Perjalanan meliuk-liuk menyeret kantuk
yang dihajar habis snare elektris
dan suara tenggorokan hip hop Prancis:
kau megah, membadai serunya, aku payah.
Di kupingku puasa tak lenyap oleh rap.
Di reservasi, terik bukan basa-basi
dan aku memasang puasa yang kian lelah
oleh jalur tangis yang takkan habis
oleh matahari yang menombak daunan sikamor
oleh angin yang hilang sejuknya.
Menyambut Lindsey menjemput sandwich
tuna, kalkun, roti Itali dari Walmart
yang terdekat, selalu dekat, aku berlama-lama
memegang cawan coleslaw yang siap menghalau
sisa lapar dengan kubis dan mayo berbinar.
Sebentar saja kami tumbang di atas bangku
menahan bekapan panas, ada apologia
puasa yang tertunda, tentang bangsa
besar yang warganya pintar berdusta, dan
cita-cita mulia. Sementara, bermain frisbee,
sepasang kekasih siap kabur keliling Eropa.
Aku abaikan setitik embun di botol jus apel!
Mana kidul mana lor, mana mapel mana sikamor,
sekuat apa usus beruang, aku bertanya.
Hingga tibalah: mana yang tepat, puasa
atau fast? Puasa menghampiri Sang Wasa.
Fast menggenggam erat. Sama kah?
Ben bercerita Paris, El Hadj bulan lalu ke sana,
Mbali berkantor di New York, Fatma menahan cerita,
Eric sembuhkan diri dari olahraga,
Ama berrima dengan Cote d’Ivoire,
Mitiku tawari aku SD card, yang memperlambat
rapuhnya sejarah atas Oklahoma,
Francois, Afrika, dunia,
puasa.
Kangen ke amerika maneh mas?? Humfrey scholarship kayake cocok, hihihi
Hahaha… Isok ae. Gantian karo liyane, Mas.
[…] juga. Saya sempat menulis menit-menit yang paling menyedot tenaga dari hari itu dalam puisi ini. Saya tetap bertahan selama berjalan-jalan di kawasan heritage center yang cukup luas itu. Saya […]