Islami tanpa Islami Secara Eksplisit

(Sebagai rujukan, silakan baca storify ini setelah atau sebelum baca postingan ini.)

Kembali disadarkan bahwa meskipun agak-agak sok modern, pola pikir saya seringkali juga ketinggalan zaman. Barusan saya menemukan twitter mufasir M. Quraish Shihab dan sempat kaget mengetahui fakta tersebut. Tapi sebentar kemudian saya sadar: ah, zaman sekarang, siapa nggak punya twitter? Apalagi seorang ulama yang paham betul tugasnya sebagai pendakwah, yang dituntut selalu menjangkau semua orang.

Dan, lebih dari itu, yang menjadikan kebetulan ini lebih indah adalah karena rentetan pembahasan (konon istilahnya sekarang “kultwit”) terkini dari mufasir pengicau ini adalah tentang seni menurut alquran. Menurut tafsir pak Shihab, seni sama sekali tidak bertentangan dengan alquran, yang bertentangan adalah dampak negatif dari seni tersebut. Tentu dong, saya sangat alpukat–eh, maksud saya sepakat–dengan tafsir semacam ini; tafsiran semacam ini juga disepakati banyak seniman yang juga bisa kita sebut Islami. Kira-kira yang dicetak tebal inilah thesis statement postingan ini.

Sebenarnya, buat orang Islam Jawa, tafsir seperti ini tidak baru lagi. Dan kita-kita sangat sepakat dengan yang semacam ini. Para muslim Jawa (sebagian besarnya) adalah hasil dari ajaran sekelompok ulama sufi yang dikenal dengan sebutan Wali Songo yang banyak menggunakan seni dalam menarik perhatian maupun menyampaikan ajaran mereka. Dari penggunaan alat-alat seni maupun kidungan-kidungan yang dipercaya banyak orang sebagai gubahan para wali saja kita tahu bahwa guru-guru kita itu bukan orang-orang yang anti seni. Mungkin akan lebih nyantol ke kesadaran anak-anak sekarang kalau nama Sunan Bonang disebut juga sebagai Sunan Perkusi, seperti halnya kita bisa menyebut (Alm) Gito Rollies pada masa akhir hidupnya sebagai Da’i Rocker.

Di salah satu poin kultwit itu juga disebutkan bahwa seni yang tidak bertentangan dengan alquran itu juga tidak harus seni yang langsung berbicara tentang Islam atau yang berbahasa Arab. “Apakah seni suara (nyanyian) harus dalam bahasa Arab? ataukah harus berbicara tentang ajaran Islam?” begitu tanya Pak Shihab. “Dengan tegas jawabannva adalah: Tidak.” Ini yang seringkali tidak benar-benar dipahami kebanyakan orang. Seringkali seorang Muslim yang benar-benar ingin berada di jalan aman akan bilang bahwa seni yang disetujui oleh Islam ada seni-seni yang “Islami” dalam arti yang sederhana, langsung berbicara tentang ajaran Islam. Penjelasan pak Shihab tentang seni yang disetujui tersebut sangat menarik dan, karena saya tidak ingin mereduksi penjelasan beliau, saya menyarankan Anda membaca penjelasan lengkapnya di rententan storify ini. Tapi intinya adalah bahwa segala seni yang menggambarkan kenyataan hidup itu bisa sejalan dengan pandangan Alquran tentang seni, asalkan tidak bertentangan dengan fitrah manusia.

Ada satu musisi internasional yang sepertinya telah melewati masa seperti ini: Cat Stevens atau Yusuf Islam. Pada masa-masa awalnya menjadi Muslim (istilah yang baru-baru ini ngetren di Barat adalah “kembali Muslim” atau “revert” karena ditafsirkan bahwa pada awalnya semua manusia adalah Muslim :D), Cat Stevens sempat meninggalkan musik karena dia mendengar banyak yang bilang bahwa alat-alat musik bersenar itu haram. Tapi, setelah melewati perenungan–dan berpikir keras, ingat, berpikir keras!–akhirnya Cat Stevens kembali menggenjreng gitarnya. Dia menyanyikan dan menciptakan lagu-lagu yang mengajarkan Islam kepada anak-anak kecil. Tapi bukan ini yang saya maksudkan di awal paragraf ini. Hasil perenungan Cat Stevens itu muncul ketika dia menyanyikan kembali lagu-lagu lamanya seperti “Father and Son,” “Moon Shadows,” dll sambil memakai baju koko Asia Selatan sambil menggenjreng gitar dan merem melek menghayati lagu-lagu tersebut. Di sini, berbeda dengan Rhoma Irama yang nada dan dakwahnya adalah lagu-lagu yang secara eksplisit mengajarkan Islam, Cat Stevens menyampaikan hasil penghayatan yang tulus akan kehidupan. Penghayatan semacam ini bisa diciptakan siapa saja tak peduli apapun agamanya. Lagu-lagu populer tersebut adalah ciptaannya ketika dia belum “kembali Muslim,” ketika dia menjadi pemuda yang “galau” akan kehidupan. Di situ terlihat bahwa dia sudah menghayati arti seni yang disetujui alquran.

Penghayatan tentang seni yang baik tanpa harus agamis, meskipun derajatnya berbeda, juga bisa ditemui pada kisah penyanyi proto-country par excellence Johnny Cash seperti digambarkan dalam film Walking the Line. Awalnya Johnny Cash menyanyikan lagu-lagu rohani (dengan suara platinanya). Ketika menawarkan diri untuk rekaman, seorang produser mengatakan kepadanya “Suaramu memang keren, tapi lagu-lagumu itu lho! Kalau pingin baik kan tidak melulus harus menyanyi rohani. Nyanyikan dunia!” Maka Johnny Cash pun menyanyi tentang dunia, tentang cinta. Ya, bisa dibilang dia menghayati semua hal yang ada di dunia adalah karunia pencipta. (Saya jadi ingin menghubungkan dengan lirik lagu ramadhan gigi “Aku hidup di dunia hanya memuja cinta, kuanggap semua ini karuniaMu” yang saya tafsirkan sebagai justifikasi seorang penyanyi yang selama ini hanya menyanyikan lagu-lagu cinta.) Tapi, bedanya, Johnny Cash bertindak sangat jauh dalam menyanyikan dunia, sampai-sampai dalam lagu “Cocaine Blues” dia menyanyikan tentang seorang kriminal yang setelah mengendus kokain langsung menembak istrinya. Mungkin lagu ini diharapkan sebagai gambaran kisah dunia tentang masa kelam seseorang, tapi ketika para narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Folsom (yang menjadi tempat konser untuk album At Folsom Prison) bersorak, yang terlihat adalah seolah-olah para penikmat Johnny Cash ini senang bahwasanya si aku lirik dalam lagu tersebut menenggak kokain dan menembak istrinya. Kalau begini kan jadi pendek ceritanya?

Kembali lagu ke fokus awal, intinya berkarya seni, menurut pak Shihab, tidaklah bertentangan dengan alquran. Lebih dari itu, karya seni yang tidak bertentangan itu tidak hanya karya seni yang secara eksplisit Islami. Ini yang perlu dibaca oleh siapa-siapa dari kita yang sementara ini menganggap berseni yang tidak bertentangan dengan Islam itu harus dibatasi pada seni yang secara eksplisit Islami. Dan tentu, postingan ini juga wajib dibaca oleh siapa-siapa dari kita yang–ehem-ehem–masih menganggap seni itu haram.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *