Menyiasati Bahasa Indonesia yang Tidak Memadai sebagai Sarana Ekspresi

(Ini draf kasar yang akan terus dikembangkan sampai jadi makalah dengan “pendahuluan,” “metodologi,” “analisis,” dll. Tapi ya, namanya blogger, saya tidak sabar untuk segera mempostingnya guna mendapat balikan dari Anda sekalian pembaca tercinta yang kesasar ke sini.)

Seminggu terakhir, saya berkesempatan berbincang-bincang dengan beberapa penulis yang kebetulan memiliki perilaku berbeda-beda terkait bahasa. Pada intinya, dari perbincangan tersebut, saya mendapatkan kesan bahwa sastra merupakan ruang yang menjanjikan sebagai tempat evolusi bahasa Indonesia yang lebih awas terhadap bahasa daerah. Perlu saya beri disklaimer di sini bahwa perbincangan-perbincangan ini terjadi dalam konteks Kafe Pustaka, Perpustakaan Universitas Negeri Malang, yang memungkinkan campur-baurnya antara serius dan santai, antara memegang mikrofon dan memegang pisang goreng, dan bahkan (seperti lazimnya hari-hari ini) antara saling tatap mata dan tatap layar smartphone. Satu temuan yang paling penting bagi saya adalah bahwa para penulis ini memiliki strategi berbeda-beda dalam menghadapi bahasa Indonesia.

Para penulis yang saya maksud adalah F. Aziz Manna (penyair asal Sidoarjo yang bukunya Playon memenangkan Kusala Sastra Khatulistiwa 2016), M. Aan Mansyur (penyair yang buku-bukunya banyak dibaca dan bahkan dipilih untuk diterbitkan di Malaysia bersama beberapa penyair Indonesia mutakhir lainnya), dan Felix K. Nesi (penulis muda asal Timor yang cerpen-cerpennya banyak terbit di media dan manuskrip novelnya ikut daftar pendek sayembara novel DKJ 2016).

Yang paling kuat terasa adalah bahwa bahasa Indonesia masih dirasa kurang bisa memenuhi kebutuhan ekspresi bagi sebagian penulis ini. Bagi F. Aziz Manna, banyak konsep lokal yang tidak bisa diwakili hanya dengan efisien oleh bahasa Indonesia. Terkadang dibutuhkan banyak kata untuk menyampaikan satu konsep yang dalam bahasa Jawa Timur-an bisa diwakili oleh satu kata. Untuk kebutuhan berpuisi, hal tersebut perlu disiasati. Apalagi buat Aziz yang puisinya lahir dari hal-ihwal keseharian, dan keseharian Aziz adalah keseharian orang “kelas biasa” Sidoarjo-Surabaya. Saya cenderung memilih untuk menggunakan istilah “kelas menengah ke bawah” untuk merujuk ke semesta puisi Aziz karena dunia di puisi itu memang bukan dunianya orang yang bawah-bawah amat). Aziz memilih untuk tidak menerjemahkan kosakata atau konsep-konsep bahasa Jawa Timuran itu dan menggunakannya dalam puisinya.

M. Aan Mansyur memiliki sikap yang relatif sama terhadap bahasa Indonesia tetapi menerapkan strategi yang berbeda dalam menghadapinya. “Bahasa Indonesia adalah bahasa asing pertama bagi saya,” kata Aan, memang benar, meskipun Anda bisa menganggap ini agak bombastis. Bagi Aan bahasa ibunya bahasa Bugis, bahasa Indonesia kurang memantik imaji, terasa abstrak. Kata kerja dalam bahasa Indonesia lebih mewakili sebuah konsep alih-alih mewakili sebuah gambar gerakan. Di sinilah kemudian terletak perbedaan antara Aan dan Aziz, Aan memilih untuk mengambil langkah ekstra, dengan cara membuat semacam “frase kata kerja.” Sebagai misal–mungkin ini contoh fiktif, karena saya lupa pastinya–karena kata “mendengarkan” kurang memberikan imaji gerakan, maka Aan memilih menggunakan “memberikan telinga.” Berbeda dengan Aziz yang memilih kembali ke Bahasa Jawa saat dia merasa bahasa Indonesia kurang memadai, Aan mengambil langkah ekstra untuk menutupi apa yang dia anggap sebagai kekurangan bahasa Indonesia tersebut.

Felix K. Nesi memiliki sikap yang agak berbeda dibanding kedua penulis di atas–meskipun bisa dibilang cukup lazim di kalangan prosais. Sekadar menegaskan, perbincangan saya dengan Felix mungkin sangat minim dan sporadis, bahkan mungkin saya lebih banyak mendapatkan apa yang saya bincangkan ini dari bukunya Usaha Membunuh Sepi dibandingkan dari perbincangan lisan dengannya. Tentang tokoh-tokoh ceritanya yang berbicara dengan bahasa Indonesia aroma Timor, Felix bilang “mereka ini tinggal di Timor, kan jadi aneh kalau mereka tanya ‘Apakah kamu sudah makan?’ [dan bukan ‘Su makan e?’” Bagi Felix, latar kejadian tokoh-tokoh menuntut Felix menghadirkan mereka dalam bahasa aslinya, atau setidaknya bahasa Indonesia yang bercitarasa lokal. Dalam cerpen-cerpen Felix, bahasa daerah muncul lebih untuk menciptakan citarasa. Dan citarasa itu, dalam cerpen-cerpen Felix, sering kali muncul lewat kata-kata yang tidak memiliki makna sentral dalam cerita, atau kasarannya kata-kata yang tidak untuk mengusung gagasan-gagasan inti. Salah satu contohnya adalah kelaziman karakter-karakternya menggunakan “sa” untuk “saya” dan “su” untuk “sudah” dalam perbincangan di antara mereka, menyerupai dialek Melayu yang lazim dipakai di Timor.

Perlu diberi catatan di sini bahwa Felix memang bukan padanan yang pas buat Aan dan Aziz. Felix menulis prosa realis, yang sudah lazim didukung (meski tidak harus) dengan “realitas” bahasa, terutama untuk dialog para tokoh. Sementara itu, Aan dan Aziz adalah penyair, yang menghidupi puisi, sebuah “organisme” yang wujud fisiknya banyak dipengaruhi oleh ekspresi si penulis. Kalau bicara matematis, persentase arti penting bahasa dalam prosa lebih kecil daripada persentase arti penting bahasa dalam puisi (bahkan ada juga puisi yang menurut kritikus hanya berisi bahasa, tak lebih). Tapi, kalau kita memang membincangkan bagaimana penulis non-penutur asli bahasa Indonesia menyiasati tarik ulur antara tuntutan berbahasa Indonesia (karena telah memilih menulis dalam bahasa Indonesia) dan menurut hasrat memuaskan kebutuhan linguistik dan ekspresi, prosais Felix tak ada bedanya dengan penyair Aziz dan Aan.

Maka, bila ada yang menanyakan kenapa seorang penyair memakai kata bahasa Jawa untuk menyatakan sesuatu yang bisa diungkapkan dalam bahasa Indonesia, mungkin jawabannya bisa ditemukan pada aspek ekspresif dari karya sastra–khususnya puisi. Bisa saja istilah-istilah tertentu dalam bahasa daerah memiliki padanan yang akurat dalam bahasa Indonesia. Namun, bila si penyair dibesarkan dengan bahasa Ibu bahasa daerah, bukan tidak mungkin bila padanan yang akurat dalam bahasa Indonesia itu masih terasa berbeda dan tidak mencukupi untuk mengekspresikan sesuatu. Dalam keadaan inilah dia memilih memakai bahasa ibunya. Dan hal ini wajar saja, terutama bila kita menyadari bahwa bahasa puisi ada bukan hanya karena harus mengantarkan sebuah pesan, tapi juga karena si penyair perlu berekspresi, atau keberadaannya adalah alasan dari keberadaannya itu sendiri, atau dalam larik-lariknya Archibald Macleish “puisi tidak harus berarti/ tapi harus mengada.”

Pertanyaannya sekarang, apakah ketegangan ini ada hanya ada di konteks Indonesia, antara penutur bahasa daerah dengan bahasa nasional? Tidak, ketegangan serupa juga ada di tempat-tempat lain di mana ada sebuah bahasa yang sentral dan bahasa yang marginal. Untuk contoh pertama, kita bisa melihat hubungan antara bahasa Inggris standar Amerika dan bahasa Inggris orang-orang Afro-Amerika yang dikenal dengan istilah “bahasa Inggris Ebonik” atau istilah teknisnya “African American English Vernacular.” Banyak prosais yang menggunakan bahasa ini dalam percakapan antara tokoh-tokohnya dan menggunakan bahasa Inggris standar untuk narasinya. Sementara itu, untuk puisi, banyak sekali penulis yang memilih menggunakan bahasa Inggris Ebonik secara ekstensif dalam karya-karya mereka, misalnya Amiri Baraka dan Sonia Sanchez, dua penyair yang mulai naik daun pada masa pasca pergerakan hak sipil dan populernya “pergerakan seni kulit hitam.” Penyair-penyair ini merangkul bahasa asli mereka dan menggunakannya untuk menciptakan gaya ungkap yang paling pas untuk kebutuhan mereka (terutama saat puisi-puisi tersebut diniatkan untuk membangkitkan semangat dan kesadaran sesama warga kulit hitam).

Tapi, di jazirah linguistik yang lain, yaitu di jazirah bahasa Arab, ada perbedaan hasil ketegangan antara bahasa sentral (dialek formal atau “fushah”) dan bahasa marginal (dialek lokal, misalnya dialek teluk, dialek Lebanon atau “amiyah,” dan dialek Afrika Utara bagian barat atau dialek “maghrib”). Dalam ranah sastra, dialek-dialek lokal ini masih sangat termarginalisasi. Sebagian besar karya sastra ditulis dalam dialek formal. Tidak banyak karya yang ditulis dalam dialek Mesir urban atau lain-lain. Bahkan, ada kesan ukuran kemampuan berbahasa seorang penulis diukur dari kemampuannya menggunakan dialek formal. Dialek lokal agaknya berhasil cuma dalam konteks dunia hiburan, misalnya dalam musik pop, di mana misalnya diva Timur Tengah asal Lebanon, Fairuz, menggunakan dialek “amiyah” dan para penyanyi dari Mesir seperti penyanyi flamboyan Amr Diab menggunakan dialek Mesir dalam lagu-lagunya.

Sekali lagi, saya perlu memberikan kondisi di sini: memang hubungan bahasa Indonesia-bahasa daerah yang sama-sama bahasa itu berbeda dengan ketegangan antara dialek Bahasa Inggris Amerika Standar-Bahasa Inggris Ebonik atau dialek Fusha-dialek lokal. Tapi, ketiga hubungan ini sama-sama diwarnai oleh sentralitas satu pihak dan marginalitas pihak lain. Ada bentuk ungkap yang dianggap lebih superior dalam konteks-konteks tertentu (konteks resmi, kontes sastra, dll) dan ada bentuk ungkap yang dianggap lebih inferior.

Jadi, pada intinya ketegangan antara bahasa sentral dan bahasa marginal bukanlah femonema yang ganjil dalam karya sastra. Yang unik untuk disoroti adalah bagaimana para penulis menyikapi ketegangan tersebut. Ada yang memilih untuk menyodorkan kosakata bahasa daerah, dan ada pula yang memilih memodifikasi bahasa Indonesia sehingga bisa memuaskan kebutuhan ekspresifnya. Bahkan, ada pula yang menghadirkan bahasa daerah secara selektif, seperti misalnya khusus untuk dialog. Semua pilihan estetik ini pada akhirnya akan memperkaya Bahasa Indonesia. Mungkin dengan itu pula–ditambah dengan keluwesan KBBI–akan semakin banyak kosakata bahasa Indonesia yang terpengaruh bahasa-bahasa daerah Indonesia selain bahasa Jawa. Bahkan, pembaca sastra Indonesia juga akan lebih bisa mengenali kekayaan bahasa Indonesia. Tentu saja, tentu saja, tentu saja, semuanya akan berhasil seperti idealnya bila pembangunan merata di seluruh Indonesia dan sarana prasarana publik merata di seluruh pelosok Indonesia, sehingga jumlah buku yang berbahasa Indonesia dengan cita rasa Timor bisa sebanyak buku berbahasa Indonesia dengan citarasa Jawa.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

3 comments

Bahasan sama yg pernah saya dengar dari Aan, dan saya juga merasakannya: Bahasa Sunda adalah bahasa utama saya, membaca beragam teks Inggris, dan harus menulis dengan Indonesia. Setuju soal pemerataan pembangunan, kita butuh kosakata baru dari selain Jawa.

Mungkin perlu sedikit diperjelas di sini, Kang Arip, bahwa bukan hanya kosakata Jawa saja yang banyak masuk ke dalam Bahasa Indonesia. Bahasa kita yang pokoknya dari bahasa Melayu ini sangat banyak juga kosakata Arab, Belanda, Portugis, dan bahasa-bahasa daerah kita. Yang jadi penekanan saya di akhir adalah karena kurangnya paparan orang Indonesia terhadap karya-karya sastra bercitarasa lokal dari daerah-daerah lain Indonesia, akhirnya tidak banyak orang yang mengakrabi bahasa Indonesia dengan citarasa daerah lain.

Bahkan, upaya ‘mengakrabi’ pun agak bikin sedih, Mas. Mungkin, bisa mas masukkan juga dalam tulisan mas selanjutnya yang lebih analitis.

Jadi begini, ada penerbit-penerbit besar yang membuka sayembara kepenulisan bertema lokalitas. Hasil sayembara tersebut diambil yang terbaik (tentu yang terbaik di antara tulisan yang jadi disertakan dalam sayembara pada waktu tersebut).

Sedihnya, banyak penulis asal Jawa yang maksa sekali bahas Timur, entah research dari sepenggal baca Wikipedia atau bagaimana. Hasilnya, sekadar tulisan berbahasa Indonesia dengan satu dua kata berbahasa daerah dengan setting yang nggak tahu ilham dari mana kok ya identik dengan hutan dan primitif dan cerita cinta menye-menye yang settingnya nggak di hutan pun sebenernya nggak masalah (di klab malam atau kuburan misalnya, juga nggak ngaruh sama ceritanya). Nggak ada bahasa Indonesia dengan dialek sungguhan Timur, sungguhan Bali atau lainnya. Yang ada, penulis Jawa maksa bahas Timur, penulis Sunda maksa bahas Jawa. Bukan soal siapa bahas mana, tapi sekadar nempelnya dalam cerita ini loh… Aduaduh banget…

Penerbitnya sendiri, sudah kepalang janji, penerbitkan yang terbaik dari yang terkumpul kwkw. Ya jadi begitu…

Ini menurut saya nggegirisi *cetak italic sebab bahasa daerah* bahkan, untuk mencari padanan kata dalam bahasa Indonesia untuk nggegirisi, saya harus pakai tiga kata membuat-bulu kuduk-merinding atau merasa-sangat-ngeri. Itu pun, masih kurang kenak untuk mengartikan kata nggegirisi. Lagi-lagi, ini nggegirisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *