Fetish Majalah Bahasa Inggris

Ada sedikit waktu lagi kawan, dan itu artinya kita bisa ngobrol lagi sedikit tentang pengalaman saya bersentuhan dengan teks-teks berbahasa Inggris. Kali ini, kita akan berbicara tentang majalah berbahasa Inggris. Ada dua sih sebenarnya majalah berbahasa Inggris yang menjadi kenikmatan awal saya membaca dalam bahasa Inggris. Keduanya adalah pengalaman yang sepertinya tidak bisa digantikan dengan apapun.

Kita mulai dulu dengan yang kedua, yang terjadi ketika kuliah: yaitu majalah bahasa Inggris asli Reader’s Digest. Saya kenal majalah ini pertama kali di bagian “Periodik” perpustakaan IKIP Malang dpm Universitas Negeri Malang. Ruangan ini adalah ruangan kaca yang dulu berada di belakang bagian sirkulasi (tentu sekarang sudah jauh berbeda setelah Prof Djoko Saryono–kepala perpus UM yang sekaligus bapak literasinya kera Ngalam–memantik serangkaian pengembangan perpustakaan UM itu). Saya dulu ke bagian terbitan berkala ini sepulang dari kelas-kelas Intensive Course (pada semester 1) dan di antara kelas-kelas lain pada semester selanjutnya (tentu kalau tidak sibuk band-bandan).

Di bagian terbitan berkala inilah saya temukan apa-apa yang saya anggap sebagai harta karun dalam belajar bahasa Inggris. Di situ ada National Geographic, Newsweek, dan Reader’s Digest. Trio majalah ini buat saya dulu adalah sebuah jendela nyata yang membawa saya ke bahasa Inggris tulis yang dipakai oleh orang-orang di Amerika. Banyak kata-kata yang tidak lazim buat saya. Kalau sedang tidak capek, saya sempatkan buka kamus kecil (Oxford Learner’s Pocket Dictionary, yang merupakan barang wajibnya mahasiswa Sastra Inggris waktu itu). Kalau males, ya baca saja los sengerti-ngertinya. Pada akhirnya, setelah menyelesaikan sebuah artikel, saya selalu berada di antara paham dan tidak. Antara paham maksudnya secara umum dan tidak yakin apakah yang saya pahami itu benar-benar nyata. Belakangan, dari kawan saya Abdul Kareem (yang dikenal di sekitaran Jalan Jombang sebagai “Abdul Kareem Terjemahan” sesuai plang di depan kos-nya), inilah yang disebut etika “PERKEMI” atau “persatuan kemeruh (“sok tahu”) Indonesia.” Dan etos inilah yang membawa saya untuk berani menjadi penerjemah mulai semester ke-2 kuliah.

Di antara ketiga majalah yang saya sebutkan di atas, Reader’s Digest menduduki posisi yang paling lembut di hati. Majalah ini selalu woles, ceritanya tidak menuntut dibaca saat ini juga dengan sikap serius dan perhatian penuh. Ceritanya bisa dibaca nanti-nanti. Topiknya memantik imajinasi: matahari tengah malam di Alaska, menjadi sopir truk gandengan lintas negara bagian di Amerika, kejadian mengerikan menjadi sopir truk yang terjebak kebakaran hutan, drama heroik seorang pemuda berkursi roda yang nyawanya terselamatkan karena sedang mendapat serangan asma ketika sedang chatting dengan orang di belahan dunia yang lain. Di dalamnya juga ada bagian-bagian humor yang suliiiiiiit sekali membuat ketawa.

Reader’s Digest dan dua kawannya yang lain itu adalah pengalaman nyata bertemu dengan bahasa Inggris yang “los” tanpa “filter,” yang berbeda dengan pengalaman membaca majalah bahasa Inggris sebelumnya. Terus apa sebelumnya? Ketika SMA dan mulai kursus bahasa Inggris di PEF Porong, saya sudah mulai berani beli majalah berbahasa Inggris di salah satu kios koran di Porong, yaitu majalah Hello. Majalah Hello ini, seperti kita tahu, diterbitkan dari Semarang. Ketika pertama kali membeli, tentu saja saya harus berjuang memahami isinya. Bayangkan, guys, saya baru belajar bahasa Inggris 3-4 tahun waktu pertama kali membeli Hello. Tapi majalah ini selalu menyenangkan, memberikan rasa nyaman, rasa puas, dan rasa bangga. Isinya pun sesuai hati nurani masa itu: berita-berita orang-orang yang kita kenal dan disertai kord lagu-lagu berbahasa Inggris yang kita suka: salah satu yang saya ingat adalah lagu Shania Twain (“You’re Still the One”) dan Michael Learns to Rock (“I’m Gonna Be Around”).

Beberapa tahun setelah pertama kali saya membaca Hello, ketika sudah mulai akrab dengan trio dari Perpus IKIP Malang dpm UM tadi, majalah Hello terasa begitu selo dan santai. Meski begitu, saya sudah bersumpah untuk tidak sekali-kali menganggap enteng atau bahkan meremehkan majalah Hello. Dialah jendela pertama saya ke dalam kenikmatan membaca woles dalam bahasa Inggris.

Bacaan periodik apa pun yang kelak harus saya hadapi dalam hidup–tak satu pun bisa mengganti kenikmatan khas majalah-majalah bahasa Inggris yang saya temukan pertama kali dalam perjalanan bahasa Inggris saya itu. Dan sekarang, di tengah tsunami bacaan berbagai bahasa dan sudah umumnya kemampuan bahasa Inggris di orang-orang muda (yang seolah-olah bisa menguasai bahasa ini dengan begitu mudahnya karena paparan natural ke bahasa Inggris), saya tidak tahu apakah masih ada pengalaman penemuan-penemuan dan kenikmatan yang nyaris menyerupai fetish seperti yang pernah saya alami dengan Hello, Reader’s Digest, National Geographic, dan Newsweek itu?

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

2 comments

Saya kebanyakan baca teks Bahasa Inggris lewat internet, suka fitur longform dari New Yorker sama The Atlantic. Suka juga nerjemahin pas nemu artikel yg bagus.
Kalau fisik pernah ngumpulin National Geographic soalnya mungkin ini paling mudah didapet bekasnya di tukang buku loak Cikapundung.

Mantep pula ini! Biasanya terjemahan longform-nya diterbitkan apa direblog?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *