Bacaan Paling Berkesan dari Masa Kecil

Menentukan bacaan terbaik dan paling berkesan dari masa kecil buat saya tidak sulit. Utamanya karena memang persentuhan saya dengan bacaan tidak sangat banyak dan banyak dari buku itu yang saya baca berulang-ulang karena senang. Jadi ya begitulah.

Oke, tanpa endebrei-waswewos-cangcingcong, mari kita langsung masuk ke bacaan-bacaan istimewa dari masa kecil itu. Sebagai pengantar saja: ternyata saya lebih banyak membaca koran dan majalah dibandingkan buku dalam artian konvensional. Ayo!

Majalah Kuncup

Majalah ini saya dapat dari orang tua saya yang keduanya guru SD. Saya tidak tahu pastinya bagimana (apakah setiap SD dapat majalah Kuncup ataukah mereka berlangganan majalah Kuncup untuk di rumah). Sejauh ingatan, setiap bulan saya dapat majalah ini sejak majalah ini masih dicetak dengan isi kertas buram hitam putih dan cover agak wagu hingga majalah ini full color.

Majalah Kuncup ketika covernya masih berwarna agak tidak biasa, saya pinjam dari sini (terima kasih banyak, Oom!).

Majalah Kuncup ini diterbitkan oleh Dinas P&K Provinsi Jawa Timur dan alamat redaksinya pun di Jl. Jagir Sidoresmo, Surabaya (tempatnya P&K). Saya sendiri tidak tahu ke mana perginya redaksi majalah ini sekarang.

Banyak hal yang saya baca dari majalah ini dulu masih teringat hingga sekarang. Ilustrasi di sampul di atas ini diambil dari satu cerita pendek tentang asal-usul aksara Jawa. Di situ diceritakan tentang Aji Saka dan dua anak buahnya yang sama-sama saktinya. Setelah satu episode dalam kisah Aji Saka, kedua ajudannya ini bertarung mempertahankan pesan dari Aji Saka yang diberikan untuk masing-masing. Akhirnya mereka berdua sama-sama mati. Di situlah Aji Saka menciptakan sebuah kuatrain yang akhirnya sekarang terbaca jadi aksara Jawa itu.

Selain ini, tentunya ada banyak lagi kisah yang bisa ditemukan di majalah kuncup. Ada juga cerita bersambung berjudul Trunojoyo, Mutiara dalam Lumpur, dan lain-lain.

Satu hal yang menurut saya selalu menyenangkan adalah kisah manusia purba. Ada sebuah komik di bagian belakang berjudul Manus yang berkisah tentang sekelompok manusia purba (yang mungkin Cro Magnun–karena mirip kartun Cro). Tapi manusia purba di sini terlibat sangat lusuh dan matanya tertutup rambut. Kisah Manus ini terus berlanjut, bahkan ketika majalah Kuncup berubah menjadi majalah full color.

Penyamun Dalam Rimba

Kisah lain yang saya baca ketika kecil adalah novel karya Mochtar Loebis terbitan Pustaka Jaya. Saya tidak tahu pasti buku itu milik siapa. Kami menemukannya di lemari kayu di rumah nenek. Oh ya, saya memanggil nenek saya “Emak” seperti cara ibu saya memanggil beliau (dan rumah nenek ini ada di depan rumah–tidak jauh dan eksotis seperti di cerita-cerita gitu deh).

Buku Penyamun dalam Rimba ini berkisah tentang sekelompok anak kecil yang diajak pamannya untuk masuk hutan selama berminggu-minggu. Hutannya ada di kawasan Bukit Barisan, Sumatra. Dalam perjalanannya, mereka menemukan ular yang bertarung dengan babi hutan, bertemu orang kubu yang biasanya hanya ada di cerita-cerita, dan lain sebagainya. Tentu mereka juga bertemu penyamun (kan ada di judulnya itu), tapi silakan dicari sendiri bagaimana ceritanya.

Ketika tadi disebutkan “kami menemukannya di lemari kayu”? Itu karena saya menemukan dan menikmati buku ini bersama para sepupu yang setiap lebaran atau liburan panjang dua tahun sekali datang ke Sidoarjo. Mereka ini tinggalnya di Magelang tetapi orang tuanya dari Sidoarjo dan Mojokerto. Kami menikmati membaca buku ini dan kelak mereka membawa buku ini ke Magelang untuk disimpan bersama perpustakaan mereka di Magelang.

Untung di Goodreads ada gambarnya.

Cerita tentang petualangan di dalam rimba ini begitu mempesona bagi saya yang tinggalnya di desa tapi tidak rural-rural amat. Nenek tidak tinggal di desa yang jauh dan eksotis karena saya juga tinggal di desa. Dan desa kami kebetulan ibukota kecamatan yang puya pabrik gula sejak pertengahan abad ke-19. Jadi ya bisa dimaklumi kalau desa kami sudah kehilangan “desa”-nya sejak dulu. Cerita tentang petualangan hutan benar-benar ruang imajinasi yang waktu itu sepertinya perlu.

Mungkin itu juga yang membuat saya suka sekali hiking masuk hutan. Not necessarily buat naik gunung, tapi masuk hutan, berada di tengah-tengah yang hijau-hijau, mencium aroma alam dan daun.

Buku Bergambar Kegiatan Sehari-hari

Ada satu lagi buku masa kecil yang begitu mempesona saya, tapi sayang saya tidak ingat judulnya. Buku ini adalah buku bergambar dengan layout landscape. Di satu sisi ada gambar (sebuah keluarga bapak-ibu dan dua anak, laki-laki perempuan) dan di sisi lain ada informasi tentang kegiatan mereka pada waktu-waktu tertentu. Yang paling asyik, di bagian sampul buku ada jam yang jarumnya bisa digerak-gerakkan.

Satu hal yang mempesona saya dari buku ini adalah betapa teraturnya kegiatan keluarga ini. Di pagi hari, si anak bangun tidur dan bergerak badan. Ada informasi tentang jam ketika si anak melakukan itu. Di sore hari juga begitu, dia punya kegiatan rutin bersama adik dan bapak-ibunya. Di malam hari, dia tidur sambil memakai baju tidur (setelah gosok gigi).

Saya baca buku ini mungkin ketika masih kelas 1 atau 2 SD. Dan saya begitu terpesona karena betapa berbedanya rumah, kegiatan, pakaian, dan keteraturan jadwal anak ini dibandingkan kehidupan saya sehari-hari. Lagi-lagi, buku memberi saya imajinasi yang dibutuhkan.

Koran Surya

Nah, yang ini mungkin agak berbeda dengan daftar lima buku masa kecil dari Budi Warsito dan Andina Dwifatma. Koran Surya bisa dibilang sempat jadi bagian keluarga kami waktu saya masih kecil. Alasannya sederhana, salah seorang pak de saya, Pak De Koes Soenaryono pernah bekerja sebagai ilustrator di Koran Surya beberapa saat. Sejak SD kelas 1 atau 2 saya sudah tahu bahwa Koran Surya bisa menerbitkan gambar anak-anak (dan memang pernah sekali menerbitkan gambar saya).

Tapi puncak kebahagiaan saya dengan Koran Surya terjadi ketika akhir-akhir masa SD saya (mungkin kelas 5 atau 6). Ketika itu Koran Surya edisi akhir pekan punya suplemen anak bernama Hoopla (atau Hoplaa?). Suplemen khusus anak ini punya bacaan-bacaan untuk anak (masak untuk paruh baya?). Nah, di antara satu bacaan untuk anak itu ada komik asyik berjudul Kapten Surya, yang menceritakan tentang seorang pahlawan super model-model Iron Man. Karakter Kapten Surya yang memiliki berbagai teknik mengalahkan musuh (salah satunya tendangan berputar secepat kilat) yang meledakkan imajinasi saya.

Karena Kapten Surya pula lah blogger Anda yang suka menggambar ini menciptakan karakter superhero pertamanya: Electroboy. Crecet-crecet! Bayangkan itu suara efek yang muncul di kepala saya setiap kali dengan gagahnya menyebut Electroboy–mirip suara listrik menyetrum-nyetrum di The Flash. Banyak dari teknik Electroboy mengatasi masalah saya ambil–uhuk, maksudnya saya amati-tiru-modifikasi (ATM)–dari teknik-tekniknya Kapten Surya dan Superboy.

Salah satu komik Electroboy yang saya “terbitkan” di buku gambar waktu kelas 6 SD berisi adegan Electroboy menyelesaikan gunung meletus dengan membawa batu ke atas gunung untuk menutup luapan lava. Flash forward beberapa belas tahun kemudian teknik yang sama dipakai untuk menutup semburan lumpur panas di lapindo–mereka menggunakan bola-bola beton untuk menutup lubang itu, tapi sayangnya tidak berhasil.

Eh, kok jadi ngomongin saya sendir? Maafkan diri yang terlalu self-centered ini.

Ternyata, kisah Kapten Surya pernah dibukukan dalam buku komik yang terbit dalam dua edisi. Komik Kapten Surya ini diterbitkan oleh PT. Antar Surya Jaya, yang juga menerbitkan Harian Surya itu. Btw, ini ada yang berbaik hati “menerbitkan” ulang Kapten Surya dalam bentuk video YouTube. Omegad! Masa kecilku hadir lagi sore ini.

Majalah Mentari Putera Harapan

Terakhir, yang tak kalah pentingnya (meskipun saya tidak pernah beli) adalah majalah Mentari: Putera Harapan. Majalah anak ini terbitan Surabaya, mungkin semacam versi Jawa Timurannya Bobo. Seingat saya, saya selalu membaca buku ini dari Taufik, adik kelas di SD yang tinggal di perumahan PG Kremboong.

Mentari seingat saya selalu up to date dengan yang lagi tren pada masa itu. Ketika Terminator 2 pertama kali rilis tahun 1991, saya juga tahu dong. Tahunya bukan karena nonton bioskop, tetapi karena Mentari membahas tuntas film ini buat konsumsi otak kanak-kanak kami. Ada artikel khusus tentang Terminator. Dan, yang paling fenomenal, Terminator (dan manusia timah) juga diadaptasi menjadi bagian dari cerita komik Hamindalid di majalah ini.

Omong-omong soal terminator, saya kebetulan sudah tahu tentang terminator (film pertama) berkat seorang tetangga. Tetangga ini pernah punya video VHS (ketika saya kelas 4 SD). Kalau tetangga ini muter film, kami para tetangganya langsung ngumpul di balai rumahnya yang model lama–berbentuk persegi dan los dengan 4 tiang. Balai rumah Jawa jaman dulu–bukan joglo lho ya. Salah satu film pertama yang dia putar adalah Terminator yang pertama. Nah, karena di ingatan saya terminator ini adalah musuh (dan sudah mati), saya pun jadi heran ketika di komik Hamindalid terminator itu ternyata jadi baik dan melawan manusia timah. Tentu itu dulu. Sekarang tentu kita semua sudah tahu betapa ruwetnya cerita franchise Terminator ini–bahkan buat orang dewasa.

Berikut sampul dari edisi Mentari: Putera Harapan yang menurut saya paling menakjubkan bahasannya. Terima kasih kawan seller bukalapak yang punya ini. Saya bukan termasuk kolektor buku, jadi ya silakan kalau mau beli ini (ada beberapa edisi yang paling saya sukai, Ksatria Baja Hitam, Street Fighter dengan Jean Claude van Damme dan lain-lain).

Dipinjam dari kawan Seller Bukalapak yang baik (link ada di atas)

Jadi itu dia lima di antara sedikit bacaan yang paling membekas dari masa kecil saya. Ternyata saya lebih banyak membaca terbitan berkala dibandingkan buku. Dan ternyata bacaan pop adalah bagian dari hidup saya sejak kecil. Dan uniknya sampai sekarang bacaan pop sangat memukau, tidak pernah bisa dikalahkan oleh bacaan yang lebih serius… bahkan ketika saya di usia yang harusnya mulai serius.

Omegad, apa saya tidak pernah jadi dewasa?

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

4 comments

Wah wah wah! Andai kita dulu sudah kenal sejak kelas 6 SD, Electroboy bisa dipertemukan dengan superhero bikinanku, namanya, duh ojo ngguyu: D’Tyronamite. Bentukannya terpengaruh banget dari karakter si Metallo musuhnya Superboy, tapi kubikin lebih ‘cyborg’ (batre jantung Kryptonite dia kuganti pakai…batu bata). Kekuatannya ada di lengan dia yg berbentuk bazooka (tiap merapal ‘jurus’ menembaknya dia akan teriak, “Bazooki!”) yg daya ledaknya sebesar sekian dinamit. Konsep ceritanya sok iye banget, mencoba menggabungkan teknologi (à la Murphy from Detroit walau sebetulnya lebih ke The Centurions), mistis kejawen (bahan baku batu batanya diambil dari lokasi tapa pendhem di lereng sebuah gunung purba), dan tentunya Srimulatan. Jangan-jangan ketika Electroboy menangani gunung meletus itu dia sempat papasan sama D’Tyronamite!

Oh no! Electroboy dan D’Tyronamite bisa tinggal di universe yang sama. Mungkin kita perlu mulai cari studio yang bisa mewujudkan dunia ini. Bayangkan, Electroboy mengatasi permasalahan mulia di terang hari dan D’Tyronamite (aku wedi salah eja, kudu copy-paste) mengatasi permasalahan yang lebih complicated di ketika warung-warung kopi mulai buka tapi tempat fotokopi belum tutup. Mirip-mirip Clark dan Peter Parker lah. Tinggal cari satu lagi manusia super yang bisa shift malam, semacam Batmannya gitu.

Andina Dwifatma says:

ELECTROBOY vs D’TYRONAMITE: DAWN OF JUSTICE!!

Electroboy vs D’Tyrodinamite: The Downpayment of Jastip

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *