Seharian kemarin, saya berkesempatan ke St. Louis Zoo, kebun binatang gratis di kota St. Louis negara bagian Missouri. Tapi ya, tentu saja tidak semuanya gratis–seperti klise yang sering kita dengar: “There’s no such thing as a free lunch in USA.” Ada bagian-bagian kebun binatang yang berbayar, tapi itu pun sebenarnya tidak terlalu mahal: cuma $10 sepanjang hari untuk semua hiburan yang berbayar. Tapi ya, yang namanya kebun binatang besar, melihat yang gratis-gratis pun sudah cukup bikin capek. Saya tentu milih yg gratis. Ada dua hal yang sangat menarik perhatian saya dari kunjungan kemarin itu: Sumbangan Dana dan Sumbangan Tenaga.

Di bagian pintu masuk kebun binatang, kami disambut sejumlah informasi dan segala hal yang mempersiapkan kita memasuki kawasan kebun binatang. Salah satunya adalah seorang bapak memakai rombi biru dengan kulit/bulu binatang di sebuah meja di hadapannya. Saya mendekat dan melihat, ternyata kulit/bulu itu diambil dari mamalia di kawasan Missouri yang sudah mati. Yang langsung saya kenali adalah kulit armadilo yang mirip treggiling itu. Ada juga pola bulu binatang yang saya kenali tapi agak asing: sigung atau skunk. Warnanya coklat dan putih, tidak putih dan coklat seperti yang biasa kita lihat di tivi-tivi atau kita lihat di jalan dari agak kejauhan. Menurut bapak rompi biru itu, “Seperti halnya manusia yang kulitnya bermacam-macam, skunk juga bermacam-macam jenis bulunya. Seperti kucing saya yang dari jauh warnanya kelihatan hitam meskipun kelihatan coklat, skunk ini juga begitu: dari jauh memang semua kelihatan putih dan hitam, padahal sebenarnya kalau didekati banyak yang berbulu coklat gelap dan hitam.” 

Yang menarik sebenarnya bapak rompi biru itu sendiri: di dadanya ada keplek–atau name tag–yang bertuliskan “volunteer” atau relawan. Saya tanya:

“Njenengan sudah lama jadi relawan, Pak?”

“Lumayan, Dik. Saya dulu guru biologi, terus setelah pensiun ke sini jadi relawan.”

“Oh, begitu ya, Pak?”

“Iya, Dik. Saya senang ngajar, tapi lebih senang lagi seperti ini: ngajari anak-anak (dan orang tuanya) tanpa harus ngoreksi dan ngasih mereka nilai seperti kalau di kelas itu. Jadi ya ini sangat asyik,” kata Pak Chuck.

Di tempat lain di kebun binatang ini, saya juga melihat relawan-relawan lain yang ikut membantu operasional kebun binatang St. Louis ini. Ada seorang ibu yang menjaga kubah kupu-kupu, sebuah konstruksi berbentuk kubah yang menjadi tempat tinggal berbagai spesies kupu-kupu.

Memang, volunteering adalah satu kegiatan yang sangat lazim di masyarakat Aa Syam ini. Ya, masuk akal lah. Untuk masyarakat di mana banyak orang yang kebutuhan hidupnya sudah tercukupi sementara banyak pekerjaan yang bisa dibilang tidak harus dikerjakan oleh profesional di bidangnya, volunteering bisa menjadi kegiatan yang wajar. Lihat saja Pak Chuck ini. Dia pensiun dari mengajar dan di kotanya ada kebun binatang gratis yang (sesuai dengan kodratnya sebagai fasilitas gratis) selalu siap menerima sumbangan bantuan dari siapa saja.

Di kampus saya sendiri, saya pernah ikut sebuah acara yang digagas untuk mengucapkan terima kasih kepada sebuah keluarga yang memberi sumbangan ke kampus. Saya lupa apa sumbangan itu pastinya. Yang jelas kampus sangat berterima kasih dan mendapat banyak manfaat dari sumbangan itu, sampai akhirnya bikin acara yang intinya adalah mengajak para mahasiswa untuk menyatakan apresiasi atas sumbangan itu dan menuliskan apresiasi mereka di sebuah kertas panjang. Kalau tidak salah bantuan itu berupa beasiswa buat mahasiswa-mahasiswa tertentu.

Yang ingin saya soroti dari acara di kampus itu adalah pidato pak Rektor saat itu. Pak Rektor bilang:

“Filantropi (atau tindakan beramal bagi masyarakat–yang biasanya jumlahnya cukup besar) adalah sebuah kegiatan yang khas Amerika. Di sini, kita lihat banyak orang kaya beramal. Bahkan yang tidak kaya pun banyak juga yang beramal. Ya, yang memiliki banyak uang bisa beramal dengan uang mereka, seperti keluarga XXX ini. Sementara itu, yang bukan milyuner pun bisa beramal dengan menyumbangkan tenaganya melalui volunteering atau menjadi relawan.”

Saya ingat betul inti dari pidato itu, dan saya sering kali mengingat-ingat dan mencari apa yang bisa dikritisi dari pidato tersebut. Mungkin dalam hati saya tidak ikhlas mendengar ucapan bahwa filantropi itu “khas Amerika.” Dan tentu saja saya sudah pernah melihat sendiri bagaimana di Indonesia pun banyak orang kaya yang menyumbangkan uangnya untuk orang yang tingkat ekonominya di bawah mereka. Lihat saja perusahaan Jamu Jago yang tahun 2013 ini menyediakan 75 bus untuk mudik orang-orang Jawa Tengah yang kerja di Jakarta. Itu satu contoh saja.

Tapi memang sih, di Amerika ini urusan filantropi ini sudah terstruktur dan terinstitusionalisasi. Maksud saya terinstitusionalisasi bukan dalam artian diwajibkan, tapi diakomodir oleh sistem perekonomian secara menyeluruh. Saat kita menyumbangkan uang, sekecil apapun, kita bisa mendapatkan tanda terima yang berguna saat tiba saatnya menghitung pajak pendapatan. Uang yang kita sumbangkan itu menjadi penghasilan yang tidak akan kena pajak. Di kota saya sendiri, ada seorang kontraktor dan pengusaha properti yang sangat sukses. Asalnya dari Palestina. Dia “menyumbangkan” tenaga dan waktu untuk membangun mesjid kami. Jadi, jamaah mesjid mengumpulkan dana untuk membeli bahan bangunan dan lahan, dan brother dari Palestina ini menyumbangkan jasa mengubah bahan baku dan lahan itu menjadi mesjid. Dalam hal ini, dia menyumbangkan tenaganya dan tentu saja uang untuk menggaji para pegawai di perusahaan kontraktornya itu. Seorang teman saya yang termasuk anggota Dewan Mesjid memberi tahu saya sendiri bahwa biaya yang dia keluarkan untuk membayar para tenaga dan menjalan permesinan selama pembangunan itu mencapai beberapa ratus ribu dolar, dan nilai itu memang harus disebutkan untuk mendapatkan bukti pembebasan pajak pendapatan atau istilahnya tax exemption.

Omong-omong, brother kontraktor asal Palestina ini juga yang beberapa tahun setelah menyumbang pembangunan masjid itu juga menyumbang pembangunan sebuah sinagog. Bayangkan, dia orang Palestina, sebuah bangsa yang tanahnya direbut dan diduduki oleh orang-orang Yahudi (kebanyakan dari Eropa Timur dan Amerika Serikat), tapi mau menyumbangkan uang dan tenaga dan waktu untuk membangun tempat ibadah orang-orang Yahudi. Tentu di sini ada kesadaran bahwa orang Yahudi kultural dan Yahudi relijius itu tidak bisa begitu saja disamakan, atau istilah kerennya digebyah uyah. Sumbangan pembangunan sinagog oleh oleh Palestina ini merupakan isyarat yang cukup menggetarkan, sampai-sampai seorang teman saya yang lain menjadikannya film dokumenter yang memenangkan sebuah penghargaan. Kalau ingin melihat dokumenter itu, silakan klik di sini.

Kembali soal kebun binatang St. Louis tadi: kalau tadi di awal postingan ini saya mulai dengan orang-orang yang menyumbangkan tenaganya untuk ikut mengoperasikan kebun binatang tersebut, sekarang saya mau menunjukkan orang-orang kaya yang menyumbangkan uangnya untuk kebun binatang tersebut.

Sejak awal saya bilang bahwa sebagian besar atraksi di kebun binatang St. Louis ini gratis. Setelah berkeliling, saya jadi mulai memahami kenapa kebun binatang sebesar ini dengan atraksi sebanyak ini bisa sampai gratis: banyak atraksi yang ditawarkan yang sebenarnya adalah sumbangan dari orang-orang kaya. Ada sebuah wahana singa laut berisi beberapa keluarga singa laut yang gratis dan tetap buka selama musim dingin ini. Wahana ini sepenuhnya merupakan sumbangan. Tak cuma singa laut dan bangunan akuarium yang dipakai para penonton saja yang merupakan sumbangan, bahkan karya seni yang menjadi hiasan di dinding pun merupakan sumbangan.

Hal-hal yang sama juga saya temukan di berbagai wahana lain, seperti misalnya wahana pusat serangga di mana kita bisa temukan berbagai jenis serangga, mulai dari yang eksotis dan hidup di alam, hingga yang tidak eksotis dan hidup di sekitar kita seperti nyamuk, lalat, sampai kutu rambut.

Sementara demikian dulu saudara-saudara sidang jamaah blog yang saya muliakan. Semoga sebentar lagi, saya ada kesempatan untuk meng-update postingan ini dengan foto dan video. Saat ini masih tidak memungkinkan karena status saya masih musafir.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *