Produktivitas Dimulai di Hari ke-2 Lebaran

Hari ke-2 Syawal, punya apa kita? Ramadan sudah berlalu, mudik sudah dimakan korona. Punya apa kita? Saya punya satu ingatan, dari 17 tahun yang lalu. Ketika itu Idul Fitri terjadi di semester ke-11 saya kuliah S1. Dari Lebaran hari ke-2 itu saya punya kisah mendapatkan wake up call. Sepertinya pengalaman ini ikut membentuk cara saya memandang tugas menulis.

Di hari ke-2 itu, saya merasa bahwa ada hidup yang harus segera berubah. Sudah waktunya saya menyudahi kuliah dan move on ke etape hidup selanjutnya. Sudah waktunya saya menjalani hidup dengan target, target, target. Sudah waktunya saya menyudahi proses belajar yang los dan saya atur sendiri. Dan, yang lebih penting lagi, sudah waktunya saya menikah, membuat calon istri dan keluarga saya juga bahagia.

Ketika itu saya sudah mengerjakan skripsi sejak semester ke-8. Beberapa kali saya menemui dosen pembimbing untuk mengajukan tema, memberikan draf, dan memberikan revisi. Tapi saya juga sempat mengatakan bahwa saya akan melakukan perubahan drastis seiring bertambahnya informasi dan penafsiran yang saya dapatkan atas tema yang saya kerjakan. Saya sempat memutuskan ingin tahu lebih jauh tentang karya yang saya skripsikan. Saya menerjemahkan buku itu dan menerbitkannya (plus sama satu buku lain dari penulis yang sama). Saya pikir saya sudah tahu cukup banyak tentang penulis tersebut dan karya yang saya pilih untuk bahas dalam skripsi.

Maka, di hari ke-2 lebaran tahun 2003 itu, saya pun mulai menulis dengan serius. Di Krembung, di rumah orang tua, saya relatif longgar hari itu. Saya sudah mengunjungi Pakde, Bu De, dan makam Mbak dari bapak dan ibu di hari pertama. Pak Lik dan Bu Lik dari bapak datang ke rumah pada pagi hari. Sejak siang sampai sore saya sendirian di rumah. Itulah yang memungkinkan saya bisa menyelesaikan 6 halaman sekaligus untuk Bab 1 (yang saya reka ulang). Begitu juga di hari selanjutnya dan selanjutnya. Saya berhasil mempertahankan momentum sampai akhir liburan lebaran.

Oh ya, perlu saya ceritakan bahwa itu terjadi sebelum saya punya laptop. Saya punya PC tapi tentu saja ditinggal di kamar kos di Malang. Hari-hari liburan lebaran itu saya menggunakan komputer pinjaman dari sekolah bapak (bapak saya guru SD dan ketika itu kami bisa pinjam komputer dari sekolah bapak untuk saya pakai selama liburan hari raya). Ini komputer PC ya, dengan monitor tabung seukuran microwave itu. Itu yang saya pakai untuk mengetik skripsi saya. Di akhir liburan, komputer kami kembalikan ke sekolah dan data-data skripsi saya sudah tersimpan rapi di floppy disk 2,5 inchi (saya punya satu kotak floppy disk yang saya bawa dari Malang, isinya ya data-data skripsi dan hasil googling itu–mungkin hasil yahooing juga ding waktu itu).

Di Malang, dengan komputer sendiri, saya melanjutkan moments of clarity and productivitity itu hingga draf skripsi selesai. Kepada para dosen pembimbing saya sampaikan bahwa saya sedang berjuang menyelesaikan draf skripsi. Mereka paham betul kalau saya waktu itu perlu melakukan pembenahan-pembenahan. Mereka memberi saya ruang (dan waktu). Hingga akhirnya, genap 38 hari sejak lebaran hari ke-2 itu, draf skripsi saya sudah kelar.

Beberapa bulan kemudian terasa santai karena hanya revisi dan revisi dan revisi. Saya siap sekali dengan segala kebutuhan revisi itu. Banyak sekali revisi yang perlu saya lakukan, terutama untuk bahasa. Untuk isi pasti ada tambahan, pengurangan, pengubahan satu dua hal. Tentu tidak bisa dihindari. Dosen-dosen saya punya kejelian yang tentu tidak saya miliki. Namanya menulis draf kan mesin lagi panas, jadi ya banyak yang tidak terlihat. Sementara dosen saya, yang mengamati dalam kondisi woles dan dingin, bisa melihat apa-apa yang terlihat lebay dan perlu dikurangi. Ujian skripsi pun terjadi di bulan Maret.

Itu pertama kalinya saya menyadari gaya menulis saya. Saya termasuk yang menunda-nunda menulis dan mengumpulkan bahan. Baru ketika deadline sudah dekat, ketika semua bumbu sudah meresap–dan bahkan bahan mungkin sudah berfermentasi–saya berani menulis dan menyelesaikan draf. Selalu ada semacam ketakutan untuk memulai menulis, apalagi kalau saya merasa puas dengan apa yang saya ketahui. Saya cenderung merasa perlu membaca dan membaca lagi, hingga seringkali dampaknya adalah saya “melarikan diri” dalam bacaan ketika harus menyelesaikan sebuah tulisan. Ini terjadi di S1, S2, dan S3. Membaca memberikan semacam pelarian dan ketenangan, yang saya butuhkan di hadapan proses menulis yang menghantui.

Gaya menulis ini terus saya menjadi gaya tulis utama saya hingga saya tahu bahwa itu bukan satu-satunya gaya menulis. Baru belakangan, ketika mulai mengajar Composition di Arkansas (terutama Composition 2), saya mengetahui bahwa ada kecenderungan menulis yang lain: menulis sedikit demi sedikit dan merevisinya tanpa henti sampai deadline tiba. Tapi, saya bukan model yang mulai menulis draf sejak awal dan melakukannya sedikit demi sedikit sambil merevisinya hingga hasil akhirnya merupakan kesempurnaan (eh, nyaris kesempurnaan ding, lha wong kesempurnaan itu hanya milik Tuhan). Itulah masalahnya. Tapi, dengan mengetahui adanya gaya lain ini, setidaknya saya jadi punya pandangan bahwa ada proses menulis lain yang bisa saya pakai–dan saya memang benar-benar sudah mulai mencoba kecenderungan proses menulis yang kedua ini. Memang seperti itulah yang ditekankan oleh Prof. Elias Dominguez-Barajas, pimpinan program Rhetoric dan Composition tempat saya mengajar dulu.

Kalau diingat kembali, masa penulisan skripsi itu sebenarnya pembelajaran yang bagus buat saya sendiri. Saya bisa memaksimalkan kecenderungan menggenjot menulis dan menyelesaikannya selama masih panas. Plus, saya masih cukup punya waktu luang (berbulan-bulan) sebelum masa pendaftaran yudisium ditutup. Jadi ya, saya mendapat manfaat menulis dengan cepat sekaligus juga mengedit dengan longgar.

Kembali ke soal hari ke-2 lebaran, saya masih bersyukur momen itu begitu kuat sehingga tidak mudah terlupakan bahkan sampai 17 tahun kemudian. Tidak setiap kali kita bisa ingat apa yang kita rasakan di awal sebuah projek. Yang biasanya kita tahu adalah kita berhasil dalam satu projek tapi tidak benar-benar tahu seperti apa tekad kita ketika mengawali projek itu. Dampaknya adalah, kita tidak punya catatan tentang bagaimana harus mengawali sesuatu. Target saat ini adalah memaksimalkan mengubah gaya menulis agar tidak perlu harus menulis setelah berbulan-bulan membaca saja (bahkan sampai menjadi membaca sebuah pelarian). Saya pingin menulis lebih awal tapi juga tidak terlalu peragu dalam menulis.

Begitulah, terakhir saya ucapkan selamat hari ke-2 Idul Fitri 1442 H. Semoga kita bisa produkfi dan maksimal di hari yang indah ini.

P.S. sekaligus disclaimer: Kayaknya saya perlu menambahkan info kenapa sy bisa kuliah sampai 12 semester. Saya kuliah S1 di kampus negeri yang waktu itu relatif sangat murah (Rp225.000/semester) plus saya juga sudah jadi penerjemah dan ngajar sejak pertengahan kuliah. Jadi ya lumayan bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apalagi, waktu itu lagi baru mulai gemar membaca dan menikmati koleksi perpustakaan UM yang sayang untuk dilewatkan terlalu cepat. Kalau untuk mahasiswa saya sekarang, kayaknya harus dipenuhi dulu syarat-syaratnya agar bisa bernikmat-nikmat dengan berlama-lama lulus. Lagipula, jaman sudah berubah, sekarang kan trendnya lulus cepat, bikin startup, dan pensiun muda ;).

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *