Ke Memphis – Menziarahi Dua Raja

Awal musim panas ini, nasib baik membawa saya ke kota Memphis di negara bagian Tennessee. Saya mengantarkan guru-guru bahasa Inggris dari 22 negara yang didatangkan ke Amerika sebagai bagian dari pelatihan mereka karena keterlibatan mereka dalam program jangka panjang yang didanai Kementrian Luar Negeri Amerika Serikat. Karena sifat program yang mereka ikuti, maka penyelenggara pelatihan menganggap penting bagi mereka untuk mengetahui budaya dan sejarah Amerika Serikat. Untuk itu mereka mengunjungi beberapa museum dan cagar sejarah dan budaya Amerika di kawasan Tennessee dan Arkansas. Dalam kesempatan ini, saya hanya akan menceritakan perjalanan ke dua lokasi kunjungan yang ada di kota Memphis.

Mungkin tidak banyak diketahui orang bahwa nama Memphis diambil dari nama ibukota Mesir Kuno yang ada di tepi sungai Nil, tempat para Firaun bertahta. Para pendiri kota Memphis modern pada awal ke-19 memilih nama ini karena kawasan Memphis ini sejak ribuan tahun yang lalu sudah menjadi pemukiman yang besar karena lokasinya yang strategis di tepi sungai Mississippi. Baru belakangan saya sadar bahwa ada lagi kemiripan Memphis yang ini dengan yang ada di Mesir Kuno: Memphis punya dereta “raja-raja” penting Amerika, mulai raja rock ‘n’ roll Elvis Presley, raja blues B.B. King, hingga “raja” perjuangan hak sipil Martin Luther King, Jr. Dalam kesempatan jalan-jalan ini, saya hanya sempat mengunjungi tempat yang penting bagi King of Rock ‘N’ Roll dan Martin Luther King, Jr.

Graceland: Peraduan Terakhir Raja Rock ‘n’ Roll

Mungkin karena lokasinya yang paling dekat dengan pintu masuk ke kota Memphis, Graceland menjadi tempat yang pertama kali kami kunjungi. Begitu menyeberangi Sungai Mississipi, kami meninggalkan negara bagian Arkansas dan memasuki negara bagian Tennessee. Ketika saya menyeberang Mississippi itu, sungai sedang meluber ke mana-mana, menggenangi kawasan bantaran, menjadikannya seperti sungai super besar yang di tepi-tepinya dibatasi kawasan bakau. Dalam perjalanan dari Arkansas menempuh jalan raya Interstate 40, kota pertama yang kita masuki adalah Memphis, yang di seluruh dunia dikenal sebagai kotanya Elvis.

Graceland adalah kawasan yang paling dekat sungai Mississippi. Di salah satu belokan paling awal, bus keluar dari Interstate 40 dan masuk ke jalan raya beberapa jalur yang bernama Elvis Presley Boulevard. Di kanan kiri jalan ini terdapat toko-toko dengan nama-nama semacam “Elvis”, “Presley”, “Graceland”, “Rock ‘n’ Roll” dan sebagainya. Bahkan pom bensin di situ pun bernama Graceland. Hanya beberapa ratus meter saja sejak keluar dari Interstate kami sudah tiba di sebuah tempat parkir untuk wisata Elvis. Terlihat di situ sebuah pesawat terbang bernama Lisa Marie, nama puteri Elvis. Begitu turun dari bis, ziarah pertama pun dimulai.

Ruang Tamu ElvisDi lokasi yang sama dengan tempat parkir itu terdapat balai penyambutan, toko suvenir dan ruang pamer. Di situ saya membagikan tiket untuk 23 guru yang menjadi anggota rombongan saya. Setelah melihat-lihat sebentar ke toko souvenir, kami segera naik minibus biru yang menampung 25 orang yang membawa kami ke Wisma Graceland, tempat dulu Elvis “bertahta” dan kini bersemayam. Sebenarnya lokasinya hanya terletak di seberang jalan dari tempat kami membeli tiket. Saya perhatikan bahwa nyaris semua pegawai yang mengurusi kami—penjual tiket, penjaga toko, sopir bus, guide –adalah orang Afro-Amerika. Bagi saya yang tinggal di Fayetteville, sebuah kota yang komunitas Afro-Amerikanya terbilang sangat sedikit, hal ini tampak sangat menonjol. Langsung teringat oleh saya arti penting kota Memphis ini dalam sejarah Afro-Amerika. Kita akan bicarakan ini selanjutnya pada bagian berikutnya.

Maka kami pun diangkut bus ke seberang jalan, menuju Wisma Graceland. Di dalam bis, pemandu kami membagikan sebuah perangkat elektronik yang menyerupai handy talky dengan headphone. Perangkat inilah yang akan menjadi pemandu kedua kami. Dia meminta kami semua memencet tombol untuk menentukan bahasa yang akan kami pakai dan dia meminta kami semua mulai mendengarkan salam pembuka. Maka, kami pun mendapat dua pemandu: pemandu yang menunjukkan jalan kami menuju rumah Elvis dan pemandu yang menceritakan kepada kami informasi mendetail yang ingin kita peroleh tentang Elvis. Pemandu yang kedua ini sangat sabar, karena selalu mau mengulangi apa-apa yang kurang jelas bagi kita, meskipun tidak bisa menjawab pertanyaan secara langsung.

Wisma Graceland itu sendiri adalah sebuah bangunan bergaya kolonial dengan teras bergaya Eropa kekaisaran dengan empat pilar menjulang menyokong sebuah atap segitiga. Bangunannya cukup besar, tapi tidak semegah yang ada di bayangan saya saat mendengar kata “mansion” yang di sini saya terjemahkan secara santai menjadi “wisma.” Nama Graceland ini seringkali menyebabkan salah pengertian. Saya sendiri awalnya mengira Graceland itu adalah nama kawasan di mana wisma ini berdiri. Pada kenyataannya Graceland adalah nama khusus untuk wisma ini. Apa hubungan nama Graceland dengan Elvis? Sebenarnya tidak ada, karena wisma ini sendiri sudah bernama Graceland sebelum Elvis membelinya. Pemilih awalnya adalah seorang pengusaha percetakan Memphis yang memiliki putri bernama Grace. Seperti layaknya orang mendirikan toko elektronik dan memberikan nama anaknya sebagai nama toko itu, demikian juga pengusaha ini; dia beri nama wismanya ini “Graceland.” Setelah Elvis membelinya dan menambahkan bagian-bagian yang dia inginkan pada tahun 1950-an, dunia pun mengenal wisma Graceland ini sebagai istana paduka raja rock ‘n’ roll.Plat Penghargaan Elvis

Di depan teras terdapat sepasang arca singa penjaga pintu serupa dengan yang ada di bangunan-bangunan Cina, Jepang atau di candi-candi periode Jawa Tengah. Sambil mengikuti penjelasan dari pemandu, saya mendengarkan pemandu kedua di perangkat genggam saya. Di sinilah mulai terasa bahwa kata “mansion” itu mungkin telah mengalami peralihan makna. Ruangan rumah ini terasa sempit sejak di ruang tamu. Atapnya juga terasa terlalu rendah. Tidak terlihat adanya tema warna di dalam rumah ini. Di bagian depan kita mendapatkan kesan putih dan keemasan, seperti layaknya pada bangunan-bangunan elegan. Tapi sedikit saja kita menoleh kita akan melihat warna-warna lain yang terasa saling menolak. Belakangan, saya ketahui bahwa banyak orang yang mengkritik pengaturan warna dan perabot dalam Wisma Graceland ini sebagai wujud dari citarasa yang jelek.

Ada banyak ruangan unik di dalam rumah ini: ruang nonton TV yang di seluruh dindingnya tertutup sofa, ada ruang yang dikenal sebagai “ruang rimba” karena terdapat air terjun buatan dan hewan-hewan yang diawetkan, ada ruangan kreatif di mana terdapat banyak lukisan. Di masing-masing ruangan itu terdapat televisi yang memutar wawancara-wawancara dengan Elvis (kebanyakan dalam format hitam putih) yang topiknya berhubungan dengan ruangan yang bersangkutan. Elvis juga memiliki studio rekaman pribadi di dalam rumah ini. Selama berada di kawasan rumah utama ini, perasaan sempit tetap terasa di mana-mana, tentu saja perasaan ini ditambah dengan banyaknya orang yang berkunjung dan terus berjalan tanpa henti. Pengunjung yang cukup membludak pada awal liburan musim panas itu membuat kami merasa diburu-buru untuk terus berjalan. Saya memastikan anggota kelompok saya tidak ada yang tertinggal dan sesekali mengajak mereka ngobrol untuk sekadar menceritakan sedikit hal yang saya ketahui tentang Elvis atau mencuri-curi kesempatan menyanyikan lagu Elvis yang sedikit di antaranya saya hapal luar kepala.

Suasana terasa berbeda baru ketika kami meninggalkan rumah utama dan bergerak menuju sebuah rumah luar. Rumah luar ini adalah tempat Elvis menyimpan hal-hal yang berhubungan dengan olahraga luar ruangan. Tak jauh dari rumah kecil ini terdapat lapangan rumput dengan kontur menyerupai lembah di mana terdapat kuda-kuda. Elvis memang suka menunggang kuda dan ada beberapa foto yang diambil ketika dia naik kuda di halaman Wisma Graceland. Yang ini mengingatkan saya kepada Raja Dangdut kita yang juga suka naik kuda—bahkan pada kemunculan terkininya di dunia film, yaitu di film Dawai 2 Asmara, sang Raja Dangdut juga sempat beradegan naik kuda putih dengan gagah berlatarkan perkebunan teh. Ternyata berkuda merupakan elemen penting bagi para raja.
Setelah meninggalkan kawasan ini, kita bisa memasuki gedung yang memang dikhususkan sebagai museum Elvis. Di sini terdapat macam hal yang berhubungan dengan Elvis, mulai dari kopi cek sumbangan Elvis yang diberikan kepada panti-panti sosial di kawasan Tennessee dan sekitarnya, koleksi plat-plat emas dan platina penghargaan yang Elvis terima dari berbagai masa, maupun baju-baju ketat yang menjadi ciri khas Elvis, ada yang biru, hitam, putih. Saya langsung teringat istri saya yang pernah menunjukkan kepada saya satu kejadian dalam konser Elvis pada puncak kegantengan. Saat menyanyikan lagu “You’ve Lost that Loving Feeling,” ada lirik yang berbunyi “Aku akan berlutut di hadapanmu.” Ketika menyanyikan bagian itu, Elvis mulai jongkok dan menjerit “kalau saja baju ini gak terlalu ketat!” Saya tiga baju kebesaran Elvis tersebut. Baju itu besar. Kalau Elvis bilang baju itu ketat, berarti dia memang orang yang tinggi besar.

Sebelum meninggalkan kawasan wisma Graceland ini, kami semua sempat mampir ke Reflection Garden, di mana bersemayam jasad Elvis dan kedua orang tuanya. Di sini juga terdapat semacam nisan bertuliskan nama saudara kembar Elvis yang lahir mati. Baru saat itu saya tahu bahwa Elvis punya saudara kembar. Jasad Elvis sendiri sebelumnya dimakamkan di pemakaman lain, dan baru beberapa tahun kemudian dipindahkan ke Taman Renungan di wisma Graceland ini. Wisma Graceland ini sendiri sudah masuk jadi kawasan cagar sejarah kota Memphis sejak tahun 2006 dan termasuk satu dari sedikit rumah pribadi di Amerika Serikat yang paling banyak dikunjungi orang. Semoga saja itu artinya para pegawai museum Graceland ini cukup bisa hidup layak.

Baju Ketat Elvis

Di kawasan yang kini dikenal sebagai kawasan Graceland itu, Elvis seolah benar-benar masih hidup. Fotonya terpampang di mana-mana seperti halnya foto calon kepada daerah di masa pilkada. Foto Elvis ada di dinding, Elvis di pom bensin, Elvis di toko baju, Elvis di bus, Elvis di baliho, dll. Kebanyakan dari foto itu adalah foto Elvis muda, ketika berusia dua puluhan dan ketika berusia di akhir tiga puluhan. Nyaris tidak ada foto Elvis di masa akhir hidupnya. Di sini, sang raja tetap muda dan singset. Dan dia tetap menjadi raja.

Lorraine Motel: Tempat “Raja” Hak Sipil Amerika Menuju Keabadian

Keesokan harinya, tidak jauh dari tempat kami menginap di pusat kota Memphis, kami mengunjungi museum lain yang menjadi tempat penting “raja” yang lain, yaitu Martin Luther King Jr. Tempat yang kami kunjungi ini adalah kompleks Museum Hak Sipil Amerika, yang terdiri dari hotel tempat King ditembak, gedung museum baru, dan gedung museum lama yang juga bekas penginapan tempat penembak King sore itu melongok teropong sniper dan menarik pelatuk senapan laras panjang yang mengirim King menuju keabadian. Kompleks museum ini terletak di kawasan yang dulunya—sebelum pendirian museum ini—merupakan kawasan kelas bawah yang mayoritas penduduknya adalah orang Afro-Amerika. Pada masa segregasi, Lorraine Motel adalah motel kelas atas untuk orang-orang kulit hitam. Kucuran dana sebesar 9 juta dolar pada tahun 1992 akhirnya mengubah kawasan penginapan ini menjadi Museum Hak Sipil Nasional. Selanjutnya, pemukiman-pemukiman murah di sekitarnya pun dipugar dan diubah menjadi kondominium-kondominium mahal.

Kamar King AbernathyDari jalan raya, yang tampak pertama kali adalah plang Lorraine Motel dengan desain khas aslinya seperti pada tahun 1960-an. Desainnya mengingatkan saya kepada tanda selamat datang di Las Vegas yang sering ditampilkan dalam film-film tentang Las Vegas: tiang logam persegi lempengan berbentuk seperti huruf U terbalik dengan warna toska, tulisan “Lorraine” bergaya latin (miring bersambung) dan tulisan “Motel” yang masing-masing hurufnya berlatarkan lingkaran putih. Mungkin desain tanda jalan seperti ini cukup populer pada masa 50-an dan 60-an.

Seorang pemuda Afro-Amerika berusia tiga puluhan dengan rambut panjang dan kaos biru dongker santai datang menyambut kami. Dia mengajak kami masuk ke balai pertemuan yang katanya akan menjadi bagian baru Museum Hak Sipil Nasional ini. Dia ceritakan tentang kejadian-kejadian penting selama masa pergerakan hak sipil di selatan Amerika, sebuah upaya yang akhirnya menumbangkan sistem hukum yang dikenal dengan Hukum Jim Crow di kawasan Selatan Amerika. Hukum Jim Crow ini bisa dibilang versi Amerika dari apartheid, di mana perlakuan terhadap orang-orang kulit berwarna sangat berbeda dengan perlakuan untuk orang-orang kulit putih, mulai dari toilet umum, tempat duduk di bus, sampai layanan makan di restoran. Di akhir ceritanya, dia putarkan kami film dokumenter singkat tentang gerakan Hak Sipil Amerika pada awal paruh kedua abad ke-20.

Sedan RaySetelah tanya jawab sekilas, kami pun melihat-lihat sekeliling balai pertemuan itu. Di sana terdapat lembar-lembar buku raksasa yang setiap lembarnya merupakan profil tokoh-tokoh kebebasan perempuan Afro-Amerika yang dalam buku-buku raksasa ini disebut Freedom’s Sisters. Di antara mereka terdapat aktivis hak sipil Rosa Parks, novelis Toni Morrison, Betty Shabbaz (istri almarhum Malcom X, tokoh pergerakan sipil yang ikut membesarkan Nation of Islam dan juga teman dekat petinju Muhammad Ali), dan beberapa lainnya. Melihat patung Rosa Parks di lokasi gugurnya Dr. King, saya langsung teringat sebaris syair dari lagu “Welcome to the Future” karya penyanyi country Brad Paisley yang juga berasal dari Tennessee. Lagu ini merupakan ungkapan ketakjuban karena banyak hal yang dulu seolah mustahil kini menjadi wajar, mulai teknologi smartphone yang memungkinkan kita bermain game tanpa harus pergi ke pusat hiburan hingga adanya presiden Amerika berdarah Afrika. Dalam lagu ini, Paisley menanyikan “I thought about him today (“him” mengacu kepada temannya yang menjadi sasaran rasisme pada masa kecil Brad Paisley) and everybody who who’seen what he’s seen, from a woman on a bus and a man with a dream.” “Wanita di bus” dalam lirik ini tentu saja mengacu kepada Rosa Parks yang menolak menyerahkan kursinya kepada orang kulit meskipun dia duduk di bagian orang kulit pada masa segregasi. Sedangkan “Lelaki yang bermimpi” pastinya mengacu kepada Martin Luther King, Jr. yang pernah memberikan orasi terkenal bertajuk “I Have a Dream” (bukan yang dinyanyikan Westlife!) di mana dia mengatakan “Aku mengimpikan bahwa kelak keempat anakku akan dinilai tidak berdasarkan warna kulitnya tapi berdasarkan budi pekertinya.”

Kami kemudian memasuki kawasan utama museum, di mana terdapat banyak poster, grafik, tabel dan sejarah perkembangan Hak Sipil di Amerika. Selain itu, ada juga daya tarik yang tak kalah pentingnya, yaitu segala hal yang berkaitan dengan penembakan Dr. King. Di sini bisa kita lihat kamar yang diinapi oleh James Earl Ray, orang yang ditangkap dan dijebloskan ke penjara sebagai penembak King. Di dalam museum ini juga terlihat mobil Ford Mustang putih yang dikendarai oleh Ray selama masa sebelum dan sesudah penembakan King. Dari jendela kamar mandi di penginapan ini bisa terlihat balkon di depan kamar 306 Lorraine Motel di mana King terhajar peluru yang ditembakkan dari senapan laras panjang Remington dengan teropong sniper yang dibeli Ray dengan nama samaran. Kamar mandi tersebut dijaga semirip mungkin dengan aslinya. Pengunjung museum hanya bisa melihat dari balik kaca tebal yang mengitari kawasan kamar mandi itu.

Menurut versi sejarah resmi, pembantai King adalah James Earl Ray. Beberapa saat setelah Dr. King tumbang bersimbah darah, Ray dilaporkan kabur dari penginapannya. Di situ ditemukan binokular dan senapan berburu Remington yang jelas-jelas dipenuhi sidik jari Ray. Setelah perburuan yang gencar, dua bulan kemudian Ray tertangkap di sebuah bandara, setelah melakukan perampokan bank, dan dalam upaya kabur mencari hidup baru di Afrika. Atas saran pengacaranya, Ray mengakui melakukan penembakan tersebut untuk menghindari sidang dengan juri, yang bisa-bisa menyarankan hakim agar mengganjar Ray hukuman setrum hingga mati. Dia pun dikenai putusan penjara 99 tahun. Tahun 1998, setelah “baru” tiga puluh tahun mendekam di penjara, Ray meninggal karena Hepatitis C.

Di museum Hak Sipil ini, kita bisa melihat senapan laras panjang yang dipakai oleh Ray, peluru yang menembus pipi dan meremukkan tulang belakang Dr. King, sekaligus sepotong setelan milik Ray. Tapi, tentu saja dunia tidak dengan mudah percaya bahwa seorang penjahat karir bisa punya kebencian dan sifat rasis yang sedemikian rupa hingga ingin membunuh seorang tokoh penting, pejuang HAM, peraih nobel, dan pendeta. Banyak bergulir teori konspirasi di balik kematian King, salah satunya adalah teori yang melibatkan tentara, CIA dan FBI. Tapi tetap saja, hingga kini hanya terdapat bukti-bukti nyata yang mendukung versi sejarah resmi yang menyatakan bahwa Ray adalah seorang rasis berdarah dingin, membunuh King dari sebuah kamar kontrakan, memakai senapan Remington, dan kabur mengendarai Mustang putih. Dan itulah yang menjadi salah satu daya tarik utama museum Hak Sipil ini.

Lorraine MotelTempat terakhir yang kami kunjungi adalah Lorraine Motel yang wujudnya dipelihara agar persis seperti ketika King ditembak pada senja hari tanggal 4 April 1968 itu. Di halaman parkir motel terlihat dua sedan putih, Dodge dan Cadillac keluaran tahun 60-an, modelnya mirip dengan tokoh Ramone dan Flo dalam film animasi Pixar Cars. Motel ini purna tugas sebagai motel pada tahun 1992. Halaman parkirnya sudah diberi pagar mepet dengan kedua mobil putih tersebut, sehingga mustahil mobil itu bisa keluar dari kawasan tersebut. Pengunjung bisa menaiki tangga menuju balkon lantai dua dan bahkan melongok ke kamar 306 yang pada tanggal 4 April itu dipakai menginap King dan sahabatnya Ralph Abernathy.

Ketika penembakan itu terjadi, King tengah berada di Memphis untuk turut serta dalam demonstrasi memperjuangkan nasib pegawai kebersihan kota yang keadaannya mengenaskan. Sehari sebelum penembakan, King memberikan pidato yang terkenal dengan sebutan “Aku Pernah ke Puncak Gunung.” Inti dari pidato ini adalah menggalang semangat dan menyatukan tekad semua orang untuk mendukung demonstrasi demi kesejahteraan petugas kebersihan kota. Dalam pidatonya tersebut, King menyatakan bahwa kalau Tuhan memberinya pilihan masa untuk hidup, dia tidak akan memilih masa-masa yang tercatat dalam kitab suci dan sejarah, dia tidak juga memilih hidup bersama orang-orang besar Yunani seperti Plato dan Aristoteles, tapi dia akan memilih hidup di masa kini karena masa ini akan menjadi saksi perubahan besar umat manusia. King, yang empat tahun sebelumnya telah menerima Nobel perdamaian (penerima Nobel perdamaian termuda dalam usianya yang ketika itu masih 35 tahun), malam 3 April itu menginap di sebuah motel berbagi kamar dengan Ralph Abernathy. Hidupnya kira-kira tak terlalu jauh dengan orang-orang yang diperjuangkannya. Di antara berbagai profesi yang bisa dia pilih, dia juga telah memilih menjadi pendeta, melanjutkan karir bapaknya yang juga pendeta. Dia sadar sepenuhnya potensi agama dalam membangkitkan semangat manusia dan janji agama bahwa semua manusia itu berkedudukan sama.

Dukungan yang dia berikan kepada para petugas kebersihan kota Memphis itu adalah dukungan kesekian yang dia berikan dalam berbagai perjuangan hak asasi manusia. Dia turut serta dalam demonstrasi yang dikenal dengan Boikot Bus pada tahun 1955, yang mendukung keberanian Rosa Parks dalam menuntut haknya untuk duduk di bus. Dia juga terlibat demonstrasi yang mendukung kesetaraan dalam pelayanan di restoran di North Carolina pada tahun 1960. Berulang kali King masuk penjara karena demonstrasi-demonstrasi yang dia galang atau ikuti. Salah satu pemikiran pentingnya tertuang dalam Surat dari Rutan Birmingham yang dia tulis ketika dia ditahan di kota penting di negara bagian Alabama tersebut pada tahun 1963. Setelah kematiannya, dokter yang melakukan otopsi mengatakan bahwa meskipun usianya baru 39 tahun saat gugur, jantung King seperti jantung orang berusia 60-an, yang menurut dokter itu disebabkan oleh tekanan batin yang dia alami selama melakukan perjuangan-perjuangan tersebut.

Kita bisa lihat sekarang, gugurnya di Lorraine Motel tersebut tidak berarti matinya King untuk selamanya. Jasadnya memang tidak bisa lagi berorasi. Tapi King menjadi abadi. Dia tetap menjadi semangat perjuangan hak sipil. Orang-orang terus kembali membaca pidato maupun surat-suratnya. Sebagian orang mencari kembali semangat-semangat penting dalam pidato King. Di Amerika, banyak buku retorika maupun menulis yang menjadikan pidato maupun surat-surat King sebagai contoh retorika yang efektif, yang bisa menyampaikan gagasan dengan gamblang sekaligus membakar semangat pendengar/pembacanya. Gayanya yang khas, memulai dengan pertanyaan dan kemudian menggiring munculnya jawaban, menjadi satu sumber penting dalam buku menulis They Say, I say: The Moves that Matters in Academic Writing. Kematian yang membawa keabadian ini mirip dengan Obi Wan Kenobi yang musnah ketika ditebas pedang sinar Darth Vader. Tapi, meskipun jasadnya tak bisa lagi melakukan apa-apa, dia tetap hadir di kehidupan Luke Skywalker dan tetap mengajarinya tentang kehidupan dan terus menyiapkannya untuk menjadi kesatria Jedi yang kelak memimpin jagad Star Wars.

King Elvis dan Dr. King: Berbeda Tetapi Abadi Jua

Dalam perjalanan pulang saya tak henti memikirkan betapa kedua raja itu tidak benar-benar mati. Mereka berdua saat ini tetap hidup tapi dengan caranya sendiri-sendiri. Elvis tetap hidup di dunia hiburan dan terutama kota-kota seperti Memphis dan Las Vegas (di mana kita bisa temukan kapel-kapel kecil yang memberikan layanan catatan sipil yang menikahkan kita dengan seorang berdandan gaya Elvis sebagai “pendeta” yang meresmikan pernikahan kita). Bisa dibilang, Elvis hadir di mana-mana sebagai gambar orang gabteng dan suara selembut platina. Di Memphis, wajah ganteng Elvis dengan mata yang dia sipitkan bisa ditemui di mana-mana. Seolah memang tampak permukaan saja. Tapi di balik yang permukaan ini, siapa saja tahu berapa banyak keluarga yang hidupnya bergantung pada menjual kehidupan kedua Elvis. Jasad Elvis sudah melebur dengan bumi. Tapi sebagai raja dia tetap memberi kemakmuran bagi para abdi dalemnya.

Sementara itu Dr. King tetap diingat orang di seluruh Amerika dan dunia. Dia konversi agama Kristen dari gagasan menjadi energi yang menggerakkan tangan dan hati orang-orang kulit hitam di negara-negara bagian Selatan Amerika Serikat. Amerika memiliki hari libur nasional bernama Hari Martin Luther King, Jr. yang setiap tahun jatuh pada hari Senin kedua bulan Januari. Pemikirannya dikutip di mana-mana dia dia sendiri diacu di berbagai film atau lagu, termasuk lagu “Welcome to the Future” itu. Ketika Obama menjadi presiden Amerika, orang langsung mengingat Dr. King yang pernah mengimpikan kesetaraan umat manusia—sebuah gagasan yang dijanjikan oleh proklamasi kemerdekaan Amerika tapi hingga masa itu belum sepenuhnya dijalankan di lapangan maupun di atas kertas. Maka, ketika tahun 2008 Barrack Obama terpilih menjadi presiden ke-44 Amerika Serikat, Brad Paisley menyeru dalam lagunya “Hey, hey, wake up Martin Luther! Welcome to the future.”

King Elvis mengayomi rakyatnya di Memphis, dan Dr. King terus mengajari kita tentang arti penting kesetaraan yang harus diperjuangkan. Ketika pada hari kedua itu bus saya menyeberangi lagi sungai Mississippi dan memasuki negara bagian Arkansas, saya bayangkan saya menyeberangi sungai Nil, meninggalkan Memphis ibu kota Mesir Kuno. Tapi sebentar saja saya hapus pikiran itu. Seperti Dr. King, kalau disuruh memilih hidup di zaman Firaun dan bertemu dengan para Firaun yang terkenal dan diceritakan kitab-kitab suci atau hidup di zaman sekarang, saya pasti akan memilih hidup di zaman ini, ketika seorang raja tanpa mahkota benar-benar bisa mengubah gerak zaman, menyerukan–senada dengan pembukaan konstitusi kita–bahwa “[perbudakan] di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan pri-kemanusiaan dan pri-keadilan.” Sebuah seruan yang harus terus didengungkan meskipun secara literal sudah dijalankan hampir seratus tahun, ketika perbudakan dianggap ilegal di Amerika sejak masa perang sipil. Saya memilih zaman ini karena di zaman ini seorang Raja menghibur rakyatnya, menyanyikan lagu-lagu cinta dan ceria yang membuat hati berbunga. Raja ini juga tetap menghibur rakyatnya bahkan setelah dia tanggalkan baju kebesarannya untuk masuk ke dalam peti kayu dan dikubur di halaman rumahnya. Monarki sudah tidak laku lagi, tapi monarki ala Memphis ini harus tetap lestari .

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *