Ini adalah komentar saya atas postingan Saut Situmorang di grup facebook “Apresiasi Sastra.” Postingan Saut Situmorang tersebut adalah link ke blognya yang berisi puisi ini (maaf, saya tidak bisa temukan blog saut dari google, jadi saya kasih link itu saja sebagai gantinya–isinya sama kok). Di postingan grup Apresiasi Sastra itu Saut Situmorang bilang bahwa puisinya ini bukan puisi-esei tapi puisi-asoy. Ini komentar saya:
mungkin memang puisi esei, kalau batasannya diperlebar. misalnya kalau kita definisikan bahwa puisi ini adalah upaya menawarkan cara pandang (personal) yang baru dalam memposisikan hubungan antara aku lirik dan “yg maha penting”). dan memang menurut saya puisi ini sangat bisa menggambarkan kedudukan antara persona dan “tuhan”nya lewat penggunaan huruf kapital. kurang esei apa coba tulisan personal yg mempersoalkan hubungan antara manusia dan tuhan? hehehe.
saya cenderung menafsirkan penggunaan huruf kapital untuk kata ganti dlm puisi2 sampean itu berkaitan dengan posisi “yg maha penting” atau “yg maha prioritas.” sepembacaan saya, dalam puisi-puisi ini, “yg maha prioritas” itu bukan lagi tuhan–seperti lazimnya dlm teks-teks berbahasa Indonesia, dlm puisi kebanyakan penyair indonesia, atau dalam dalam kehidupan org beragama.
dalam puisi-puisi sampean (khususnya yg di otobiografi), yg maha prioritas itu bisa berupa lawan bicara (kekasih, mungkin), sebotol bir, atau bahkan si aku sendiri–lebih tepatnya si Aku. intinya, segala sesuatu yang dipuja akan selalu mendapatkan kehormatan kata ganti dengan huruf besar: “dadaMu,” “tubuhMu,” “alisMu,” dan langitKu.”
khusus dalam puisi “cinta, dalam retrospektif alkohol akhir tahun” ini, hubungan antara persona dan “yg maha prioritas” itu semakin logis saja. biasanya, hubungan seperti ini disertai asumsi bahwa si persona–atau manusia–berada pada posisi yg lemah dan “sang maha prioritas” yang memegang kendali. hal itu juga ada dalam perumpamaan-perumpamaan di puisi ini. lihatlah, pertama, bagaimana si aku “ingin tersesat di labirin birahi garis tubuh(Nya). tentu saja tersesat artinya hilang kendali atas orientasi. dan di sini si aku menginginkan ketersesatan itu. atau, kedua, bagaimana dia menggambarkan kedudukannya itu tak ubahnya “perahu kertas yang dihanyutkan bocah iseng di kali.” tentu saja, perahu kertas yg hanyut di kali ini tidak akan menemukan keselamatannya. tidak ada harapan lagi; lha wong si bocah juga iseng-iseng saja (btw, ini perahu kertas yg dilayarkan bocah sapardi kah?). atau, yg lebih jelas lagi ketika dia menyamakan dirinya layang-layang yg “meliuk di ujung jari bocah di tanah lapang itu.” semua perumpamaan ini seperti menegaskan begitu rendahnya diri si aku ini di hadapan “Dia.”
tapi, uniknya, posisi maha prioritas itu dalam puisi ini (dan puisi-puisi sampean yg lain) tidak hanya terpacak pada satu obyek saja. si persona sendiri juga “membahasakan” (terjemahan sementara dari boso jowo “mbasakne”) dirinya sendiri dengan huruf kapital. “pelangi mimpi sepiKu” atau “langit perkasaKu” atau “birahuKu” dan lain-lain. di divisi ini, saya mau menafsirkan bahwa “yg maha prioritas” di dunia puisi-puisi ini tidak hanya satu; ada Dia dan ada Aku. jelas-jelas ini bukan puisi yg berpandangan seperti puisi-puisi sapardi. di karya-karya sapardi dan di teks-teks bahasa Indonesia secara umum, Dia, Kau, dan bahkan Aku merupakan kata-kata ganti untuk Tuhan. dalam puisi “cinta, dalam retrospektif alkohol akhir tahun” ini, Dia dan Aku adalah berbeda. atau, “yg maha prioritas” di dalam puisi ini tidak hanya satu atau, dalam bahasa teknis, dunia dalam puisi ini tidak monoteistik.
terus apa hubungannya dengan kehidupan? nah, ini lompatan yg jauh, tapi saya harus melakukan itu, daripada dituduh membuat genre baru komentar-esei :)). ya, menurut saya cara pandang terhadap “yg maha prioritas” dalam puisi bisa dibilang mencerminkan kehidupan kontemporer. “yg maha prioritas” bukan lagi tuhan. saat seseorang memuja kekasihnya, pada momen terjadinya “pemujaan” itu yg maha prioritas adalah si kekasih. saat kita sedang memuaskan hasrat kita main PS, misalnya, yg menjadi sang maha prioritas adalah kita sendiri. saat kita menulis esei yg menyanjung-nyanjung puisi-esei karena dapat bayaran, misalnya, yg menjadi sang maha prioritas adalah dan seterusnya dan seterusnya. puisi “cinta, dalam retrospektif alkohol akhir tahun” ini mungkin hanya menjadikan vulgar sesuatu yg kita ingkari.
nah, kalau dipandang sebagai satu upaya memproblematisasi sebuah pokok dari sudut pandang individu, maka jadilah puisi ini esei yg berbentuk puisi. 😛
terakhir, komentar intermezzo: gabungan antara bulan, basah, kekasih yg absen, bir, dan kendlosoran spiritual (hahaha), puisi ini memberikan imaji yg mirip lagunya slank “Anyer 10 Maret.” cobak deh baca puisi ini sambil dengar versi asli dari album “Piss” yg ada suara ombak, jangkrik dan kibordnya IndraQ bersahut-sahutan dengan lolongan gitar Pay dan parau putus atas Kaka saat teriak “tanpa dirimu ada di sisiku aku bagai hiu tanpa taring.” cocok iwak ndog ganok ri-ne, iwak ri ganok daginge!”