Karena terjemahan Louise Glück kemarin ada yang baca, saya tambah lah satu lagi buat hadiah untuk kunjungannya ke sini. Terjemahan ini masih dari buku Louise Glück yang sama, A Village Life, kumpulan puisi-puisi pastoral. Puisi yang ini berjudul “Sunset,” atau senja, atau waktu kegemarannya Seno Gumira Ajidarma, dan sekarang jadi bahan olok-olok karena sudah kebanyakan yang suka senja dan posting foto senja di sosmed.
Puisi “Senja” ini tentu tidak punya asosiasi yang “indie” di kehidupan kontemporer Indonesia itu. Senjanya Glück ini senja yang direnungkan, senja yang liris, senja yang dihubungkan dengan kehidupan semua, senja yang diberikan relevansi, seperti malamnya Robert Frost. Mari kita cek apakah terjemahan ini cukup bisa mewakilinya.
Senja
Seiring lingsir matahari,
petani membakar guguran daun.Apinya tak berarti.
Ia kecil dan terkendali,
seperti keluarga dikepalai diktator.Tapi saat kobarnya membesar, petani menghilang,
tak lagi tampak dari jalan.Dibanding matahari, api di sini
berumur singkat, amatiran,
dan saat daunnya habis ia pun mati.
Dan petani tampak lagi, mengorek abunya.Tapi kematian itu nyata.
Seakan matahari purna tugasnya,
menghidupkan sawah, lalu
memantik api membakar dunia.Ia pun kini boleh tenggelam.