Smartphone terhunus, buas, kau lampiaskan cinta kepada warna
yang tersaput pada mapel, sikamor, poplar. Lupa sejenak,
cukup sejenak: setiap musim adalah musim gugur.

Lalu kauingat, saat tiba selfie: bagimu, summer telah berlalu
kini ada helai-helai rambut di lantai kamar mandi
dan dental floss menari liar di sela gigi.

Seperti Narsisis, kau bujuk dirimu: tak ada yg perlu disesali
karena entah di sebelah mana kau memendar warna,
jingga-emas, meski abu-abu mengetok pintu.

Kau lihat dirimu semarak warna, lupa gugurnya;
kau lihat dingin menggigit musim, menghalau gerah.

Kau ingat ada yang gugur bahkan tanpa berubah warna;
kau ingat yang meranggas, bahkan tanpa menguncup daun;
kau mendengar bumi gerah, abadi, tanpa janji musim berganti.

Maka, dalam selfie yang kini abadi, kau malu sendiri mendapati dirimu,
menyembunyikan gejala kebotakan membayang dan gigi yang merenggang.

2 thoughts on “(Puisi) Selfie Abadi”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *