Telat nonton Game of Thrones. Itu saya. Tapi, perkenankan di hari-hari muram ini saya melakukan sesuatu yang membuat saya bisa terus di rumah: saya akan nulis tentang GoT. Tapi ya, tentu saja yang akan tertuang ini tidak lebih dari kesan-kesan pribadi ditambah ini-itu saja kalau ada.

Tapi, kawan-kawan, sebelum kita bicara yang jauh-jauh, mari kita mulai dulu riwayat pertemuan saya dengan GoT. Semoga dengan penggambaran ini, saya bisa dapat semacam pemakluman dari sodara-sodara semua kalau tulisan-tulisan dalam seri GoT ini nanti kurang-kurang dan perlu ditambal di sana-sini.

Tentu saya juga dengar tentang Game of Thrones ketika serial ini pertama kali muncul di paruh pertama dekade 2010-an. Ketika itu saya di Arkansas dan kawan-kawan di Facebook banyak yang berbagi tentang kesan-kesan kilat atau komentar-komentar kecil tentang film GoT. Sebagai gambaran, saya kuliah sastra bandingan dan kajian budaya, jadi ya nonton budaya pop dan kemudian sok-sokan menafsirkan sudah jadi kebiasaan kami. Tapi, karena saya tidak punya TV kabel, akhirnya ya saya tidak sempat nonton serial yang gegap gempita ini.

Perkenalan awal dengan GoT terjadi lewat majalah The Rolling Stones tahun 2012. Peter Dinklage dengan kostum GOT-nya tampil di sampul majalah ini. Di dalamnya ada artikel panjang tentang Peter. Di situlah saya jadi tahu bahwa Peter Dinklage ini kayaknya tokoh yang kurang menyenangkan tapi utama di GoT. Sudah itu saja.

Beberapa tahun kemudian, di tahun 2015, GoT terasa semakin menarik untuk didekati. Ketika itu, Matt, kawan kerja musim panas yang sering wira-wiri bareng semobil sepanjang musim, sempat bercerita tentang GoT. Mungkin awalnya dia sering cerita soal GoT tapi belakangan berhenti karena tidak dapat kawan bicara yang sebanding pada diri saya. Dia sempat bilang, ketika bicara di mobil di sepanjang Gregg Avenue bahwa GoT itu sudah berkembang lebih jauh dari novel awal yang menjadi sumber adaptasinya. Kata Matt, ketika itu season GoT tampil lebih cepat daripada novel A Song of Ice and Fire. Tapi saya juga belum tergerak untuk nonton.

Beberapa tahun yang lalu (mungkin dua tahun yang lalu) di Facebook saya lihat Saut Situmorang bicara tentang GoT di status-statusnya. Kalau Saut Situmorang saja ngomong soal GoT, mungkin GoT ini memang penting ditonton. Haha. Di samping itu, di satu titik pemerintahan Presiden Jokowi, saya juga dengar Pak Presiden menggunakan GoT sebagai salah satu hal yang dirujuk dalam pidato pentingnya. Pikir saya: kalau Saut Situmorang dan Presiden Jokowi bisa sepakat dan ngomong tentang hal yang sama, mungkin Game of Thrones sepenting itu.

Tapi ya, namanya orang lagi kurang fokus, saya juga belum sempat nonton serial GoT ini. Bahkan sampai terjadi insiden cangkir kopi di salah satu episode GoT, saya masih juga belum mulai nonton serial yang belakangan banyak dikritik penggemarnya karena tambah lama tampak seperti fan fiction itu.

Baru beberapa bulan lalu, entah dapat angin dari mana, mungkin tergerak dari satu cue dari kawan, akhirnya saya pun memutuskan untuk nonton Game of Thrones. Untungnya season 8 yang konon juga season terakhirnya itu sudah habis. Ada rasa aman di situ. Saya bisa merasa seperti membaca novel yang sudah selesai. Maka, duhai kawan, saya pun nonton GoT dan sempat tersendat meski akhirnya bisa selesai. Dan, seperti biasa, daripada melayang begitu saja (seperti The X-Files yang saya habiskan di salah satu musim panas sekadar sebagai pelarian dan nostalgia ketika tubuh capek), saya akan menuliskan lintasan-lintasan pikiran tentang GoT itu di blog tercinta ini.

So, kawan-kawan, bersiaplah: winter is already here!

Potong pita!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *