Saya di sini akan mereview paket buka puasa di sebuah masjid kecil tapi megah bernama Miftahul Huda di desa Karangwidoro, Kecamatan Dau. Semoga ini tidak mengurangi kesempurnaan–atau ketidaksempurnaan–Ramadan saya. Secara umum, nilai yang saya berikan untuk paket Ramadan ini adalah “tak tergantikan.”
Yang saya maksudkan dari “paket buka puasa’ di sini adalah rangkaian acara mulai dari takjil, sholat maghrib, buka puasa, dan ngobrol pasca buka.
Paket buka ini sebenarnya saya ambil tanpa rencana yang matang. Saya diberitahu seorang kawan di kampus bahwa Masjid desa Karangwidoro menyediakan takjil yang pas dan buka dengan nasi jagung lengkap nan lezat. Respons saya hanya “hmmm.” Nah, kebetulan beberapa hari yang lalu saya harus mengoreksi tugas akhir mahasiswa dan harus pulang lebih sore dari biasanya. Kebetulan sekali, kawan yang bercerita tentang nasi jagung itu ada. Maka, sebelum saya pulang, dia mengajak saya untuk ke masjid Karangwidoro itu. Jadi okelah, alih-alih langsung meluncur pulang, saya mengambil jalur lain dan pergi ke Masjid Karangwidoro itu.
Secara geografis, kampus saya sebenarnya terletak di desa Karangwidoro. Banyak pegawai keamanan dan staf luarnya berasal dari desa Karangwidoro. Namun, tembok kompleks perumahan memisahkan kampus saya dengan bagian lain desa Karangwidoro. Jadinya, desa yang sebenarnya hanya sepelemparan bumerang itu terasa jauh. Untungnya ada pintu belakang kompleks perumahan yang bisa dipakai untuk menjangkau perkampungan utama desa Karangwidoro (setelah melewati tegalan dan rumpun bambu). Itulah yang saya lewati menjelang petang kemarin, ketika maghrib sudah di ambang langit.
Masjid Karangwidoro ternyata cukup bagus. Bangunan ini belum selesai sempurna. Bagian luarnya masih berwarna putih dengan dasaran cat. Tangganya masih cor-coran dan berdebu. Beberapa bagian dinding masih berwarna semen ekspos. Masih ada scaffolding kayu di sana-sini. Namun, bagian teras dan bagian dalamnya sudah terlihat elok. Dinding yang putih gemilang itu tampak tinggi. Di bagian depan masjid, kita melihat tembok dengan ornamen timbul (seperti ukiran dari semen atau gipsum) yang menghiasi mulai lantai hingga ke puncaknya. Arsitekturnya khas campuran Mughal dan beberapa elemen Yunani semacam kolom Korinthian dan sejenisnya. Ini arsitektur masjid yang lagi ngetrend dewasa ini. Bagian mihrab sangat besar dan berbentuk lengkung dengan puncak lengkup lebih dari lima meter dari lantai. Ada pilar ornamental dengan motif pilin di kanan dan kiri mihrab. Di sekitar bagian imam terdapat atrium yang membuat kita bisa melihat lantai dua dan kubah berwarna putih dengan ragam hias garis-garis warna hijau. Lantainya bertutup karpet baru masih tebal.
Begitu tiba di masjid, saya sempat duduk-duduk di beranda sejenak menunggu adzan maghrib. Sementara itu di sana sudah ada bapak-bapak yang mempersiapkan takjil. Ada sekotak plastik korma, air kemasan dalam gelas, minuman sari buah dengan nata dan sejenis cendol model kecebong di wadah plastik transparan yang biasanya dipakai untuk kerupuk. Ada juga jeruk kupas. Anak-anak kecil mulai keluar dari dalam masjid. Sepertinya mereka habis beraktivitas.
Saat sirene penanda maghrib berkumandang di radio yang dikeraskan, bapak-bapak yang ada di sana langsung mempersilakan kami mengambil takjil. Ah, sari buah dengan nata yang disediakan ternyata tidak terlalu manis–tidak seperti yang saya takutkan. Anak-anak mulai menyergap es buah dan semangka. Kawan-kawan saya mengambil minuman kemasan di gelas.
Sementara itu, ternyata muadzin sore itu adalah bapak staf di kampus saya yang biasanya berdinas di kawasan parkir. Orangnya suka berteriak kalau bekerja, dan ternyata di sini juga suka berteriak, tapi untuk mengajak sholat. Masook, Pak!
Takjil yang simpel itu segera berlanjut dengan sholat maghrib yang cukup ekspres. Surat-suratnya pendek dan bacaannya relatif cepat. Wirid pasca sholat pun cukup singkat dan efektif. Setelah itu ditutup dengan bersalam-salaman dengan sesama jamaah.
Di beranda, saya sudah disambut jamaah yang menjaga meja makan. Seorang pemuda mempersilakan kami makan sambil ala-ala memberi contoh saya menyendok nasi dan lain-lain. Seorang nenek datang dan mengambil salah satu kotak styrofoam dari meja. Saya memilih menu lengkap nasi jagung. Ada nasi jagung, nasi putih, lodeh tahu-tempe, dadar jagung, dan mendol tempe. Juga ada kerupuk putih yang saya bayangkan pasti luar biasa juga tampak di sana. Saya langsung mengambil semuanya dalam jumlah sepantasnya. Tapi, yang tidak saya duga sebelumnya adalah betapa ternyata lodeh tahu dan tempe itu aduhai pedasnya. Oke, ternyata selera ramadan orang-orang Miftahul Huda ini cukup hardcore. Untung bumbunya luar biasa lezat. Jadi ya ada alasan kuat untuk menyelesaikannya dengan sukacita. Nasi jagung dan dadar jagung dan lodeh tahu pedas adalah gabungan tiga hal yang sulit ditandingi. Saya yakin bahkan warung ayam geprek milik selebriti pun kesulitan menandingi citarasa yang versatil ini.
Kotak-kotak styrofoam itu sendiri ternyata ditawarkan kepada anak-anak. Di teras tempat kami duduk juga terlihat anak-anak sedang makan pangsit dengan lahapnya. Ada yang mecethet saus cocolan cabe dan tumpah ke karpet. Hhh, batin saya.
Setelah selesai makan, bapak-bapak di sana mempersilakan kami mengambil jeruk. Desa ini memang termasuk penghasil jeruk. Banyak dari penduduknya memiliki kebun jeruk, dan bulan-bulan ini adalah musim panen jeruk–puncaknya bulan Juni-Juli nanti. Oke, dengan semangat cultural immersion, saya pun menikmati jeruknya.
Di depan saya duduk seorang bapak yang ternyata berasal dari tempat lain. Begini ceritanya bagaimana saya tahu:
“Silakan, Pak. Tambah,” ucap seorang bapak dalam bahasa Indonesia yang baik.
“Iya, Pak. Terima kasih,” kata bapak yang lain dengan logat berbeda, bukan logat lokal.
“Di Ambon ada nasi jagung, Pak?” kata bapak pertama.
“…” si bapak dari Ambon belum menjawab.
“Apa di sana nasi jagung buat makanan ayam, Pak?” tanya si bapak pertama.
Perbincangan pun berlanjut sambil si bapak dari Ambon terus makan jeruk.
Saya bertanya tentang masjid ini kepada seorang bapak. Saya memuji masjidnya yang tampak megah dan menanyakan siapa arsiteknya. Kata si bapak, rancangan masjid ini dari Pak Supeno, seorang warga lokal, yang mungkin seorang pemborong. Masjid ini memang belum selesai, tapi warga sudah cukup puas dan tidak buru-buru menyelesaikannya. “Yang penting sudah berdiri dan bisa dipakai saja, Mas. Yang lainnya pelan-pelan saja.” Ternyata memang masjid ini rencananya nantinya akan diberi cat warna lain, mungkin warna dan motif seperti marmer yang sekarang lagi ngetrend itu. Demikianlah perbincangan berjalan sampai isya’ sambil ngemil dadar jagung dan kerupuk putih.
Begitu adzan isya’ terdengar, acara ramah tamah sambil buka selesai dan kami bersiap sholat isya dan tarawih. Ternyata oh ternyata, shalat tarawih di sini cukup ekspres. Bapak staf kampus yang tadi adzan maghrib dan isya’ itu ternyata sekarang menjadi bilal yang cukup bergairah. Sholat tarawih berjalan dengan kilat dengan kecepatan 1’42” per salam. Bilal sudah meneriakkan sholawat bahkan sebelum saya ikut mengucap salam mengakhiri sholat. Seluruh rangkaian tarawih dan witir selesai dalam waktu kurang dari 25 menit. Tepatnya, pukul 19.15 WIB kami sudah melangkah meninggalkan ruang utama sambil membawa kesan yang mendalam, terutama karena lodeh pedas, nasi jagung, dadar jagung tadi. Plus tentu saja silaturahmi yang gayeng dengan para jamaah.
Nah, dengan mempertimbangkan semua elemen di atas, sodara, saya berani memberi hasil verdict “tak tergantikan” untuk paket buka di Masjid Miftahul Huda Desa Karangwidoro Kecamatan Dau Kabupaten Malang ini.
Paket buka di masjidmu bagaimana, lur?