Rasanya semakin sulit saja menemukan alasan untuk menulis di blog ini. Tapi, karena saya sendiri yakin bahwa masih banyak cerita dalam hidup saya yang belum sempat saya tuliskan, maka biarlah saya memaksa diri menulis barang 15 menit setiap hari sejak hari ini hingga akhir minggu depan. Apa yang harus saya tuliskan? Ada satu hal: jalan-jalan.
Hal-hal yang akan saya tuliskan di sini tidak akan terlalu banyak mengandung hikmah dan informasi yang luar biasa berguna bagi Anda sekalian. Tapi, kalau Anda belum sempat jalan ke tempat itu, paling tidak ada satu-dua hal yang bisa Anda ketahui sebagai teman membayangkan hal-hal lain di luar tempat-tempat yang biasa atau pernah Anda kunjungi. Atau, paling tidak, buat saya ini bisa jadi semacam terapi.
Marilah kita mulai dengan kunjungan saya ke kota Providence, Rhode Island. Seperti banyak kunjungan saya ke kota-kota lain di Amerika Serikat, kunjungan ke kota Providence ini terjadi karena saya harus presentasi di konferensi nasional di bidang ilmu saya, yaitu konferensi “American Comparative Literature Association.” Kejadiannya pada tahun 2012.
Saya mendapat bantuan dana dari kampus untuk membeli tiket pesawat, perjalanan, makan, dan menginap. Tapi, karena dananya tidak akan cukup kalau saya melakukan semua itu, akhirnya saya pun berencana sedikit berhemat dengan patungan menyewa kamar hotel dengan seorang sahabat.
Sahabat saya adalah Asaad, seorang pria asal Syria, yang saat itu menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi di Utah. Saya sudah kenal Asaad sejak tahun 2009 ketika saya mengambil S2 di Arkansas dan Asaad menyelesaikan S3-nya di kampus yang sama dan jurusan yang sama.
Untuk konferensi di Providence itu, saya berangkat dari Arkansas dan Asaad berangkat dari Utah. Asaad tiba lebih dahulu di hotel kami di Providence dan saya datang sore harinya.
Hotel tempat kami menginap, Best Western, berada tepat di tepi sungai yang menjadi daya tarik utama kota Providence. Dari kamar hotel kami, kami bisa melihat sungai dan taman yang ada di tepinya tempat orang-orang berlari. Untuk mencapai hotel tersebut, saya harus naik bus dari bandara Providence.
Nah, satu hal yang sulit saya lupakan dari perjalanan ke Providence itu adalah pengalaman saya dengan dinginnya orang Timur. Di Arkansas, saya sudah terbiasa menyapa orang dan berbincang secukupnya dengan orang yang saya temui di mana pun, dan orang-orang cenderung tidak ada masalah dan memang biasanya begitu. Itulah yang dikenal dengan “keramahan Selatan.”
Nah, ketika berada di Providence itu, setelan “Selatan” saya tidak saya ubah. Dalam perjalanan bus dari bandara ke hotel itu saya berdiri di belakang sopir. Karena tidak tahu di mana saya harus berhenti, saya pun bilang jujur ke sopir, seorang perempuan usia 50-an tahun:
“Bu, saya tidak tahu harus berhenti di mana. Yang saya tahu adalah saya perlu ke hotel ini di jalan ini.”
“Baik, nanti saya kasih tahu di mana sampean harus turun,” jawab si sopir.
Beberapa lama kemudian, setelah melewati jalan tol ini dan itu, tibalah bus di kota Providence. Mulai terlihat gedung-gedung tua dan rapat. Inilah kota timur yang sudah tua. Dan tampak sebuah bangunan gaya romawi dengan kubah bermahkota mirip Capitol Hill. Saya pun santai saja bertanya pada sopir:
“Itu bangunan kantor gubernuran ya, Bu?”
Tak disangka, si sopir menjawab: “Mas, ini saya lagi kerja. Nanti kalau sudah sampai tempat sampean turun, saya akan kasih tahu ya.”
Saya pun langsung klekep. Ada perasaan tertolak. Ada malu. Tapi ada juga rasa malu kepada diri saya sendiri yang tidak tahu adat kebiasaan di sini. Meskipun tentu saja ada perasaan sebal–sok sekali sih bu sopir ini! Di situlah saya tahu bahwa saya sudah terlalu nyaman dengan apa yang disebut oleh Brad Paisley dalam lagunya: “Southern comfort zone.”