Saya tidak terlibat sama sekali dengan Frankfurt Book Fair. Tapi saya tertarik juga mengetahui lebih jauh tentang pameran buku itu, dan tertarik juga mengetahui bahwa sebenarnya pemerintah kita menggelontorkan dana sampai 147 miliar rupiah untuk mempersiapkan keikutsertaan dan membayar pemberangkatan tokoh-tokoh perbukuan Indonesia ke acara itu. Banyak hal yang patut dipertanyakan terkait kehadiran Indonesia di Frankfurt Book Fair ini, tapi sepadankah kritikan yang diajukan kepadanya, seperti misalnya tulisan Aninditya S. Thayf?

Anindita S. Thayf menuliskan di sebuah esay yang baru-baru ini dimuat di Koran Sindo bahwa Frankfurt Book Fair tak lebih dari pasar buku yang digerakkan oleh kapitalisme, dan selain kapitalisme salah satu penggerak besar festival buku tersebut adalah hasrat orientalisme yang bergerak di sana. Bagi Anin, FBF adalah proyek orientalisme yang mendatangkan monyet “yang sudah diadabkan” ke barat untuk dijadikan tontonan. Ada tiga hal yang menjadi tontotan dari para monyet ini, menurut Anin: eksotisme, misteri, dan horor. Eksotisme baru itu adalah makanan, misterinya adalah keserbasamaran G30S, dan horornya juga terkait G30S dan buku Cantik Itu Luka yang dianggap masih mempercayai takhyul. Pendeknya, Anin mampu dengan sangat tegas menunjukkan borok-borok FBF tanpa repot-repot menunjukkan apa-apa yang mungkin bisa dianggap positif dari pasar buku ini.

Apakah argumen orientalisme atas Frankfurt Book Fair ini cukup kuat?

Memang meyakinkan bahwasanya FBF adalah sebuah pasar, ajang jual beli buku. Memang banyak penerbit dari dunia yang datang ke FBF untuk memperkenalkan produk-produknya yang mungkin bisa dijual royaltinya ke penerbit-penerbit dari negara asing. Memang demikianlah sifat asli dari sebuah pameran, untuk menunjukkan dan kemudian memperjual belikan apa-apa yang telah ditunjukkan itu. Bagi orang-orang yang ingin memasarkan buku-buku mereka untuk kemudian dijual di negara lain, memang ini adalah cara yang mudah. Bayangkan, daripada menulis email ke banyak penerbit dari berbagai belahan dunia untuk menerbitkan buku-buku tertentu, kita tinggal jalan keliling menjajakan buku kita, seperti yang dilakukan Sigit Susanto dan Matt yang menjajakan buku Grave Side Ritual (kumpulan cerpen para peserta milis Apresiasi Sastra dari beberapa tahun yang lalu).

Namun, kalau diskusinya sudah diarahkan ke ranah orientalisme, saya jadi mempertanyakan beberapa hal yang disodorkan Anin dalam esainya tersebut. Memang, kalau melihat orientalisme dalam artian klasik, ada beberapa implikasi utama dari orientalisme ini: adanya pandangan bahwa Barat dan Timur itu secara hakiki berbeda hanya karena lokasinya saja, adanya pandangan bahwa Timur tidak dapat menyuarakan dirinya sendiri, dan pada akhirnya Barat bisa menjustifikasi proyek kolonialisme yang dia lakukan karena pada dasarnya proyek itu mulia, membantu memberadabkan Timur. Karena adanya hubungan yang erat antara proyek orientalisme ini dengan kepentingan ekonomi kolonialisme, maka Edward Said pun dengan hati-hati menarik hubungan antara tradisi orientalisme bangsa-bangsa tertentu dengan proyek-proyek kolonialisme di mana mereka terlibat. Terkait ini pula, Edward menyebutkan dalam Orientalism bahwa tradisi orientalisme Jerman relatif unik karena sifatnya murni akademis, mengekor Perancis, karena mereka sendiri tidak memiliki kepentingan di Timur. Meski begitu, tetap saja Jerman memiliki peran ikut membentuk hegemoni bahwa Timur dan Barat pada hakikatnya berbeda.

Nah, apakah demikian halnya dengan FBF? Apakah acara ini turut menyumbang dalam proyek orientalisme yang semacam itu? Apakah kehadiran Indonesia di FBF merupakan bukti adanya proyek orientalisme? Siapa saja tamu-tamu kehormatan FBF sebelumnya? Kalau menurut wikipedia (tentu saja!), tamu-tamu FBF cukup beragam, dari Barat maupun Timur, dari Selatan maupun Utara. Dari tahun 2010 hingga 2018, tamu-tamunya antara lain, berurutan, Argentina, Islandia, Selandia Baru, Brasil, Finlandia, Indonesia, Belanda-dan-Flanderia, Perancis, dan Georgia. Apakah tepat berargumen bahwa FBF 2015 sebagai bagian dari proyek barat mempertontonkan monyet Timur hanya karena kebetulan tamu tahun ini dari Indonesia? Tidakkah lebih pantas kalau kita mencoba memahami FBF ini sebagia upaya sebuah perusahaan perbukuan untuk menyedot informasi tentang produksi buku dan tradisi sastra dari berbagai penjuru dunia secara murah dan efektif? Bayangkan saja misalnya perusahaan perbukuan tidak ingin melewatkan tren buku sastra terkini dari Argentina–bangsa yang melahirkan Jorge Luis Borges–sehingga akhirnya mengundang Argentina menjadi tamu kehormatan agar bisa menunjukkan karya-karya terbaik mereka. Tentu mengetahui buku-buku bagus yang layak dijual (dan laku) akan lebih menguntungkan pada saat ini dibandingkan melakukan sebuah acara sebesar ini untuk proyek hegemoni yang tidak bisa langsung dirasakan hasilnya. Bukankah di jaman ini kita cenderung dipaksa beranggapan bahwa hidup ini terlalu pendek (bahkan terlalu pendek untuk mengklik “Safely Remove Hardware” sebelum mencopot USB drive)? Tentu proyek orientalisme hegemonis lewat pameran buku seperti ini tidak efektif bagi para pemimpin dunia–yang notabene adalah pemegang modal.

Mungkin yang lebih masuk akal dalam perbincangan ini adalah argumen neo-orientalisme (orientalisme baru versi orang dalam, yang menyasar ideologi, menggunakan jalan jurnalistik dan cenderung anti-historis). Seperti halnya yang diperbincangkan Ali Behdad dan Juliet Williams dalam sebuah artikel bersama mereka tentang neo-orientalisme, beberapa elemen yang terlibat FBF ini bisa saja dianggap terlibat neo-orientalisme. Ali dan Juliet membahas beberapa penulis asal Timur Tengah, banyak di antaranya perempuan, yang telah bermigrasi ke Barat (khususnya Amerika), menerbitkan buku-buku yang biasanya bersifat memoar atas kunjungan mereka ke negeri leluhur mereka dan membuat generalisasi-generalisasi yang menyoroti perbedaan Timur dan Barat (dan tentu memposisikan Timur lebih rendah, terbelakang, konservatif, dll). Beberapa di antaranya kita kenal, termasuk Membaca Lolita di Teheran karya Azar Nafisi, dan juga karya tulis Azadeh Moaveni (yang harus saya akui saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia). Kalau memang ini yang dipakai sebagai kritik atas keterlibatan Indonesia di FBF, tentunya sasaran kritiknya bukan lagi penyelenggara FBF 2015. Sebagian rombongan dari Indonesia tentunya yang lebih layak disasar.

Pun demikian, tentu argumen seperti ini pun tidak benar-benar kokoh, karena berbeda dengan proyek neo-orientalisme penulis-penulis yang dibahas Ali dan Juliet, proyek ini lagi-lagi samar. Para neo-orientalis yang dibahas Ali dan Juliet adalah bagian dari peradaban Barat, meskipun asalnya saja dari luar. Selain itu–ini yang sangat penting–audiens awal dari para neo-orientalis itu adalah orang-orang Barat; buku-buku mereka diterbitkan dalam bahasa Inggris dan untuk dikonsumsi publik Barat. Selain itu, kepentingan untuk menjustifikasi proyek Barat yang telah berlangsung di Timur Tengah dan Timur Jauh memang sudah berjalan. Sementara untuk buku-buku Indonesia yang terlibat dalam FBF, buku-buku itu pada awalnya ditulis untuk audiens Indonesia, yang artinya lebih berupa kritik bagi kita bangsa Indonesia, sarana untuk berkaca dan merenung. Tentu, pada akhirnya memang buku itu diterjemahkan dan sekarang dalam proses diperkenalkan ke dunia luar. Kalau buku-buku tersebut memang telah berhasil diterjemahkan dan dijual ke luar, kita harus bertanya: apakah Frankfurt Book Fair yang layak dituduh neo-orientalis? Saya lebih setuju kalau neo-orientalisme adalah agenda yang tak terlepaskan dari kepentingan ekonomi, yang bisa dijalankan siapa saja, yang cukup oportunis mendompleng agenda apa saja. Bisa saja mereka mendompleng Frankfurt Book Fair, dan bisa juga mereka mendompleng koran berbahasa Inggris yang terbit di Indonesia, dan bisa juga mereka mendompleng situs-situs yang menjading pengunjung misalnya dengan menunjukkan hal-hal khas Timur yang berbeda dengan Barat dengan tujuan akhir tentu saja mendapatkan pengunjung sebanyak2nya (karena berhubungan dengan pendapatan mereka dari iklan), dan bisa juga mereka berbentuk lembaga-lembaga di Indonesia yang dengan proyek semacam ini akhirnya bisa mendapat banyak uang dari penyandang dana luar negeri atau dari pemerintah Indonesia sendiri. Sepertinya lebih masuk akal kalau yang disasar atas keterlibatannya dalam FBF adalah pihak-pihak yang seperti ini. Menurut saya, hubungan langsung antara pembentukan citra (proyek ideologis) dengan kekuasaan dan kepentingan ekonomi hendaknya tidak dilepaskan saat mengkritisi fenomena FBF ini.

Baiklah, sementara ini dulu sejumput tanggapan dari saya. Sekali lagi, saya tidak terlibat proyek FBF dari Indonesia yang digawangi Goenawan Mohamad ini yang juga diwarnai serta bertabur rupiah dari Kemendikbud (taburan rupiah yang semestinya bisa diberikan sejak dulu-dulu untuk dunia perbukuan Indonesia dan–seperti disinggung Saut Situmorang–gerakan perpustakaan mandiri di seluruh Indonesia). Banyak dari kenalan baik saya yang diberangkatkan (baik oleh tempat kerja mereka maupun dengan biaya Kemendikbud) maupun berangkat sendiri (dari tempat tinggalnya di Eropa). Tapi banyak juga kenalan yang saya hormati yang mengkritik keras proyek ini. Jadi, bisa dibilang, saya tidak punya kepentingan apa-apa dengan tulisan ini, selain berlatih logika sambil menyodorkan pandangan saja.

Karena sekarang sudah malam dan waktunya bobok, saya akan bobok dulu. Besok-besok kalau ada waktu saya akan lanjutkan dengan poin-poin yang lain, misalnya tentang eksotisme, misteri, dan horor yang digunakan Anin untuk mendukung “argumen orientalisme” yang dia sodorkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *