Bisbol, Musik dan Selingan-selingannya

Bisbol, Musik dan Selingan-selingannya

Lagi-lagi, nasib baik jatuh ke tangan saya ketika Jimmy, seorang karyawan di tempat kerja musim panas saya, menawari tiket VIP nonton bisbol di stadion Arvest Ballpark, Springdale, Arkansas. Karena anak istri saya males berangkat, saya pun pergi dengan Albert, seorang penggemar dan penggemar olahraga, sekaligus seorang fotografer–nah, tak promosino, Bert!

Saya sendiri baru beberapa bulan yang lalu mulai kenal aturan permainan bisbol. Saya pertama kali tahu soal bisbol ini dari game Wii. Kemudian, waktu saya mengantarkan anak-anak Fulbright nonton bisbol, saya duduk bersebelahan dengan salah seorang Fulbrighter dari Lesotho yang, menurut pengakuannya, adalah penggemar dan pemain bisbol di negaranya. Dari situlah banyak saya dengar hal-hal menarik soal bisbol.

Kembali lagi ke soal tiket VIP, kali ini saya pergi nonton bisbol dengan Albert, seorang teman dari Indonesia yang sepertinya penggemar olahraga tulen. Dia main basket dan nonton American Football. Dan dia juga suka bisbol. Jadinya, saya jadi ketularan tahu lebih banyak lagi soal olahraga bisbol yang konon merupakan “hobinya orang Amerika” ini.

Dari nonton bisbol yang pertama dulu, saya tahu bahwa permainan ini sebenarnya cukup membosankan dan sangat banyak selingan. Sebentar-sebentar permainan berhenti dan kamerawan beserta kru TV mendekati penonton, mewawancarai, mengajak salah seorang anak dari penonton untuk turun ke lapangan dan melakukan game-game sederhana. Semua game ini ditayangkan di monitor raksasa di satu sudut lapangan. Tentu saja tontonan ini disiarkan di TV. Saya juga lihat orang-orang bersliweran ke sana-ke mari. Sebentar membeli soda, sebentar membeli keripik, sebentar membeli nachos, sebentar beli hotdog, dll. Selama pertandingan, musik juga terdengar hanya sepotong-sepotong. Pikiran saya waktu itu, bisbol ini benar-benar permainan yang penuh selingan dan tidak fokus.

117_2149

Kali ini, dari Albert saya tahu tentang satu hal, tentang musik yang hanya sepotong-sepotong itu. Ternyata, sebelum pertandingan setiap pemain boleh menyerahkan daftar lagu-lagu kegemarannya. Masing-masing pemain, saya bayangkan, punya lebih dari lima lagu di daftarnya. Nah, ketika pertandingan berlangsung, saat seorang pemain memegang pentungan siap menggampar bola, komentator/operator memainkan lagu favorit pesanan sang pemain. Makanya, tidak heran kalau lagunya hanya sepotong-sepotong. Lha wong orang mukul bola itu hanya butuh tidak sampai satu menit mulai dari memegang pentungan sampai bola terlontar dari tangan pengumpan.

Jadi, selama pertandingan itu kita bisa menikmati musik dari berbagai genre. Ada lagu-lagu jazz dari tahun 60-an. Lagu swing. Lagu rock. Alternative. (Ada pemain yang kebetulan suka lagunya Blur “Song 2″: I got my head checked, by a jumbo jet, it wasn’t easy, it wasn’t easyyyyyyyyyyyyy”). Dan banyak pula pemain yang telah memesan lagu-lagu rap.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *