Metafora Padma (Bernard Batubara), Bermain Close Up dengan Yang Besar-besar

Buku Metafora Padma karya Bernard Batubara adalah buku kumpulan cerpen penulis Indonesia ketiga yang saya baca dalam dua bulan terakhir, sebelumnya buku Surat dari Praha karya Yusri Fajar, dan sebelumnya lagi Rumah Kopi Singa Tertawa karya Yusi Avianto Pareanom. Setelah menyelesaikan Metafora Padma, saya merasa bersyukur karena ketiga cerpen ini memiliki gaya bercerita dan tema yang berbeda-beda. Meski begitu, saya mendapati adanya benang merah (yang cukup tipis) antara Metafora Padma dengan Surat dari Praha. Keduanya memiliki kecenderungan menempel dengan hal-hal besar dalam sejarah.

Metafora Padma menampilkan 14 cerita pendek seukuran koran yang beberapa di antara telah diterbitkan di koran tempo dan satu di antaranya adalah penggalan novel. Banyak dari cerpen ini yang bersentuhan dengan insiden-insiden kekerasan yang terjadi di Indonesia, mulai yang berupa tawuran antara pelajar, pertikaian antar suku, maupun ketegangan antar pemeluk agama berbeda. Tapi ada juga cerpen-cerpen yang berpusar pada kekerasan antar individual karena penyebab yang bisa dibilang personal, seperti misalnya kecemburuan. Ada juga satu cerpen yang tema kekerasannya berpusar pada sikap ekstrim yang sangat berpotensi muncul dari budaya yang patriarkal.

Persentuhannya dengan kejadian-kejadian besar ini menjadikan cerpen-cerpen Bernard Batubara ini cocok tampil di surat kabar. Cerpen-cerpen ini tidak perlu menunjuk nama tokoh-tokoh politik, calon presiden, lokasi pasti, dan sebagainya, seolah-olah dia membawa asumsi bahwa pembaca sudah bisa dengan mudah menghubungkannya dengan kenyataan, atau setidaknya kenyataan yang diberitakan di koran. Cerpen-cerpen ini menjadi versi lain dari berita-berita yang muncul dan hilang di halaman-halaman koran kita.

Yang membedakan antara cerpen-cerpen ini dengan berita–selain hal-hal yang sifatnya elementer–adalah mungkin sudut pandang yang diambil cerpen-cerpen tersebut, atau narator yang ada di dalamnya. Sebagai misal, dalam cerpen “Hanya Pantai yang Mengerti,” yang menceritakan tentang seorang lelaki yang dibunuh oleh suami dari perempuan yang menjalin hubungan dengannya, kita melihat hubungan asmara antara seorang wanita yang merasa tidak dicintai lelakinya dan betapa dia kemudian sedih ketika kekasih yang justri dicintainya ternyata dibunuh oleh orang suruhan suaminya. Saya bisa membayangkan bahwa surat kabar mungkin akan memberitakan tentang bagaimana seorang suami yang ingin menjaga kehormatannya akhirnya menyuruh orang membunuh selingkuhan istrinya.

Satu kecenderungan yang tampak dari beberapa cerpen Bernard Batubara dalam menceritakan kekerasan sosial adalah keberjarakan antara tokoh-tokoh yang disoroti dengan asal muasal kejadian kekerasan itu. Kita ambil saja contoh cerpen pertama, “Perkenalan,” tokoh yang menceritakan kejadian kekerasan itu sendiri seperti tidak bisa memahami kenapa terjadi perang suku. Begitu juga di cerpen “Demarkasi,” anak-anak kecil tidak tahu pasti apa yang terjadi, yang mereka tahu adalah ada mayat-mayat bergelimpangan. Dengan agak berbeda tapi tetap senada, ada juga cerpen “Sepenggal Dongeng Bulan Merah” (yang merupakan penggalan novel), yang berisi roh para korban kekerasan suku yang berbahagia dan damai di alam lain setelah kehidupan–betapa berjaraknya dengan kenyataan bunuh-bunuhan yang terjadi!

Mungkin, sekadar mungkin, hal ini berhubungan dengan asumsi bahwa kejahatan antar suku itu sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari peran “dalang.” Di cerpen “Sepenggal Dongeng Bulan Merah,” narator menceritakan kepada kita tentang adanya “Sang Penghasut,” yaitu kelompok yang menyulut, membakar, dan mengobarkan kebencian antar suku. Apakah karena peran dalang ini maka tokoh-tokoh dalam kumpulan cerpen ini memiliki kecenderungan kenapa kekerasan itu terjadi kepada mereka.

Tapi, kalaupun benar bahwa asumsi di atas itu mendasari cerpen-cerpen Bernard Batubara di kumpulan cerpen Metafora Padma ini, ada satu cerpen di mana asumsi tersebut kemudian diikuti oleh tindakan fatal di pihak penulis. Dalam cerpen “Es Krim,” kita dipertemukan dengan tokoh perempuan yang menjadi petinggi perusahaan es krim yang mencintai es krim setelah menjadi korban perkosaan masal. Di sini, agak mirip dengan tokoh-tokoh dalam cerpen “Sepenggal Dongeng Bulan Merah” di mana korban kekerasan antar suku akhirnya damai di alam lain, si korban perkosaan seolah bisa berdamai dengan traumanya karena es krim. Apakah setipis itu rasa sakit seorang korban perkosaan, sehingga bisa mudah sembuh setelah diberi jilatan es krim dari seorang ko-konspirator perkosaan yang dipaksa menjadi juru rekam kejahatan itu? Mengingat masih banyaknya usaha-usaha menormalisasi perkosaan (dengan cara menganggap korban sebagai penyebab seperti beberapa negara Asia, dengan cara meringankan hukuman pelaku karena menganggap masa depan pelaku perlu dipertimbangkan seperti di Amerika Serikat, dll.), menurut saya akan sangat fatal kalau sastra memiliki kecenderungan bawah sadar seperti ini.

(Btw, di bagian ini mestinya ada bahasan tentang agama dan ilustrasi buku ini, tapi karena saya harus masuk ruang operasi, saya tunda dulu bagian tersebut.)

Maka, untuk penutup postingan ini, saya bisa bilang bahwa cerpen-cerpen Bernard Batubara adalah cerpen-cerpen yang menggelitik karena bermain close up dengan kekerasan, sejarah, dan politik, tapi terlalu singkat untuk memberikan gambaran yang cukup. Tapi, mungkinkah sejauh itu saja tugas yang harus diemban oleh cerpen yang dimuat di surat kabar?

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

3 comments

Kalo baca tulisan anak kajian literatur, begini deh, pasti bentukannya. Kalo baca tulisan penulis untuk penulis lain, isinya omongan teknis semua. Sekalinya nemu tulisan penulis-pengkaji untuk penulis lain, sungguh, kadang daku tak mengerti. Daku kudu gimanaaa? Gimanaaa? >.<"

Ya, pakai metafora diskonan: cara orang menulis ditentukan kacamata yg dia pilih. Kalau dari “kajian literatur” biasanya didasari pemahaman karya sastra dianggap sudah selesai dan sekarang tinggal mengurusi implikasinya (kaitannya dg hal-hal lain, sosial, politik, agama, pendeknya IPOLEKSUSBUDHANHAM :D). Kalau dari penulis, ada kecenderungan membaca karya sastra untuk mengevaluasi (untuk ditiru kalau baik, dihindari kalau jelek, dimaksimalkan kalau berpotensi, bla-bla-bla). Tapi ada juga penulis-pengkaji yg ampuh, misalnya Vladimir Nabokov atau Martin Amis. Cobak deh cari mereka…

Oh ya, kalau tulisan ini kerasa sekali kesan kajian literatur-nya, kayaknya itu sudah jadi default-ku. Kenapa aku yakin begitu? Soalnya ini kemarin nulisnya cuman 15-an menit, waktu habis menyelesaikan baca buku ini di kereta, dan sampai di ruang tunggu dokter, menunggu operasi. Ya sekitar 15 menitan begitu lah. Kayaknya memang sudah ada polanya begitu di sini…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *