Hari ini, April 21 waktu Amerika Sebelah Sini, penyanyi Prince mangkat secara tiba-tiba. Memang, semua kematian terjadi tiba-tiba, tapi untuk kematian Prince, sepertinya tidak ada yang siap menerima berita ini. Saingannya, Michael Jackson, mangkat beberapa tahun yang lalu dalam keadaan yang mencurigakan. Kita semua belum tahu apa yang terjadi dengan Prince.

Saya mulai kenal dan suka Prince mulai tahun 1995. Ya, tahun itu, tahun ketika repertoar musik saya diisi musik-musik Amerika slow rock dan pop. Prince memikat saya dengan lagu “The Most Beautiful Girl in the World” yang terjemahannya saya hadirkan sebentar lagi. Lagu ini begitu merayu dan sensual. Sungguh indah. Saya ingat waktu itu cambang Prince dibentuk bintang-bintang. Begitu saya kenal Prince pertama kali. Baru belakangan, ketika mulai lebih serius ingin kenal Prince, saya tahu bahwa dia termasuk salah seorang gitaris paling terkemuka dengan gaya bergitarnya yang “frenetik.” Awalnya saya tidak tahu apa maksud main gitar yang “frenetik” itu. Tapi, setelah mendengar album demi albumnya, saya tahu bahwa “frenetik” itu “hanya” istilah keren untuk permainan gitar yang lebih membutuhkan distorsi dan hati daripada jari dan pick. Ya! Begitulah.

Satu hal yang paling menonjol dari musik Prince (selain gitaran frenetik-nya yang kadang-kadang diumbar itu) adalah liriknya yang sensual dan merayu. Kalau dalam bahasa Indonesia, liriknya adalah racikan antara puitis dan slengekan tapi merayu dan tulus. Bagaimana itu? Pendeknya begitulah, rasakan sendiri lirik lagu-lagu beliau.

Satu hal yang perlu sampaikan tentang Prince adalah bahwa dia tidak bisa dibatasi. Hal ini paling tampak pada bagaimana dia menampilkan dirinya di depan publik. Dia laki-laki (semua orang tahu) dan heteroseksual (dia punya istri yang sangat dia cintai), tapi dia tidak mau membatasi penampilannya hanya pada busana laki-laki. Lihatlah baju-bajunya. Lihatlah sepatunya (tidak sekali saja dia pakai hak tinggi). Menurut seorang dosen saya (saya pernah mengambil mata kuliah Sastra Amerika Kontemporer yang diajar seorang dosen Afro-Amerika) bilang bahwa Prince memang sadar adanya pengkotak-kotakan pilihan berasarkan jenis kelamin, tapi dia tidak mau dibatasi. Warna yang sangat identik dengannya adalah ungu (sementara orang pada umumnya menganggap ungu sebagai warna untuk perempuan, atau bahkan ada yang bilang “warna janda,” padahal warna kan tidak menikah :D). Sikap Prince ini mirip dengan teori Judith Butler dan social constructivist yang memandang bahwa jender adalah hasil bentukan sosial. Jenis kelamin memang urusan biologis, tapi jender itu urusan bentukan masyarakat, demikian menurut Butler dan social constructivist lainnya.

Dalam kaitannya dengan ketidakterbatasan Prince, pernah beberapa saat dia mengubah namanya dengan sebuah simbol (simbol yang mirip bentuk gitarnya saat memainkan “Purple Rain” dalam pentas paruh waktu pertandingan bole Superbowl tahun 2007 itu). Ketika itu, dia seringkali disebut “Artis yang dulu dikenal dengan nama Prince.” Tapi belakangan dia balik lagi ke nama Prince (btw, nama lahirnya Rogers Nelson ya, jangan sampai lupa).

Terakhir, sumpah terakhir, komitmen Prince dalam hal ketidakterbatasan jender ini juga seringkali tampak pada lagu dan penampilannya. Dalam hal penampilan, Prince adalah salah satu dari sedikit artis laki-laki yang konsisten menggunakan penggebuk drum perempuan. Dan dalam lagunya, seringkali dia memuja perempuan lebih dari sekadar penampilannya. Dalam lagu yang saya terjemahkan ini, misalnya, sejak awal dia bertanya “Mungkinkah engkau gadis yang tercantik di dunia?” Kita penikmat musiknya yang tanpa pretensi cenderung akan menganggap bahwa Prince ini memuja seorang gadis murni karena kecantikannya. Tapi tunggu, bukankah ini dia bertanya? Ya, dia bertanya, dan dalam pertanyaan ini ada ketidakpastian. Kenapa? Bagi saya, pertama karena tentu saja tidak ada yang tahu siapa wanita yang paling cantik di dunia. Kedua, dan ini yang menurut saya lebih penting, karena “kecantikan” itu ada hubungannya dengan sesuatu yang ada di dalam. Karena kecantikan perempuan yang dipuja Prince hanya efek samping dari pancaran kecantikan di dalam diri. Lihatlah baris terakhir pada bagian rap lagu ini (yang demi kebutuhan kejutan saya taruh di bagian paling belakang). Ya, gadis ini cantik, tapi cantiknya adalah pancangan kecantikan dalam diri. Karena itu… tidak ada yang tahu apakah dia yang paling cantik.

Tidak ada persyaratan rasial dalam kecantikan versi Prince ini. Hanya ada satu deskripsi fisik tentang kecantikan gadis Prince ini: kulit sehalus bunga. Bunga apa? Ada bunga yang kasar dan ada yang halus, tapi yang pasti semua alami.

Jadi, Anda sekalian punya kesempatan menjadi gadis tercantik di dunia versi Prince, asalkan bisa memancarkan kecantikan itu dari dalam.

Maka, mari menyanyi:

Mungkinkah, kau gadis tercantik sedunia?
Pastilah, kau alasan Tuhan mencipta gadis
Ketika tiba hari akhir dunia
Kuingin kau ada di haribaanku
Malam sebelumnya, aku akan menangis
Bahagia, setelah kau, semua hanya bisa tiada.

Mungkinkah, kau gadis tercantik sedunia?
Pastilah, kau alasan Tuhan mencipta gadis

Mampukah kulewati hari saat jam saja tak kuasa
Kucoba, tapi saat melihatmu lagi pasti aku musnah
Siapa yang mengizinkan wajahmu sehalus bunga?
Aku membungkuk, berbangga telah dirahmati

Mungkinkah, kau gadis tercantik sedunia?
Pastilah, kau alasan Tuhan mencipta gadis

Bila gemintang berjatuhan dari angkasa
Pasti Mars tak begitu jauh
Karena sayang, dengan kecantikan seperti itu
tak ada alasan bagimu untuk malu
Karena sayang, kecantikan semacam itu
adalah kecantikan yang memancar dari dalam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *