Sebelumnya saya sudah sebutkan bahwa novel bahasa Inggris yang pertama kali saya baca penuh adalah The Murder of Roger Ackroyd. Bagaimana dengan buku non-fiksi? Nah, tentu ada dong, dan itu tidak jauh-jauh dari obsesi saya tentang kutub-kutuban. Bukunya berjudul Antarctica: the Worst Place in the World.
Perpustakaan IKIP Malang dpm UM yang tiga lantai itu adalah sumber ketakjuban luar biasa bagi saya waktu itu. Di lantai dua atau tiga, ada rak yang isinya adalah buku-buku pengetahuan populer, yang banyak di antaranya berbahasa Inggris. Nah, di salah satu kunjungan itu, saya menemukan sebuah buku berwarna hitam dengan tulisan putih Antarctica: the Worst Place in the World. Sebagai orang yang besar di masa tidak banyak TV swasta dan banyak acara dari TV swasta kita itu yang masih diambil mentah-mentah dari TV asing, saya tentu akrab dengan National Geographic. Dan National Geographic itu memberi informasi dan imajinasi yang cukup menggairahkan tentang dunia kita yang horaumum warna-warninya ini. Itulah yang akhirnya membuat saya jadi kenal dan suka tentang fenomena-fenomena dan tempat-tempat di dunia yang terlalu tidak umum bagi saya. Salah satunya adalah tentang kutub selatan itu.
Makanya, ketika ada buku yang ukurannya pas dan berbahasa Inggris tentang kutub selatan, saya langsung bergairah. Ini dia bacaan yang menyenangkan yang bakal memuaskan keingintahuan saya tentang tempat ganjil ini. Maka saya pinjam lah buku tersebut dan saya baca-baca sambil santai di kamar kost atau bahkan saya bawa pulang ke Sidoarjo pada akhir pekan. Saya tidak yakin apakah saya menyelesaikan buku itu, tapi saya benar-benar ingat menikmati membaca bagian-bagian tertentu tentang stasiun penelitian yang berada di bawah salju. Ada fotonya juga hitam putih yang syahdu.
Sekarang, dua puluh dua tahun sejak semester gasal 1998 itu, saya masih merasakan gelitikan kebahagiaan kalau ingat buku ini meskipun saya tidak ingat lagi isinya. Tentu ini sangat mirip dengan apa yang sering dikutip orang dari Carol Buchner dan Maya Angelou: “orang bisa jadi melupakan yang kita katakan, tapi mereka tidak akan melupakan rasa yang tercipta karena perbuatan kita.” Itulah yang terjadi dengan buku-buku bahasa Inggris pertama yang saya baca. Dalam bidang kajian extensive reading, ada satu syarat penting: pembaca harus menentukan sendiri buku yang dia baca. Nah, buku yang ditentukan sendiri ini biasanya topiknya sesuai minat dan tingkat kesulitannya tidak terlalu besar. Dengan begitu, si pembaca akan menikmati bacaannya dan akan “belajar secara implisit” atau tanpa sadar akan belajar. Belajar apa? Ya belajar kosakata baru, belajar struktur kalimat, belajar tata bahasa, dan sejenisnya.
Buku Antarctica: The Worst Place in the World ini adalah satu bukti bahwa saya mengalami extensive reading bahkan sebelum saya mengambil mata kuliah extensive reading. 🙂