Ada kabar baik, Pak Sugeng Hariyanto (penerjemah senior asal Malang yang sekarang banyak dikenal di seluruh Indonesia berkat bukunya teori penerjemahan, berkat pelatihan-pelatihan penerjemahan, dan berkat kebaikannya berbagi ilmu di forum-forum pelatihan penerjemahan itu) sebentar lagi akan menerbitkan sebuah buku. Kali ini bukunya berupa kumpulan esai-esai personal berisi renungan. Judulnya Tak Ada yang Pergi dari Hati. Nah, saya berhasil mengintip buku tersebut, yang ternyata menarik. Begini kira-kira menurut saya:
Setiap orang mengalami berjuta kejadian dalam hidup ini. Dan karena kebanyakan orang tidak pernah berhenti, maka kejadian itu tidak akan ada hentinya. Buat yang mengalaminya, tentu saja segala kejadian itu akan membangun dirinya. Tapi, apa dampaknya buat orang lain? Tidak banyak rasanya. Nah, yang dilakukan Pak Sugeng Hariyanto dalam buku Tak Ada yang Pergi dari Hati adalah sebuah usaha habis-habisan untuk rehat sejenak dan membiarkan keluarganya dan orang-orang dekatnya mendapat manfaat dari berbagai hal yang terjadi kepadanya.
Dalam Tak Ada yang Pergi dari Hati, Pak Sugeng menyampaikan renungan dari kejadian-kejadian keseharian, mulai dari pengalaman pribadi, kenangan sebuah pertemuan, dan kisah-kisah yang dituturkan orang yang sudah dikenal lama atau baru bertemu. Ada pengalaman masa lalu, ada kisah anggota keluarga, ada kisah orang sukses (baik dalam profesi maupun dalam menjalankan keyakinan agamanya), maupun kisah dari seorang petugas kesehatan yang bertemu sekali saat menunggu keberangkatan pesawat.
Semua kisah ini dirasionalisasi dengan cara Pak Sugeng memandang dunia, dengan sabar, optimis, dan agamis. Dari kejadian-kejadian yang tidak bisa dihindari seperti kematian wali santri di Kalimantan yang kedua putrinya belajar di sebuah pesantren di Jawa, kita mendapatkan kisah duka yang dalam dan tawakkal yang menguatkan. Dari pertanyaan putrinya “Paus itu ikan atau bukan?” Pak Sugeng sampai pada perenungan tentang pemimpin yang memiliki agenda pribadi yang dapat membahayakan anak buahnya. Banyak dari renungan ini didukung dengan ajaran-ajaran Islam. Di sinilah mungkin buku ini sepertinya menunjukkan segmentasinya. Setiap orang memang memiliki cara masing-masing untuk memaknai hari-harinya. Dan inilah cara yang dipakai oleh Pak Sugeng.
Terlepas dari itu, ada satu hal dari buku ini yang menjadikannya relatable buat siapa saja: yaitu usahanya untuk mencatat kejadian-kejadian ini. Usaha untuk mencatat dan merenungi ini menunjukkan sebuah keinginan untuk membuat keluarganya ikut mengalami kehidupannya. Semakin tua usia seseorang, semakin banyak hal yang dialami dan semakin banyak yang diurusi setiap harinya. Apalagi jika orang tersebut adalah orang yang cukup penting dan mobile seperti Pak Sugeng ini, yang bertemu berbagai orang dan mengikuti pertemuan resmi dengan orang dari berbagai kalangan. Dan seringkali (seperti diceritakan di sini) pertemuan-pertemuan tersebut tidak melibatkan anggota keluarga, yang artinya tidak semua anggota keluarganya bisa mengalami dan merenungkan hikmah dari hal-hal yang ditemuinya itu.
Maka, usahanya untuk menuliskan kejadian-kejadian itu saja sudah menjadi sebuah hadiah yang penting bagi keluarga dan orang-orang dekatnya. Dengan itu, Pak Sugeng seolah-olah meyakinkan keluarganya bahwa tidak hanya “tidak ada yang pergi dari hati” tapi juga “kalian juga bisa ikut mengambil pelajarannya, keluargaku.”