tinggi daripada hasrat-hasrat kemanusiaan kita? Mungkin inilah nilai tertinggi dari penghapusan “dengan kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeloek2-nja” dari Piagam Jakarta. Dia satu sisi Pancasila tidak jadi mewajibkan pemeluk Islam menjalankan syariat Islam, tapi di sisi lain juga dia semakin membuka ruang yang sangat luas untuk menafsirkan “ketuhanan yang maha esa.”

Khidmat Sholat Jumat di Harvard

Setelah jalan ke sana-ke mari, kembalilah kita ke urusan sholat Jumat di kampus Harvard. Seperti saya sebutkan pada postingan-postingan sebelumnya, saya beruntung bisa berada di kota Cambridge, satu kota kecil yang memiliki dua kampus paling terkenal di dunia, Universitas Harvard dan MIT (Massachusetts Institute of Technology). Dan saya juga beruntung karena berkesempatan bisa mengikuti dan menyaksikan sholat Jumat di lingkungan ini. Dan, yang tak kalah menariknya, sholat Jumat ini diadakan di sebuah lokasi yang dipakai para mahasiswa (dan pegawai Muslim) atas seizin kampus.

Bukan pertama kalinya saya menghabiskan waktu selama tiga empat hari di sebuah kampus Amerika (selain kampus saya) untuk urusan presentasi di konferensi. Tapi baru kali ini saya sempat sholat Jumat. Biasanya, karena repot cari tempat dan lain-lain, saya memilih memanfaatkan dispensasi untuk tidak sholat Jumat. Tapi kali ini berbeda: saya memutuskan untuk mengikuti sholat Jumat ini karena menurut situs Perkumpulan Mahasiswa Muslim di Harvard memang tersedia lokasi di dalam kampus yang biasa dipakai untuk sholat Jumat. Lagi pula, presentasi saya kali ini benar-benar tentang Muslim Amerika; tentu ganjil rasanya berbicara tentang Muslim Amerika tanpa menyempatkan diri berada di tengah-tengah mereka. Maka, setelah menghadiri sebuah sesi panel tentang agama dan etika dalam sastra dan mengikuti rapat divisi agama dan etika Asosiasi Sastra Perbandingan Internasional (yg dihadiri belasan orang saja), saya pun mencari ruang kuliah lantai 2 gedung Lowell.

Ternyata sholat Jumatnya unik: wudhu di basement, dan sholat di lantai dua. Karena ini bukan masjid, maka tidak ada tempat wudhu yang “mewah,” yang memungkinkan kita bisa mencuci kaki dengan nikmat (ini juga termasuk kenikmatan lho). Bahkan, karena arsitektur gedungnya, kamar kecil terdekat dari tempat sholat terletak di lantai bawah. Saat wudhu, saya bertemu seorang mahasiswa masih muda asal Indonesia, namanya Dimas. Setelah wudhu, saya nanti ke lantai atas dan melihat ruang kuliah yang berbentuk bujur sangkar dengan tatanan kursi di tiga sisi dan panggung utama seperti lembah. Layaknya ruang kuliah. Ada juga lantai atas untuk tempat duduk mahasiswa. Kalau Anda tahu “The Globe,” gedung pertunjukan zaman Shakespeare, pasti Anda tahu yang saya maksud.

Tema khutbah hari itu bisa dibilang sangat sederhana, mendasar, tanpa tedeng aling-aling: tentang nilai nyawa manusia dan betapa besarnya dosa membunuh. Khatib yang masih muda, sekitar awal dua puluhan, mungkin, dengan bahasa Inggris sangat “cetha” dan sedikit beraksen. Dia seperti keturunan atau asal Timur Tengah. Saya tidak bisa memastikan apakah ini aksennya New Jersey atau dia memang mahasiswa asing yang sudah lama tinggal di sini. Hal mencolok lainnya dari khatib muda ini adalah bacaan alquran dan hadits-nya. Gaya pembacaan yang dia pakai benar-benar berbeda. Ketika mengutip dari Alquran, dia melagukannya dengan nada pilu–seperti menurut beberapa hadits. Tapi ketika mengutip hadits, dia mengucapkannya seperti orang berpetuah. Semua ini dilakukan tanpa teks. Tangannya seperti agak canggung. Kadang memberi isyarat, kadang bersedekap, kadang pose istirahat di tempat. Saya bisa membayangkan betapa tidak biasanya memberikan khutbah sambil berdiri tanpa podium atau mimbar, tapa tongkat, sementara orang-orang lain duduk bersila dengan santai. Tidak ada pembatas antara jamaah putra dan putri. Saya tanpa sadar menoleh ke belakang dan melihat para jamaah perempuan yang jumlahnya kira-kira seperempat jamaah pria. Saya sungkan sendiri takut dikira main mata. Seusai sholat, saya bertemu lagi dua mahasiswa pasca sarjana asal Indonesia, Reza dari Aceh dan Naim dari Jawa Tengah–yang belakangan saya ketahui sangat terkenal :).

Komunitas Muslim Kampus yang Beruntung

Komunitas Harvard ini terbilang sangat beruntung karena bisa menjalankan sholat Jumat di tengah kampus, tak jauh dari mana-mana. Mereka memiliki daya tawar yang sangat tinggi untuk bisa mendapatkan fasilitas sholat Jumat di kampus yang suasana sekelilingnya sangat Kristen. Bayangkan saja, Cambridge adalah salah satu kota pertama tempat koloni orang Eropa di Amerika Utara. Orang-orang Eropa yang datang ke sini adalah orang-orang Puritan, yang meninggalkan Inggris karena mereka terdesak di negara asalnya. Jadi, intinya orang-orang yang mendirikan kota-kota di Northeast atau New England adalah orang-orang yang sangat alim. Makanya, Anda bisa melihat sangat banyak gereja megah yang sangat tua di Cambridge dan Boston ini.

Di tempat-tempat seperti inilah, ketika hasil usaha beberapa mahasiswa atau pegawai Muslim di universitas membuahkan hasil, kita merasakan bahwa ada yang perlu disyukuri dan dikritisi dari kemewahan yang kita dapatkan di negeri sendiri. Dalam suasana sholat Jumat seperti ini, yang mungkin sesuatu yang sangat biasa bagi saya dulu (karena bahkan di SMP saya di desa punya musholla yang mengadakan sholat Jumat), saya sempat memikirkan bahwa sesuatu yang kita anggap natural itu sebenarnya adalah bentukan sejarah dan sosial, yang sewaktu-waktu bisa hilang.

Di saat itulah saya bisa sedikit merasakan bagaimana rasanya saudara-saudara yang termasuk anggota minoritas agama di Indonesia, baik itu yang Kristen, Hindu, maupun minoritas dalam agama Islam sendiri. Saya bisa sedikit bayangkan mimpi mereka mengadakan ibadah berjamaah di kampung atau bahkan di kampus. Tapi ya, serepot-repotnya saya mencoba beribadah secara normal di Aa Sam ini, ini cuma sementara. Nanti, kalau pulang di Indonesia, saya bisa menemukan tempat wudhu yang enak di gedung kampus, dan bisa sholat di masjid yang ada di kampus. Sementara anggota kelompok minoritas tertentu yang lahir dan besar di Indonesia, yang tak punya “kampung halaman” selain Indonesia, mereka akan terus-terusan merasakan repotnya beribadah. Kecuali bila kelompok mayoritas berempati dengan betapa repotnya urusan beribadah bagi mereka. Kecuali bila mayoritas yang bisa memegang kebijakan bisa “nyambung” dengan apa yang dirasakan anggota minoritas agama tertentu.

Mungkin di situlah perlunya studi banding jangka panjang…

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

3 comments

Saya agak-agak terganggu dengan kata ‘Ketuhanan’ itu loh, Mas Wawaney. Kalo saya baca Pancasila, rasanya kepengen banget menggantinya dengan sejatinya kata ‘Tuhan’. Karena Tuhan itu beda dengan Ketuhanan, seperti putih beda dengan keputihan.

(Komen ngawur sambil mijit kaki yang pegel pulang sepedaan.)

Hahaha… Kalau punya kecenderungan begitu, berarti OctaNH termasuk kelompok alergi imbuhan :D. Cocok jd penyair.

Kalau editor buku jaman sekarang, bisa jadi mereka gatel pingin ngubah Ketuhanan YME menjadi “Kebertuhanan yang Maha Esa”

[…] Sholat Jumat di Harvard: Misalkan Kita Minoritas (Timbalaning) – Tidak sekedar catatan peristiwa di tempat asing, si penulis juga merefleksikan kembali privilege-nya mengenai beribadah yang selama di Indonesia sudah dia terima sebagaimana wajarnya. Minoritas bukan hanya sekedar jumlah, tapi juga relasi kekuasaan yang timpang dengan mayoritas. […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *