Wawancara tentang Aroma Karsa: Eksplorasi tanpa Implikasi (2)

Kembali lagi dengan catatan perjalanan menulis tentang Aroma Karsa. Kali ini saya ingin menyoroti hubungan antara wawancara-wawancara yang dilakukan oleh Dee sebelum atau setelah penerbitan Aroma Karsa dengan kecenderungan memandang bahwa buku ini tidak memiliki implikasi lebih jauh lagi.

Hal pertama tentu adalah fakta bahwa penerbitan buku ini disertai dengan wawancara berulang-ulang yang memperkenalkan isi buku ini kepada calon pembaca secara luas. Dee Lestari diundang untuk memperkenalkan bukunya di sejumlah tempat: “Insight” CNN Indonesia (bersama Desy Anwar), di TV lain bersama Omes, di YouTube Raditya Dika, dan lain-lain. Di semua tempat itu, Dee diminta memperkenalkan bukunya, topik besar bukunya, dan proses penulisan bukunya. Acara-acara ini dilakukan sebelum dan tidak lama sesudah buku tersebut dilepas di pasaran. Hal ini memberikan kesempatan kepada Dee untuk memperkenalkan secara umum hal-hal yang mungkin akan menarik bagi calon pembaca buku ini, di luar dua ribu orang yang sudah membaca buku ini secara serial.

Yang menarik adalah, di sejumlah acara Talkshow yang berdurasi sekitar 30 menit sampai 1 jam tersebut, Dee lebih banyak diminta membicarakan hal-hal yang ada di sekitar buku tersebut. Kita mendengar tentang bagaimana Dee ikut kursus meracik parfum, bagaimana dia juga naik gunung, dan waktu-waktu macam apa yang paling cocok untuk menulis, dan lain sebagainya. Wawancara dengan Desy Anwar adalah yang paling dalam menggali tentang berbagai hal–Desy Anwar sudah kenal Dee dan pernah mewawancarai Dee untuk buku sebelumnya dan bahkan pernah saling pinjam buku yang berpengaruh. Wawancara dengan Omes agak unik karena Omes mengaku tidak pernah membaca buku penuh dan berjanji akan membaca buku Dee ini. Acara dengan Omes ini juga cukup menarik karena berbagai hal seputar kehidupan dan hobi Dee diungkap–yang sebagian tidak langsung berhubungan dengan penulisan Aroma Karsa tapi bisa mengungkap Dee sebagai seorang penulis.

Dan, itu membawa kita ke poin ketiga, bahwa perbincangan itu tidak banyak membahas tentang apa yang mau disodorkan oleh novel itu. Memang banyak dibahas tentang Jatiwesi yang berasal dari latar belakang pemulung di TPST Bantar Gebang, tapi diskusi tidak sampai jauh melangkah dari sana. Tidak ada upaya untuk menggali kira-kira argumen apa yang ingin Dee tawarkan melalui buku ini. Apakah ada keyakinan politis tertentu yang mendasari Dee menulis buku ini? Apakah ada keresahan dengan fenomena sosial tertentu yang membuat Dee ingin menulis buku ini? Hal-hal semacam ini tidak muncul dan ditanyakan. Bahkan, ada beberapa kali Dee mengatakan bahwa buku ini adalah fiksi atau hasil mereka-reka. Saya menangkap gejala bahwa hal tersebut terjadi karena para pewawancara menganggap bahwa buku Dee ini adalah sebuah buku fiksi yang murni hiburan, untuk dinikmati, seperti layaknya novel-novel yang dianggap sebagai karya populer. Para pewawancara terkesan tidak memiliki pandangan bahwa buku ini juga bisa menjadi ungkapan kepedulian atas suatu permasalahan yang ada di kehidupan sosial baik itu global maupun lokal.

Hal-hal di atas ini menabiri potensi-potensi kritis yang ada pada buku Aroma Karsa itu. Dan mungkin Dee tidak perlu ditolong sebagai penulis. Dia sudah punya banyak koneksi yang membuat bukunya lebih dikenal masyarakat ketimbang buku Dadang Ari Murtono, misalnya, atau buku Diani Savitri. Seperti judul postingan ini, para pewawancara itu mengkeplorasi seputar Aroma Karsa tanpa mencoba menggali implikasi dari novel ini. Mungkin tanpa sadar ada anggapan bahwa Aroma Karsa adalah buku bagus yang mirip dengan karya-karya, misalnya, Stephen King atau yang lain-lain, yang ceritanya dan apa-apanya biasanya sudah tuntas di dalam buku itu sendiri. Padahal, tentu saja selalu bagus kalau kita bisa menyingkap potensi kritis di balik buku-buku, khususnya, yang sudah populer dan dibaca banyak orang. Jadi mungkin itu langkah selanjutnya dari seri catatan perjalanan penulisan tentang Aroma Karsa ini.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *