Putusan untuk Baiq Nuril dan Contoh Buku Teks “Budaya Perkosaan”

Kalau saja kata “memprihantikan” belum banyak dipakai, mungkin saya akan memakaianya. Sementara perkenankan saya menggunakan kata “memalukan” untuk menggambarkan kejadian putusan 6 bulan penjara bagi guru Baiq Nuril dalam kasus yang sedang beliau hadapi. Tentu, kata “memalukan” di sini terlalu ringan. Ya, terlalu ringan untuk menggambarkan kejadian yang bisa dijadikan contoh di buku teks untuk menjelaskan konsep “budaya pemerkosaan.”

Berita di sejumlah media dalam beberapa hari ini menyoroti betapa ganjilnya putusan 6 bulan kurungan buat bu Baiq Nuril tersebut. Seorang guru dilecehkan secara verbal lewat telpon oleh kepala sekolahnya. Sebagai pertahanan diri, beliau (si ibu guru) merekam pelecehan tersebut. Rekaman tersebut sampai ke tangan seseorang, yang tanpa diminta si bu guru menyebarkannya. Si kepala sekolah merasa dipermalukan dan memperkarakan kasusnya. Oleh PN Mataram, Baiq Nuril dinyatakan tidak bersalah dan justru merupakan korban. Namun Jaksa mengajukan kasasi ke MA dan MA pun mengabulkan kasasi. Belakangan, terbit putusan MA bahwa Baiq Nurul diputus bersalah karena mempermalukan si kepala sekolah (dan bahkan menurut salah satu berita menghentikan karirnya sebagai kepala sekolah).

Tampak sekali di sini, yang menjadi persoalan utama dari kasus ini di tingkat MA adalah nama baik seseorang. Bila di tingkat PN Mataran diputuskan bahwa Baiq Nuril tidak bersalah dan malah merupakan korban, itu artinya PN Mataram melihat ada persoalan lain yang jauh lebih prinsipil dalam kasus ini lebih dari urusan mempermalukan atau penodaan nama baik seseorang. Persoalan lainnya adalah pelecehan seksual secara verbal itu. Namun, di MA, persoalan pelecehan seksual secara verbal ini, sayangnya, kalah dibandingkan citra seseorang yang merasa dipermalukan. Bagaimana dengan persoalan bahwa telah dilakukan pelecehan seksual terhadap Baiq Nuril? Tidak disebutkan di situ.

Menganggap ringan (atau bahkan pembiaran) pelecehan terhadap perempuan inilah yang kini mulai banyak dikenal sebagai bagian dari “budaya perkosaan.” Budaya perkosaan sendiri adalah konsep yang baru-baru ini muncul untuk menjelaskan kecenderungan untuk mengangap enteng atau menormalisasi hal-hal yang secara hakiki merupakan kekerasan (baik fisik maupun mental) terhadap perempuan. Dalam konsep ini, segala jenis kekerasan terhadap perempuan memang diperlakukan sebagai “perkosaan.” Jadi, meskipun di situ tidak benar-benar terjadi tindakan penetrasi seksual secara paksa, tetap saja di situ disebut bagian dari budaya “perkosaan” karena memang mengandung kekerasan tersebut. Dalam hal kekerasan sedikit atau banyak tidak ada bedanya–yang jelas sudah ada itikad untuk melukai.

Tindakan MA yang lebih fokus ke citra diri dan mengesankan menganggap enteng pelecehan seksual ini, patut disayangkan, adalah contoh gamblang dari budaya perkosaan. Yang lebih disayangkan, contoh ini datang langsung dari peradilan negara yang tertinggi. Sangat mengerikan bila sistem hukum tertinggi kita terlibat dalam suatu kecenderungan sosial yang oleh banyak kalangan mulai disoroti sebagai satu bentuk baru budaya patriarki yang berbahaya.

Yang tak kalah memalukannya, semua ini terjadi di sebuah negara yang retorika keislamannya semakin kuat di berbagai aspek. Kehidupan sosial Indonesia, mulai dari lingkup pemerintahan hingga lingkup komersial beberapa tahun ini dipenuhi oleh simbol-simbol Islam dan jargon-jargon Islam. Dari pemilu pusat, pilkada, acara tivi sehari-hari, hingga iklan-iklan shampo saat ini dipenuhi simbol-simbol keislaman, simbol sebuah agama yang oleh para pengikutnya diyakini sebagai rahmat bagi seluruh alam, sebuah tradisi keagamaan yang salah satu ajaran pentingnya adalah sorga di bawah telapak kaki ibu, sebuah agama yang memiliki tradisi busana perempuan yang pada awalnya merupakan bentuk perlindungan terhadap perempuan. Entah apa istilah yang lebih tepat daripada “ironis” jika di sebuah negara yang menghargai agama Islam dengan sedemikian rupa sistem peradilan tertingginya terjerumus ke dalam satu bentuk kecenderungan sosial yang begitu menghina perempuan dengan sedemikian rupa.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

1 comment

Semoga perkembangan terakhir berakibat baik bagi Bu Nuril ya. Tapi memang sih, bahwa MA sudah bikin keputusan seperti itu rasanya mengganggu [rasa keadilan] sekali.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *