Buku ini, seperti judulnya, menguraikan tentang fenomena keberlimpahan digital (digital plenitude), yang ditandai dengan pudarnya dominasi budaya elit (seperti ekspresi seni yang tinggi dan adiluhung) dan menguatnya media-media baru. Dengan kata lain, kalau dulu yg jadi budaya utama itu adalah, misalnya, lukisan, musik klasik, Opera, teater, dll. sekarang yg tak kalah utamanya adalah misalnya EDM, video game, fan fiction, konsernya DJ favorit, dll.
Mengemukanya media baru ini akhirnya juga membawa semakin beragamnya standar estetika. Ada dikotomi saat ini, ekspresi budaya yang “tinggi” masih menuntut adanya katarsis (perasaan mencapai puncak emosi yg diikuti dengan perasaan plong yg hebat, seperti kalau nonton film² yg memuaskan itu), tapi di sisi lain ada ekspresi budaya yg lebih memberikan “flow” (atau perasaan enjoy terbawa tanpa menuntut adanya puncak kenikmatan tertentu di satu titik, kayak main video game begitu lah). Ini satu contoh sj dikotomi standar estetika antara masa yg dulu dan masa “keberlimpahan digital” ini. Masih ada beberapa perbedaan standar lainnya.
Dampak dari perubahan standar ini apa? Kalau dlm dunia seni dan hiburan relatif tidak masalah. Kalau kita tidak suka video game, kita tetap bisa memilih film. Tapi, kalau dlm hal politik dan pendidikan, lain lagi ceritanya. Kalau dulu yg menjadi ukuran ideal utk politik adalah mereka yg lulus dari tempat pendidikan yang bagus (sekuler maupun relijius), sekarang ukurannya adalah popularitas yang bisa hadir dari apa saja (baik yg bagus maupun yg kontroversial). Fenomena terpilihnya Trump adalah satu wujud dari perubahan standar nilai di era Keberlimpahan Digital ini (ingat, hanya wujudnya, bukan penyebabnya). Dalam politik, pergeseran nilai ini berdampak ke banyak orang dan kita tidak bs menghindar atau memilih pemimpin dan politik yg berbeda. Nah.